Rabu, 27 Maret 2019


 STRUKTUR DAN SISTEM SOSIAL MASYARAKAT MAKKAH MADINAH PRA ISLAM
Alma Amelia
Ilmu Al-Quran dan Tafsir IAIN Pekalongan





A.    Pengelompokan Bangsa Arab[1]

Bangsa Arab mempunyai akar panjang dalam sejarah, mereka termasuk ras atau rumpun bangsa Caucasoid, dalam Subras Mediteranian yang anggotanya meliputi wilayah sekitar Laut Tengah, Afrika Utara, Armenia, Arabiyah dan Irania. Bangsa arab hidup berpindah-pindah, karena tanahnya terdiri atas gurun pasir yang kering dan sangat sedikit turun hujan. Perpindahan mereka dari satu tempat ke tempat yang lainnya mengikuti tumbuhnya stepa (padang rumput) yang tumbuh secara sporadic di tanah arab di sekitar oasis atau genangan air setelah turun hujan. Bila dilihat dari asal-usul keturunan, penduduk jazirah arab dapat dibagi menjadi dua golongan besar, yaitu: Qathaniyun (keturunan Qathan) dan ‘Adaniyun (keturuan Ismail ibnu Ibrahim as).

1.    Arab Baidah

Kelompok ini telah kehilangan keturunannya sehingga sejarahnya pun ikut hilang. Kelompok ini terdiri dari kaum ‘Ad, kaum Tsamud, kaum Ainun, suku Amiel, kaum Thasur, Kaum Jadis, kaum Imlieq, kaum Jurhum Ula, dan kaum Wabar. Namun Kaum‘Ad dan kaum Tsamud terungkap sejarahnya dalam Al-Qur’an. Seperti dalam Q.S. At Taubah :70  

أَلَمْ يَأْتِهِمْ نَبَأُ ٱلَّذِينَ مِن قَبْلِهِمْ قَوْمِ نُوحٍۢ وَعَادٍۢ وَثَمُودَ وَقَوْمِ إِبْرَٰهِيمَ وَأَصْحَٰبِ مَدْيَنَ وَٱلْمُؤْتَفِكَٰتِ ۚ أَتَتْهُمْ رُسُلُهُم بِٱلْبَيِّنَٰتِ ۖ فَمَا كَانَ ٱللَّهُ لِيَظْلِمَهُمْ وَلَٰكِن كَانُوٓا۟ أَنفُسَهُمْ يَظْلِمُونَ۝

“Belumkah datang kepada mereka berita penting tentang orang-orang yang sebelum mereka, (yaitu) kaum Nuh, 'Aad, Tsamud, kaum Ibrahim, penduduk Madyan dan negeri-negeri yang telah musnah? telah datang kepada mereka Rasul-rasul dengan membawa keterangan yang nyata, Maka Allah tidaklah sekali-kali Menganiaya mereka, akan tetapi merekalah yang Menganiaya diri mereka sendiri.”

2.    Arab Baqiyah

Berbeda dengan Baidah, Kelompok ini masih dapat mempertahankan keturunannya, yang kemudian memecahkan diri menjadi dua golongan, yaitu: golongan Arab Aribah dan golongan Arab Musta’ribah.

3.    Arab Aribah

Golongan Arab Aribah yang sekarang menjadi nenek moyang arab Selatan, terdiri dari orang-orang yang berdarah arab murni, yaitu cikal bakal dari rumpun bangsa Arab yang ada sekarang ini. Mereka berasal dari keturunan Qhattan yang menetap di tepian sungai Eufrat kemudian pindah ke Yaman. Suku bangsa arab yang terkenal adalah: Kahlan dan Himyar. Kerajaan yang terkenal adalah kerajaan Saba' yang berdiri abad ke-8 SM dan kerajaan Himyar berdiri abad ke-2 SM.

4.    Arab Musta'ribah

Golongan Arab Musta’ribah yang hidup di bagaian utara, terdiri dari orang-orang  naturalisasi. Karena waktu Jurhum dari suku bangsa Qathan mendiami Mekkah, mereka tinggal bersama nabi Ismail dan ibunya Siti Hajar. Nabi Ismail yang bukan keturunan Arab, mengawini wanita suku Jurhum. Arab Musta'ribah sering juga disebut Bani Ismail bin Ibrahim ismail (Adnaniyyun).

B.     Sistem Suku/Qabilah

Secara umum, penduduk Arab terbagi menjadi dua kelompok, yaitu ‘Arab atau penduduk kota dan A’rab atau penduduk desa. Kelompok ‘Arab bertempat tinggal di kota yang merupakan pusat peradaban. Mereka memiliki rumah yang berbentuk bangunan permanen. Sebutan mereka adalah Ahl al-Madar atau penduduk kota. Mereka hidup dengan berdagang sehingga lebih maju kehidupannya. Akan tetapi, semangat individualisme mereka lebih kuat daripada komunalisme. Hal ini disebabkan perdagangan telah menimbulkan transformasi pemikiran di kalangan mereka.

Kelompok A’rab hidup dalam tenda-tenda dan disebut dengan Ahl al-Wabar (penduduk desa) atau dikenal dengan suku Badui. Setiap tenda mewakili sebuah keluarga, yang merupakan satu rumah tangga yang terdiri dari seorang ayah, anak laki-lakinya, dan keluarga mereka yang merupakan keturunan langsung. Wilayah yang ditempati tenda-tenda membentuk hayy. Semua anggota hayy membentuk sebuah klan (qawm), di mana hak dan tenggung jawab klan bersifat kolektif berdasarkan solidaritas kelompok atau ashabiyah. Sejumlah klan yang sedarah kemudian bersama-sama membentuk suku (qabilah).

Masyarakat Badui tinggal di padang pasir yang tanpa air dan tumbuh-tumbuhan. Mereka tidak suka bertani, tetapi lebih suka berperang dan membunuh. Sumber perekonomian mereka adalah pedang dan panah. Masyarakat ini mewakili bentuk adaptasi kehidupan manusia terhadap kondisi lingkungannya. Pekerjaan utama mereka adalah pengembala ternak (pastoral). Mereka adalah kelompok suku nomad yang berkelana dari satu wilayah ke wilayah yang lain. Tujuannya adalah mencari daerah-daerah ya)ng berumput dan memiliki sumber air untuk kehidupan mereka dan ternaknya. Meskipun nomad, mereka memiliki tatanan nilai, kebiasaan, dan adat istiadat sendiri. Identitas mereka dapat dilihat dari caranya berpakaian bawah yang panjang (tsaub) dan ikat pinggang. Pakaian atasnya longgar (aba) dan menggunakan penutup kepala berupa syal (kufiyya) yang diikat dengan tali (‘iqal).[2]

Bangsa Arab tidak memiliki sistem pemerintahan seperti yang kita kenal dewasa ini. Mereka tidak memiliki tempat peradilan dalam memperoleh kepastian hukum tentang suatu kasus atau tempat memvonis suatu tindakan pelanggaran. Dalam tataran masyarakat jahiliyah orang yang teraniaya, akan mengambil tindakan pembalasan kepada yang telah berbuat aniaya kepadanya dan kabilahnya, apabila tindakan aniaya itu dianggap sangat membahayakan. Namun, pihak teraniaya tidak berhak menuntut balas apabila yang berbuat aniaya telah membayar ganti rugi dengan materi sesuai dengan kesepakatan kedua belah pihak (diyat).[3]

Organisasi dan identitas sosial berakar pada keanggotaan dalam suatu rentang komunitas yang luas. Kelompok beberapa keluarga membentuk kabilah. Beberapa kelompok kabilah membentuk suku yang dipimpin oleh seorang syaikh. Mereka sangat menekankan hubungan kesukuan, sehingga kesetiaan atau solidaritas kelompok menjadi sumber kekuatan bagi suatu kabilah maupun suku. Selain itu, mereka juga suka berperang, sehingga tak heran jika peperangan antar suku sering sering sekali terjadi.[4] Hal ini menjadikan nilai wanita menjadi sangat rendah, dimana pihak yang menang dalam peperangan antar kabilah bisa menawan para wanita pihak yang kalah. Di antara kebiasaan yang sudah dikenal pada masa jahiliyah poligami tanpa ada batasan maksimal, pernikahan secara spontan kaum pria boleh menikahi dua wanita bersaudara sekalipun, mereka juga menikahi mantan istri dari ayah mereka. Hal ini disebutkan dalam QS. An-Nisaa’:22-23.

وَلَا تَنكِحُوا۟ مَا نَكَحَ ءَابَآؤُكُم مِّنَ ٱلنِّسَآءِ إِلَّا مَا قَدْ سَلَفَ ۚ إِنَّهُۥ كَانَ فَٰحِشَةًۭ وَمَقْتًۭا وَسَآءَ سَبِيلًا ۝ حُرِّمَتْ

عَلَيْكُمْ أُمَّهَٰتُكُمْ وَبَنَاتُكُمْ وَأَخَوَٰتُكُمْ وَعَمَّٰتُكُمْ وَخَٰلَٰتُكُمْ وَبَنَاتُ ٱلْأَخِ وَبَنَاتُ ٱلْأُخْتِ وَأُمَّهَٰتُكُمُ ٱلَّٰتِىٓ أَرْضَعْنَكُمْ

 وَأَخَوَٰتُكُم مِّنَ ٱلرَّضَٰعَةِ وَأُمَّهَٰتُ نِسَآئِكُمْ وَرَبَٰٓئِبُكُمُ ٱلَّٰتِى فِى حُجُورِكُم مِّن نِّسَآئِكُمُ ٱلَّٰتِى دَخَلْتُم بِهِنَّ فَإِن لَّمْ

تَكُونُوا۟ دَخَلْتُم بِهِنَّ فَلَا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ وَحَلَٰٓئِلُ أَبْنَآئِكُمُ ٱلَّذِينَ مِنْ أَصْلَٰبِكُمْ وَأَن تَجْمَعُوا۟ بَيْنَ ٱلْأُخْتَيْنِ إِلَّا مَا قَدْ سَلَفَ ۗ إِنَّ ٱللَّهَ كَانَ غَفُورًۭا رَّحِيمًۭا۝

“Dan janganlah kamu kawini wanita-wanita yang telah dikawini oleh ayahmu, terkecuali pada masa yang telah lampau. Sesungguhnya perbuatan itu amat keji dan dibenci Allah dan seburuk-buruk jalan (yang ditempuh) (22) Diharamkan atas kamu (mengawini) ibu-ibumu; anak-anakmu yang perempuan; saudara-saudaramu yang perempuan, saudara-saudara bapakmu yang perempuan; saudara-saudara ibumu yang perempuan; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang laki-laki; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang perempuan; ibu-ibumu yang menyusui kamu; saudara perempuan sepersusuan; ibu-ibu isterimu (mertua); anak-anak isterimu yang dalam pemeliharaanmu dari isteri yang telah kamu campuri, tetapi jika kamu belum campur dengan isterimu itu (dan sudah kamu ceraikan), maka tidak berdosa kamu mengawininya; (dan diharamkan bagimu) isteri-isteri anak kandungmu (menantu); dan menghimpunkan (dalam perkawinan) dua perempuan yang bersaudara, kecuali yang telah terjadi pada masa lampau; sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang (23)”

Pada sisi yang lain, meskipun masyarakat Badui mempunyai pemimpin, namun mereka hanya tunduk kepada syikh atau amir (ketua kabilah) itu dalam hal yang berkaitan dengan peperangan, pembagian harta rampasan dan pertempuran tertentu. Di luar itu, syaikh atau amir tidak bisa mengatur anggota kabilahnya.[5]

Lebih jauh dari itu bahwa dalam masyarakat Arab jahiliyah tidak ada sistem yang mengatur pemindahan kekuasaan dan kepemimpinan., yang ada hanya berdasarkan tradisi bahwa yang paling tua usianya, yang terkaya, yang paling banyak anggota keluarganya, dan yang paling layak mendapat kehormatan dari kepribadiannya dalam kabilah itulah yang terpilih. Orang-orang Arab yang merdeka saat berperang, mereka bersatu padu terpimpin dan berada di bawah komando seorang amir. Namun dalam keadaan damai, keluargalah satu-satunya yang nampak tersusun dalam kehidupan mereka.[6]

C.    Stratifikasi Masyarakat Arab Pra-Islam

Dalam masyarakat metropolis seperti Makkah, lalu lintas perdagangan bertemu di wilayah ini, sehingga tranformasi sosial masyarakat terjadi lebih intens. Namun, Makkah tidak memiliki struktur pemerintahan yang mengendalikan masyarakat. Otoritas masyarakat dipegang oleh Mala, semacam dewan klan atau senat yang anggotanya terdiri dari wakil-wakil suku. Lembaga ini lebih menyerupai lembaga musyawarah dan tidak memiliki hak eksekutif. Otoritasnya hanya seputar masalah moralitas tanpa disertai kewenangan bertindak. Disamping itu, terdapat institusi lokal yang memiliki fungsi tertentu.

 Di Mekkah terjadilah pertemuan berbagai elemen masyarakat dari berbagai daerah, sehingga pertukaran budaya menjadi tak terelakkan. Konsep kesukuan mulai memudar dan terjadi proses individualisasi. Kesetian suku diperlukan sebatas untuk mengganti ketiadaan otoritas hukum yang mengatur kehidupan.

Di sisi lain, masyarakat terancam oleh kompetesi ekonomi, konflik sosial, dan kehancuran moral. Perbedaan tingkat kekayaan antar individu dan kelompok melahirkan stratifikasi sosial di kota Mekkah. Antara lain:

·         Warga yang mengambang dalam arti tidak bernaung di bawah suku mana pun

·         Warga individual yang terusir dari kesukuan (al-khula’a)

·         Sejumlah pengungsi, budak, dan pedagang asing.

Selain orang-orang Arab asli, dikenal juga kelompok mawali yang merupakan orang-orang non-Arab yang terdiri dari:

·         Orang yang menggantungkan diri pada suatu kaum, tetapi bukan berasal dari golongannya.

·         Orang Arab tapi keturunan dari suku lain. Mereka meninggalkan sukunya sendiri dan bergabung dengan suku yang lainnya.

·         Tawanan perang yang sudah dibebaskan oleh tuan-tuannya.

·         Orang-orang non-Arab (al-A’ajim) yang memiliki kepandaian dan keahlian

Lain halnya dengan di Madinah, banyaknya oasis di wilayah ini yang menyebabkan tanah subur dan cocok untuk pertanian dan perkebunan. Tetapi, sistem di wilayah ini tetap tunduk pada sifat kesukuan, dimana tanah dimiliki secara bersama. Berbeda dengan Makkah yang memiliki lembaga Mala, masyarakat Madinah malah tidak memiliki lembaga pemerintahan. Masing-masing suku mempunyai aturan sendiri yang dipegangi untuk anggotanya. Hal ini sangat sering menimbulkan permusuhan antarsuku, karena ketiadaan lembaga mediator. Masyarakat Madinah merupakan masyarakat yang heterogen. Terdapat sebelas klan dan delapan di antaranya adalah bergama Yahudi. Penduduknya terdiri dari tiga komunitas besar, yaitu kelompok Yahudi, Arab pagan, dan penganut Kristen. Merekalah yang memiliki lahan pertanian dan perkebunan serta menguasai perdagangan.[7]

D.    Faktor Pemersatu dan Faktor Penyebab Konflik Masyarakat Arab Pra Islam

Organisasi kesukuan yang ada hanya berlaku untuk satu suku saja, karena mereka alergi terhadap institusi yang berskala luas. Organisasi suku memiliki kedudukan yang vital dalam struktur masyarakat Arab. Seseorang akan diakui hak-haknya kalau dia bergabung atau menjadi anggota salah satu suku.

Rasa aman seseorang terletak pada persekutuan suku, tanpa suku berarti tanpa perlindungan. Persekutuan ini didasarkan atas hubungan darah, baik dari garis keturunan ibu atau bapak. Inilah yang dinamakan solidaritas suku dan merupakan solidaritas sosial yang paling esensial.

Pada zaman jahiliyah, perang antar kabilah arab sering terjadi. Hal ini dikarenakan adanya perebutan kepemimpinan dan perebutan sumber mata air dan padang rumput. Sehingga terjadilah perang yang berkepanjangan yang disebut Ayyamul Arab.[8]

Disamping solidaritas suku, terdapat pula solidaritas artifisial yang disebut hilf atau tahalluf. Solidaritas ini berbentuk konfederasi suku-suku yang berada dalam satu wilayah. Mereka bersekutu dan mengikatkan diri dengan sumpah. Alasan terbentuknya hal itu adalah untuk menghadapi adanya persaingan dan pertentangan antarsuku di Arab. Dengan harapan, agar asal-usul mereka terpelihara sebagai sandaran dan tempat meminta bantuan atau kerja sama dalam melakukan penyerangan kepada para musuh ataupun pada saat perebutan kepemimpinan.[9] Misal, Kabilah suku-suku Quraisy pernah melakukan perjanjian hilf dengan kabilah-kabilah lain. Mereka berkumpul dirumah Abdullah Ibn Jud’an Ibn ‘Amr Ibn Ka’b Ibn Sa’d Ibn Taimi Ibn Murrah Ibn Ka’b Ibn Luay.



[1][1] Hasan Ibrahim Hasan, Sejarah dan Kebudayaan Islam I, (Jakarta: Kalam Mulia, 2009), hlm. 13-17.
[2] Ali Sodiqin, Antropologi al-Quran; Model Dialektika Wahyu dan Budaya, (Jogjakarta: Ar-Ruzz Media,2008), hlm. 42.
[3] Hasan Ibrahim Hasan, Sejarah dan Kebudayaan Islam I, (Jakarta: Kalam Mulia, 2009), hlm. 88-89.
[4] Ali Sodiqin, Antropologi al-Quran; Model Dialektika Wahyu dan Budaya, (Jogjakarta: Ar-Ruzz Media,2008), hlm. 43.
[5] Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, (Jakarta: Raja Grafindo Press, 2007), hlm. 11.
[6] Hasan Ibrahim Hasan, Sejarah dan Kebudayaan Islam I, (Jakarta: Kalam Mulia, 2009), hlm. 90.
[7] Ali Sodiqin, Antropologi al-Quran; Model Dialektika Wahyu dan Budaya, (Jogjakarta: Ar-Ruzz Media,2008), hlm. 46.
[8] Hasan Ibrahim Hasan, Sejarah dan Kebudayaan Islam I, (Jakarta: Kalam Mulia, 2009), hlm. 91.
[9] Hasan Ibrahim Hasan, Sejarah dan Kebudayaan Islam I, (Jakarta: Kalam Mulia, 2009), hlm. 119-120.

PERNIKAHAN BEDA AGAMA

Latar belakang
Sudah menjadi sunatullah bahwa makhluk hidup di dunia ini diciptakan oleh Allah SWT berpasang-pasangan. Hidup berjodoh-jodohan adalah naluri segala makhluk untuk melestarikan keturunan.[1] Hal ini sesuai dengan firman Allah SWT.
 

[2]وَمِن كُلِّ ِشَيءٍ خَلَقناَ زَوجَينِي لَعَلَّكُم تَذَكَّرُونَ

 
Pernikahan merupakan suatu hal yang sangat penting di dalam kehidupan manusia. Bukan hanya agama, bahkan tradisi atau adat masyarakat serta negara pun tidak ketinggalan untuk mengatur masalah pernikahan yang berlaku dan dianggap sah di kalangan masyarakat. Walaupun demikian, pada kenyataannya aturan yang mengatur masalah pernikahan di setiap penjuru dunia sangatlah beragam. Hal ini disebabkan karena banyaknya hasil corak pikiran yang berlainan madzhab.[3]
Bukan hanya itu, keadaan dan kondisi di suatu daerah juga akan turut mempengaruhi pengaturan hukum tentang pernikahan.[4] Misalkan Indonesia, telah menjadi bukti bahwa keadaan di suatu negara telah mempengaruhi bagi terbentuknya suatu hukum di negara tersebut dan menjadi salah satu fenomena yang menarik untuk dikaji bersama di masa modern dan kontemporer ini.[5]
 
PEMBAHASAN
Pernikahan Antara Muslim dengan Non Muslim dalam Perspektif Agama
Dalam konsep konvensional maupun kontemporer (modernis) pernikahan wanita muslimah dengan laki-laki non muslim telah disepakati keharamannya. Adapun pernikahan antara laki-laki muslim dengan wanita non muslimah masih terdapat perbedaan di kalangan ulama. Sebagian ketentuan tentang pernikahan antara laki-laki muslim dengan wanita non muslimah diuraikan sebagai berikut:
-     Hukum Nikah Laki-laki Muslim dengan Wanita bukan Ahli Kitab
Mazhab Syafi’i berpendapat bahwa pernikahan antara laki-laki muslim dengan wanita kafir selain ahli kitab seperti watsani, majusi, penyembah matahari atau bulan, murtad adalah tidak sah (batal)[6] berdasarkan firman Allah SWT dalam surat al-Baqarah ayat 221:

وَلَا تَنكِحُوا المُشرِكٰتِ حَتّٰى يُؤمِنَّ ۚ وَلَأَمَةٌ مُّؤمِنَةٌ خَيرٌ مِّن مُّشرِكَةٍ وَلَو اَعجَبَتكُم ۗ  وَلاَ تُنكِحُوا المُشرِكِينَ حَتَّى يُؤمِنُوا ۚ وَلَعَبدٌ مُّؤمِنٌ خَيرٌ مِّن مُشرِكٍ وَلَو اَعجَبَكُم ۚ  اُولَئِكَ يَدعُونَ اِلَىالنَّار ۖ  وَاللّهُ يَدعُوا اِلَى الجَنَّةِ وَالمَغفِرَةِ بِاِذنِهِ ۖ وَيُبَيِّنُ ءَايَتِهِ لِلنَّاسِ لَعَلَّهُم يَتَذَكَّرُونَ ۝

 
“Dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita mukmin) sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak yang mukmin lebih baik dari orang musyrik, walaupun dia menarik hatimu; mereka mengajak ke neraka, sedang Allah mengajak ke surga dan ampunan dengan izin-Nya. Dan Allah menerangkan ayat-ayat-Nya (perintah-perintah-Nya) kepada manusia supaya mereka mengambil pelajaran”.
 
Asy-Syirazi dalam al-Muhazzab menegaskan bahwa laki-laki muslim haram menikah dengan perempuan yang bukan ahli kitab yaitu orang-orang kafir seperti penyembah berhala dan orang murtad.[7] Sedangkan al-Malibari menyebutkan bahwa syarat wanita yang dapat dinikahi adalah wanita muslimah atau kitabiyyah Khalishah.[8]
Al-Jaziri menyebutkan bahwa laki-laki muslim tidak boleh menikah dengan wanita musyrik apapun bentuk kemusyrikannya kecuali kalau ia masuk Islam. Ketentuan tersebut ditakhsis oleh surat al-Maidah ayat 5 yang menunjukkan bahwa wanita ahl al-Kitab boleh dinikahi, walaupun mereka mengatakan bahwa al-Masih adalah Tuhan.[9]
 

اليَومَ اُحِلَّ لَكُمُ الطّيِّبٰتُ ۖ وَطَعَامُ الَّذِينَ اُوتُوا الكِتَٰبَ حِلٌّ لَكُمۖ وَطَعَا مُكُم حِلٌّ لَّهُمۖ وَالمُحصَنٰتُ مِنَ الَّذِينَ اُوتُوا الكِتٰبَ مِن قَبلِكُم اِذَا؅ اٰتَيتُمُوهُنَّ اُجُورَهُنَّ مُحصِنِينَ غَيرَ مُسَافِحِينَ وَلاَ مُتَّخِذِي اَخدَانٍۗ وَمَن يَّكفُر بِالاِيمَان فَقَد حَبِطَ عَمَلُهٗ ۖوَهُوَ فِى الاٰخِرَةِ مِنَ الخٰسِرِينَ۝

 
“Pada hari ini dihalalkan bagimu yang baik-baik. Makanan (sembelihan) orang-orang yang diberi al-Kitab itu halal bagimu, dan makanan kamu halal (pula) bagi mereka. (dan dihalalkan mengawini) wanita yang menjaga kehormatan di antara wanita-wanita yang beriman dan wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara orang-orang yang diberi al-Kitab sebelum kamu, bila kamu telah membayar maskawin mereka dengan maksud menikahinya, tidak dengan maksud berzina dan tidak (pula) menjadikannya gundik-gundik. Barangsiapa yang kafir sesudah beriman (tidak menerima hukum-hukum Islam), maka hapuslah amalannya dan ia di hari kiamat termasuk orang-orang merugi.”.
 
Dalam hal ini, Wahbah az-Zuhaili menyebutkan bahwa tidak halal bagi laki-laki muslim menikahi wanita Musyrikah atau Watsaniyyah yaitu wanita yang menyekutukan Allah dengan yang lainnya. Ulama Hanafiyyah dan Syafi’iyyah serta selain mereka menyamakan orang murtad dengan orang musyrik. Kesimpulannya adalah telah terjadi kesepakatan tentang tidak halalnya menikahi wanita yang tidak memiliki kitab seperti Watsaniyyah dan Majusiyyah.[10]
Ibnu Rusyd menyatakan bahwa para Ulama sepakat bahwa laki-laki muslim tidak boleh menikahi wanita Watsaniyyah.[11] Sejalan dengan Ibnu Rusyd, Hasbi Ash-Shiddieqy menyebutkan bahwa hukum tentang tidak bolehnya menikahi wanita Watsaniyyah telah disepakati oleh Imam Mazhab.[12]
Begitu pula Quraish Shihab mengharamkan pernikahan antara laki-laki Muslim dengan wanita Musyrik, di sini beliau mengacu pada surat al-Mumtahanah ayat 10 yang melarang untuk menikahi wanita Kafir, yang berbunyi:
 

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا جَاءَكُمُ الْمُؤْمِنَاتُ مُهَاجِرَاتٍ فَامْتَحِنُوهُنَّ ۖ اللَّـهُ أَعْلَمُ بِإِيمَانِهِنَّ ۖ فَإِنْ عَلِمْتُمُوهُنَّ مُؤْمِنَاتٍ فَلَا تَرْجِعُوهُنَّ إِلَى الْكُفَّارِ ۖ لَا هُنَّ حِلٌّ لَّهُمْ وَلَا هُمْ يَحِلُّونَ لَهُنَّ ۖ وَآتُوهُم مَّا أَنفَقُوا ۚ وَلَا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ أَن تَنكِحُوهُنَّ إِذَا آتَيْتُمُوهُنَّ أُجُورَهُنَّ ۚ وَلَا تُمْسِكُوا بِعِصَمِ الْكَوَافِرِ وَاسْأَلُوا مَا أَنفَقْتُمْ وَلْيَسْأَلُوا مَا أَنفَقُوا ۚ ذَٰلِكُمْ حُكْمُ اللَّـهِ ۖ يَحْكُمُ بَيْنَكُمْ ۚ وَاللَّـهُ عَلِيمٌ حَكِيمٌ۝

 

“Hai orang-orang yang beriman, apabila datang berhijrah kepadamu perempuan-perempuan yang beriman, maka hendaklah kamu uji (keimanan) mereka. Allah lebih mengetahui tentang keimanan mereka; maka jika kamu telah mengetahui bahwa mereka (benar-benar) beriman maka janganlah kamu kembalikan mereka kepada (suami-suami mereka) orang-orang kafir. Mereka tiada halal bagi orang-orang kafir itu dan orang-orang kafir itu tiada halal pula bagi mereka. Dan berikanlah kepada (suami-suami) mereka mahar yang telah mereka bayar. Dan tiada dosa atasmu mengawini mereka apabila kamu bayar kepada mereka maharnya. Dan janganlah kamu tetap berpegang pada tali (perkawinan) dengan perempuan-perempuan kafir; dan hendaklah kamu minta mahar yang telah kamu bayar; dan hendaklah mereka meminta mahar yang telah mereka bayar. Demikianlah hukum Allah yang ditetapkan-Nya di antara kamu. Dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.”.

 
Bahwa konteks surat al-Mumtahanah secara holistik menurut Quraish Shihab, ayat tersebut berbicara tentang wanita Kafir Musyrik dan tidak berbicara dengan wanita Kafir dari golongan Ahl al-Kitab. Atau dengan penjelasan lain, kata “kafir” pada ayat tersebut adalah menunjukkan kepada al-Musyrikat.[13]
-     Hukum Nikah Laki-laki Muslim dengan Wanita Ahli Kitab
Sebagian Ulama membolehkan dan sebagian lagi mengharamkannya. Ulama yang membolehkan berdasarkan firman Allah :
 

اليَومَ اُحِلَّ لَكُمُ الطّيِّبٰتُ ۖ وَطَعَامُ الَّذِينَ اُوتُوا الكِتَٰبَ حِلٌّ لَكُمۖ وَطَعَا مُكُم حِلٌّ لَّهُمۖ وَالمُحصَنٰتُ مِنَ الَّذِينَ اُوتُوا الكِتٰبَ مِن قَبلِكُم اِذَا؅ اٰتَيتُمُوهُنَّ اُجُورَهُنَّ مُحصِنِينَ غَيرَ مُسَافِحِينَ وَلاَ مُتَّخِذِي اَخدَانٍۗ وَمَن يَّكفُر بِالاِيمَان فَقَد حَبِطَ عَمَلُهٗ ۖوَهُوَ فِى الاٰخِرَةِ مِنَ الخٰسِرِينَ ۝

 
“Pada hari ini dihalalkan bagimu yang baik-baik. Makanan (sembelihan) orang-orang yang diberi al-Kitab itu halal bagimu, dan makanan kamu halal (pula) bagi mereka. (dan dihalalkan mengawini) wanita yang menjaga kehormatan di antara wanita-wanita yang beriman dan wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara orang-orang yang diberi al-Kitab sebelum kamu, bila kamu telah membayar maskawin mereka dengan maksud menikahinya, tidak dengan maksud berzina dan tidak (pula) menjadikannya gundik-gundik. Barangsiapa yang kafir sesudah beriman (tidak menerima hukum-hukum Islam), maka hapuslah amalannya dan ia di hari kiamat termasuk orang-orang merugi.”.[14]                                              
 
Dari teks zahir ayat ini dapat dipahami bahwa Allah membolehkan pernikahan laki-laki Muslim dengan wanita Ahl al-Kitab yang muhsanat artinya wanita-wanita yang menjaga kehormatannya dari perbuatan zina. Selain arti itu, ada juga yang memahami kata muhsanat ketika dirangkaikan dengan utu al-kitab dari ayat di atas dengan arti wanita-wanita merdeka atau wanita-wanita yang sudah menikah.[15]
Sedangkan yang mengharamkannya juga merujuk pada firman Allah pada surat al-Baqarah ayat 221 yang menyatakan: 
 

وَلَا تَنكِحُوا المُشرِكٰتِ حَتّٰى يُؤمِنَّ ۚ وَلَأَمَةٌ مُّؤمِنَةٌ خَيرٌ مِّن مُّشرِكَةٍ وَلَو اَعجَبَتكُم ۗ  وَلاَ تُنكِحُوا المُشرِكِينَ حَتَّى يُؤمِنُوا ۚ وَلَعَبدٌ مُّؤمِنٌ خَيرٌ مِّن مُشرِكٍ وَلَو اَعجَبَكُم ۚ  اُولَئِكَ يَدعُونَ اِلَىالنَّار ۖ  وَاللّهُ يَدعُوا اِلَى الجَنَّةِ وَالمَغفِرَةِ بِاِذنِهِ ۖ وَيُبَيِّنُ ءَايَتِهِ لِلنَّاسِ لَعَلَّهُم يَتَذَكَّرُونَ ۝

 
“Dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita mukmin) sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak yang mukmin lebih baik dari orang musyrik, walaupun dia menarik hatimu; mereka mengajak ke neraka, sedang Allah mengajak ke surga dan ampunan dengan izin-Nya. Dan Allah menerangkan ayat-ayat-Nya (perintah-perintah-Nya) kepada manusia supaya mereka mengambil pelajaran”.[16]
 
Dari ayat ini dapat dipahami bahwa Allah mengharamkan pernikahan antara laki-laki Muslim dengan wanita Musyrik, begitu juga sebaliknya, wanita muslim pun dilarang menikahi laki-laki Musyrik.[17]
Kelompok yang mengharamkan, mengatakan bahwa Q.S. al-Ma'idah ayat 5 di atas telah dinasakh oleh Q.S. al-Baqarah ayat 221. Di antara yang berpendapat demikian adalah Syi'ah Imamiyyah dan Syi'ah Zaidiyyah. Seorang sahabat nabi, Ibnu 'Umar r.a, ketika ditanya tentang pernikahan antara laki-laki Muslim dengan wanita Ahl al-Kitab menjawab: Allah mengharamkan wanita-wanita Musyrik dinikahi orang-orang Islam dan aku tidak melihat kesyirikan yang lebih besar dari seorang wanita yang berkata: 'Isa adalah Tuhan, atau Tuhannya adalah seorang manusia hamba Allah. Dapat disimpulkan bahwa Ibnu 'Umar tidak membedakan antara Ahl al-Kitab dan musyrik, yakni karena Ahl al-Kitab berbuat syirik, ia juga masuk dalam kategori musyrik.[18]
Adapun golongan yang membolehkan juga menguatkan pendapat mereka dengan menyebutkan terdapat beberapa sahabat dan tabi'in yang pernah menikah dengan wanita Ahl al-Kitab. Dari kalangan sahabat antara lain ialah 'Usman, Talhah, Ibnu 'Abbas, Jabir bin Huzaifah. Sedangkan dari kalangan tabi'in semisal Sa'id ibn Musayyab, Sa'id ibn Zubair, al-Hasan, Mujahid, Tawus, Ikrimah, asy-Sya'abiy dan ad-Dahhak.[19]
Dalam pandangan muslim modernis, mengenai pernikahan laki-laki muslim dengan wanita musyrikah menurut Muhammad Abduh sebagaimana dinukilkan oleh Rasyid Ridha adalah diperbolehkan selain wanita musyrikah Arab, hal ini dilatarbelakangi oleh penafsirannya terhadap kata musyrikah dalam surat Al-Baqarah ayat 221, ia secara tegas menyatakan bahwa perempuan yang haram dinikahi oleh laki-laki muslim ialah perempuan-perempuan musyrikah Arab.[20] Jadi menurut pendapat ini, seorang Muslim boleh menikahi wanita musyrikah dari bangsa non-Arab seperti Cina, Jepang dan India (sebab masuk dalam kategori ahli kitab).[21]
Sedangkan pernikahan laki-laki muslim dengan wanita kitabiyyah adalah diperbolehkan, hal ini didasarkan pada surat al-Maidah ayat 5:[22]
 

اليَومَ اُحِلَّ لَكُمُ الطّيِّبٰتُ ۖ وَطَعَامُ الَّذِينَ اُوتُوا الكِتَٰبَ حِلٌّ لَكُمۖ وَطَعَا مُكُم حِلٌّ لَّهُمۖ وَالمُحصَنٰتُ مِنَ الَّذِينَ اُوتُوا الكِتٰبَ مِن قَبلِكُم

 
“Pada hari ini dihalalkan bagimu yang baik-baik. Makanan (sembelihan) orang-orang yang diberi al-Kitab itu halal bagimu, dan makanan kamu halal (pula) bagi mereka. (dan dihalalkan mengawini) wanita yang menjaga kehormatan di antara wanita-wanita yang beriman dan wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara orang-orang yang diberi al-Kitab sebelum kamu.”.
 
Dinyatakan bahwa halalnya bagi laki-laki muslim menikahi wanita-wanita yang beriman dan juga wanita-wanita yang menjaga kehormatan mereka dari perbuatan zina (muhsanat) dari penganut agama Yahudi dan Nasrani. Itu semua dengan syarat membayar maskawin mereka.[23] Selain arti itu, ada juga yang memahami kata muhsanat ketika dirangkaikan dengan utu al-kitab dari ayat di atas dengan arti wanita-wanita merdeka atau wanita-wanita yang sudah kawin.[24]
Menurut Abduh,[25] ahl al-Kitab mencakup penganut agama Yahudi, Nasrani, dan Shabi’un. Muhammad Rasyid Ridha berpendapat bahwa ahl al-Kitab mencakup Yahudi, Nasrani, Majusi, Shabi’un, Hindu, Budha, Kong Fu Tse (Konghucu) dan Shinto. Dalam menetapkan keahlikitaban satu ummat, Ridha menggunakan kriteria memiliki kitab suci dan atau mengikuti nabi yang dikenal, baik dalam tradisi agama Ibrahim maupun bukan.[26]
Muslim modernis memandang bahwa diperbolehkan terjadinya pernikahan antara laki-laki muslim dengan wanita non muslimah yang masuk dalam cakupan makna ahl al-Kitab dan bukan termasuk musyrikah Arab, yakni yang beragama Yahudi, Nasrani, Majusi, Kong Hucu, Shinto, Kristen, Hindu, Budha dan Shabi’un.
Wahbah az-Zuhali menyebutkan bahwa Ulama telah sepakat terhadap bolehnya menikahi wanita wanita kitabiyyah yaitu wanita yang meyakini agama samawi seperti Yahudi dan Nasrani. Sedangkan yang dimaksud dengan ahli kitab adalah ahlu at-Taurah dan Injil.
Relevansi pemikiran Wahbah az-Zuḥailī dengan kondisi sekarang ini adalah ada legitimasi hukum positif untuk mengatur sebuah hukum keluarga khususnya dalam hal pernikahan dari masing-masing agama. Islam mempunyai peraturan perundang-undangan tentang pernikahan dan ada peluang untuk memasukkan sebuah pemikiran dari para ulama. Konteks Indonesia sangat menentukan KHI untuk dibuat sedemikian rupa sehingga wanita  Non Islam di Indonesia mutlak diharamkan untuk dinikahi. MUI yang bersifat dinamis, tidak mengikat, walaupun mengeluarkan fatwanya tentang haram menikahi wanita Ahl al-Kitāb, tidak bisa melarang terhadap pendapat Wahbah az-Zuḥailī. Konteks wanita Yahudi dan Nasrani di Indonesia, sesuai dengan batasan-batasan menurut Wahbah az-Zuḥailī, bukanlah Ahl al-Kitāb, dengan pertimbangan: fakta sejarah membuktikan bahwa ajaran Trinitas Kristen dipengaruhi oleh ajaran agama lain sebelum agama Kristen ada. Proses penulisan Kitab Taurat  merupakan  bagian dari Perjanjian Lama dan Empat Injil (Matius, Markus, Lukas, dan Yohanes Yahya)  merupakan bagian dari Perjanjian Baru, Taurat tidak ditulis dari satu sumber saja tetapi dari empat sumber (Yahwist, Elohist, Deuteronomis, dan Priester). 
Sementara menurut Muhammad Quraish Shihab, bahwa apabila laki-laki Muslim menikah dengan wanita Ahli Kitab masih diperbolehkan. Dalam hal ini Quraish Shihab mengacu pada QS. Al-maidah ayat 5. Memang pada Al-maidah ayat 5 membolehkan pernikahan antara laki-laki Muslim dengan wanita Ahl al-Khitab, tetapi izin ini adalah sebagai jalan keluar kebutuhan mendesak ketika itu, di mana kaum Muslim sering berpergian jauh melaksanakan jihad tanpa mampu kembali ke keluarga mereka dan sekalipun juga untuk tujuan dakwah. Namun hal ini tidak berlaku untuk sebaliknya, yaitu Pernikahan antara laki-laki Ahl Kitab tetap diharamkan menikah dengan wanita Muslimah.
Dalam konteks lain Quraish Shihab juga menyebutkan bahwa al-Qur’an telah membedakan antara Ahl Kitab dengan Musyrik  sebagaimana firman Allah pada QS. Al-Bayyinah ayat 1:
 

لَم يَكُنِ الَّذِينَ كَفَرُوا مِن اَهلِ الكِتٰبِ وَالمُشرِكِينَ مُنفَكِّينَ حَتّٰى تَأتِيَهُمُ البَيِّنَةُ ۝

 
“Orang-orang kafir Yakni ahli kitab dan orang-orang musyrik (mengatakan bahwa mereka) tidak akan meninggalkan (agamanya) sebelum datang kepada mereka bukti yang nyata.”.
 
Ayat di atas membedakan orang-orang Kafir menjadi dua yaitu Ahl-Kitab dan orang Musyrik, perbedaan ini dipahami dari huruf  وpada ayat di atas kemudian pada ayat itu diterjemahkan (dan).[27] Istilah Syirik adalah mempersekutukan sesuatu dengan sesuatu. Dalam pandangan agama seorang Musyrik adalah siapa yang percaya ada Tuhan bersama Allah atau siapa yang beraktivitas dengan tujuan ganda, yang pertama untuk Allah yang kedua untuk yang lain-Nya. [28] Sedangkan yang dimaksud dengan Ahl Kitab menurut Quraish, itu mencakup dua golongan saja, yaitu Yahudi dan Nasrani. Pada QS. Al-maidah ayat 5 yang dimaksud wanita-wanita yang menjaga kehormatannya merupakan isyarat bahwa yang seharusnya dikawini adalah wanita-wanita yang menjaga kehormatannya, baik wanita mukminah maupun Ahl al-kitab. Ada juga yang memahami kata tersebut ketika dirangkaikan dengan utu al-kitab, dalam arti wanita-wanita merdeka. Memang kata itu dapat berarti merdeka atau yang terpelihara kehormatannya, atau yang sudah kawin. Selanjutnya, didahulukannya penyebutan wanita-wanita mukminah memberi isyarat bahwa mereka yang harus didahulukan, karena betapa pun juga, persamaan agama dan pandangan hidup sangat membantu melahirkan ketenangan bahkan sangat menentukan kelanggengan rumah tangga. 
Di sini artinya beliau tidak serta merta menafsirkan untuk memperbolehkan perkawinan Muslim dengan wanita Ahl Kitab kecuali dengan kriteria sebagai berikut: pertama, Ahl Kitab itu harus benar-benar berpegang pada agama samawi. Kedua, wanita Ahl Kitab tersebut adalah wanita Muhshonaat, yaitu orang yang menjaga kehormatan dirinya dari perbuatan zina dan perbuatan keji lainnya.[29]
-     Hukum Nikah Wanita Muslimah dengan Laki-laki Non-Muslim
Para Ulama telah sepakat bahwa Islam melarang keras pernikahan antara seorang wanita muslimah dengan laki-laki non-muslim, baik pemeluk agama yang memiliki kitab suci (seperti Kristen dan Yahudi), pemeluk agama yang memiliki kitab serupa kitab suci (seperti Budhisme, Hinduisme) maupun pemeluk agama yang tidak memiliki kitab suci dan juga kitab yang serupa kitab suci. Demikian juga penganut kepercayaan lainnya, seperti penganut Animisme, Atheisme, Politheisme, dan sebagainya.[30] Beberapa landasan yang digunakan oleh para ulama atas pernikahan ini, antara lain:
 

وَلَا تَنكِحُوا المُشرِكٰتِ حَتّٰى يُؤمِنَّ ۚ وَلَأَمَةٌ مُّؤمِنَةٌ خَيرٌ مِّن مُّشرِكَةٍ وَلَو اَعجَبَتكُم ۗ  وَلاَ تُنكِحُوا المُشرِكِينَ حَتَّى يُؤمِنُوا ۚ وَلَعَبدٌ مُّؤمِنٌ خَيرٌ مِّن مُشرِكٍ وَلَو اَعجَبَكُم ۚ  اُولَئِكَ يَدعُونَ اِلَىالنَّار ۖ  وَاللّهُ يَدعُوا اِلَى الجَنَّةِ وَالمَغفِرَةِ بِاِذنِهِ ۖ وَيُبَيِّنُ ءَايَتِهِ لِلنَّاسِ لَعَلَّهُم يَتَذَكَّرُونَ ۝

 

“Dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita mukmin) sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak yang mukmin lebih baik dari orang musyrik, walaupun dia menarik hatimu; mereka mengajak ke neraka, sedang Allah mengajak ke surga dan ampunan dengan izin-Nya. Dan Allah menerangkan ayat-ayat-Nya (perintah-perintah-Nya) kepada manusia supaya mereka mengambil pelajaran.” (QS. al-Baqarah:221)

 

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا جَاءَكُمُ الْمُؤْمِنَاتُ مُهَاجِرَاتٍ فَامْتَحِنُوهُنَّ ۖ اللَّـهُ أَعْلَمُ بِإِيمَانِهِنَّ ۖ فَإِنْ عَلِمْتُمُوهُنَّ مُؤْمِنَاتٍ فَلَا تَرْجِعُوهُنَّ إِلَى الْكُفَّارِ ۖ لَا هُنَّ حِلٌّ لَّهُمْ وَلَا هُمْ يَحِلُّونَ لَهُنَّ ۖ وَآتُوهُم مَّا أَنفَقُوا ۚ وَلَا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ أَن تَنكِحُوهُنَّ إِذَا آتَيْتُمُوهُنَّ أُجُورَهُنَّ ۚ وَلَا تُمْسِكُوا بِعِصَمِ الْكَوَافِرِ وَاسْأَلُوا مَا أَنفَقْتُمْ وَلْيَسْأَلُوا مَا أَنفَقُوا ۚ ذَٰلِكُمْ حُكْمُ اللَّـهِ ۖ يَحْكُمُ بَيْنَكُمْ ۚ وَاللَّـهُ عَلِيمٌ حَكِيمٌ۝

 

“Hai orang-orang yang beriman, apabila datang berhijrah kepadamu perempuan-perempuan yang beriman, maka hendaklah kamu uji (keimanan) mereka. Allah lebih mengetahui tentang keimanan mereka; maka jika kamu telah mengetahui bahwa mereka (benar-benar) beriman maka janganlah kamu kembalikan mereka kepada (suami-suami mereka) orang-orang kafir. Mereka tiada halal bagi orang-orang kafir itu dan orang-orang kafir itu tiada halal pula bagi mereka. Dan berikanlah kepada (suami-suami) mereka mahar yang telah mereka bayar. Dan tiada dosa atasmu mengawini mereka apabila kamu bayar kepada mereka maharnya. Dan janganlah kamu tetap berpegang pada tali (perkawinan) dengan perempuan-perempuan kafir; dan hendaklah kamu minta mahar yang telah kamu bayar; dan hendaklah mereka meminta mahar yang telah mereka bayar. Demikianlah hukum Allah yang ditetapkan-Nya di antara kamu. Dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.”. (QS. al-Mumtahanah:110)

 
Larangan pernikahan yang dinyatakan dalam Kompilasi Hukum Islam baik pada pasal 40 C maupun pasal 44 (wanita muslim dengan laki-laki non-muslim) memiliki alasan yang kuat.
1)   Dari segi hukum positif bisa dikemukakan dasar hukumnya antara lain pasal 2 ayat (1) UU. No. 1 Tahun 1974.
2)   Dari segi hukum Islam dapat disebutkan beberapa dalil sebagai berikut:
·      Sadd adz-dzari’ah, artinya sebagai tindakan preventif untuk mencegah terjadinya kemurtadan dan kehancuran rumah tangga.
·      Kaidah fiqh “dar’u al-mafasid muqaddam ‘ala jalb al-mashalih”, artinya mencegah atau menghindari mafsadah atau resiko yang berupa kemurtadan dan broken home itu harus diutamakan daripada upaya menariknya ke dalam Islam (suami, anak, dan keluarga besar). Pada prinsipnya agama Islam melarang pernikahan ini karena mengandung resiko yang tinggi.[31]
 
Pernikahan Antara Muslim dengan Non Muslim dalam Perspektif Perundang-undangan Perkawinan di Indonesia
Dalam peraturan Perkawinan Campuran/Regeling op de Gemengde Huwelijken, Staatsblad 1898 Nomor 158 (GHR),[32] beberapa ketentuan tentang pernikahan beda agama adalah sebagai berikut:
Pasal 1: “Perlangsungan perkawinan antara orang-orang yang di Hindia Belanda tunduk pada hukum yang berbeda, disebut perkawinan campuran.”.
Pasal 6 ayat (1): “Perkawinan campuran dilangsungkan menurut hukum yang berlaku atas suaminya, kecuali izin para calon mitra kawin yang selalu disyaratkan.”.
Pasal 7 ayat (2): “Perbedaan agama, golongan penduduk atau asal-usul tidak dapat merupakan halangan pelangsungan perkawinan.”.

Beberapa pasal di atas secara tegas mengatur tentang pernikahan beda agama. Bahkan disebutkan bahwa perbedaan agama tidak dapat dijadikan alasan untuk mencegah terjadinya perkawinan.

Dalam Undang-undang No. 1 Tahun 1974 pasal yang dijadikan sebagai landasan pernikahan beda agama adalah:
Pasal 2 ayat (1):”Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu.”
Pasal 8F: “Perkawinan dilarang antara dua orang yang mempunyai hubungan yang oleh agamanya atau peraturan lain yang berlaku, dilarang kawin.”.
Pasal 57: “Yang dimaksud dengan perkawinan campuran dalam undang-undang ini ialah perkawinan antara dua orang yang di Indonesia tunduk pada hukum yang berlainan, karena perbedaan kewarganegaraan dan salah satu pihak berkewarganegaraan Indonesia.”.

Terhadap ketiga pasal di atas muncul beberapa penafsiran yang berbeda yang mengakibatkan terjadinya perbedaan pemahaman tentang pernikahan beda agama di Indonesia, sebagaimana berikut:

Kompilasi Hukum Islam pasal 40C dan pasal 44 secara eksplisit mengatur tentang larangan pernikahan antara laki-laki muslim dengan wanita non-muslim. Pasal 40C Kompilasi Hukum Islam menyatakan sebagai berikut: ,“Dilarang melangsungkan perkawinan antara seorang pria dengan seorang wanita karena keadaan tertentu: (a) karena wanita yang bersangkutan masih terikat satu perkawinan dengan pria lain;(b) seorang wanita yang masih berada dalam masa iddah dengan pria lain;(c) seorang wanita yang tidak beragama Islam.”.
Pasal 40C di atas secara eksplisit melarang terjadinya pernikahan antara laki-laki muslim dengan wanita non-muslim (baik ahli kitab maupun non ahli kitab). Jadi, pasal ini memberikan penjelasan bahwa wanita non-muslim apapun agama yang dianutnya tidak boleh dinikahi oleh laki-laki yang beragama Islam. Sedangkan pasal 44 menyatakan bahwa, “Seorang wanita Islam dilarang melangsungkan perkawinan dengan seorang pria yang tidak beragama Islam.”.
Pasal ini secara tegas melarang terjadinya pernikahan antara wanita muslim dengan laki-laki non-muslim (baik ahli kitab maupun non ahli kitab).
 
Terakhir, pasal 60 Kompilasi Hukum Islam, yang menyatakan bahwa:
a)    Pencegahan perkawinan bertujuan untuk menghindari suatu perkawinan yang dilarang hukum Islam dan Peraturan Perundang-undangan.
b)   Pencegahan perkawinan dapat dilakukan bila calon suami atau calon isteri yang akan melangsungkan perkawinan tidak memenuhi syarat-syarat untuk melangsungkan perkawinan menurut hukum Islam dan Peraturan Perundang-undangan.

Pasal ini secara tegas memberikan penjelasan tentang pencegahan pernikahan terhadap calon mempelai yang tidak memenuhi syarat yang ditetapkan oleh hukum Islam maupun peraturan perundang-undangan. Pasal ini menguatkan pelarangan pernikahan beda agama.

 
Beberapa pandangan terkait dengan peraturan pernikahan beda agama menurut peraturan pernikahan campuran, staatsblad 1898 nomor 158 (ghr), undang-undang perkawinan no. 1 tahun 1974, dan kompilasi hukum Islam di Indonesia
Para pakar hukum berbeda pendapat mengenai pernikahan beda agama dalam undang-undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974. Hal ini disebabkan karena undang-undang tersebut tidak menyebut secara tertulis mengenai pernikahan beda agama. Pada garis besarnya ada tiga pandangan tentang pernikahan beda agama di Indonesia terkait dengan undang-undang tersebut, yakni:
§  Pernikahan beda agama tidak dibenarkan dan merupakan pelanggaran terhadap undang-undang pernikahan berdasarkan pasal 2 ayat (1) dan pasal 8F yang dengan tegas menyebutkan hal itu. Oleh karena itu, pernikahan beda agama adalah tidak sah dan batal demi hukum.
§  Pernikahan beda agana adalah diperbolehkan dan sah, oleh sebab itu dapat dilangsungkan. Karena, pernikahan tersebut termasuk dalam pernikahan campuran. Pendapat ini berpegang pada pasal 57, yang bertumpu pada kalimat “perkawinan antara dua orang yang di Indonesia tunduk pada hukum yang berlainan”. Oleh karena itu, pasal tersebut tidak hanya mengatur pernikahan beda kewarganegaraan saja, tetapi juga mengatur tentang pernikahan beda agama. Menurut pendapat ini, pelaksanaan pernikahan beda agama dilakukan menurut tata cara yang diatur oleh pasal 6 Peraturan Perkawinan Campuran.
§  Undang-undang pernikahan tidak mengatur tentang pernikahan beda agama. Oleh karena itu, dengan merujuk pasal 66 undang-undang Perkawinan, maka peraturan-peraturan lama selama selama undang-undang Perkawinan belum mengaturnya dapat diberlakukan. Dengan demikian maka masalah pernikahan beda agama harus berpedoman kepada Peraturan Perkawinan Campuran.[33]

Sehubungan dengan pandangan kelompok ketiga ini, menarik untuk dicatat bahwa Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia dalam suratnya No. KMA/72/IV/1981 tanggal 20 April 1981 yang ditujukan kepada Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri secara tegas menyatakan:

1)   Merupakan suatu kenyataan yang hidup di dalam masyarakat Indonesia yang serba majemuk ini yang terdiri dari berbagai macam golongan suku, adalah pemeluk agama dan penganut kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa yang berbeda satu dengan lainnya.
2)   Adalah suatu kenyataan pula bahwa antar mereka itu, ada yang menjalin suatu hubungan dalam membentuk suatu keluarga yang bahagia dan kekal melalui proses perkawinan, di mana undang-undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan belum mengatur perihal perkawinan campuran.
3)   Meskipun demikian dapat dicatat bahwa pasal 66 undang-undang Perkawinan memungkinkan S. 1898 No. 158 diberlakukan untuk mereka sepanjang undang-undang Perkawinan belum mengatur hal-hal yang berhubungan dengan perkawinan campuran dimaksud.[34]
 
Di samping ketiga pendapat di atas, ada pula yang berpandangan bahwa undang-undang Perkawinan perlu disempurnakan sebab ada kekosongan hukum tentang pernikahan beda agama. Pentingnya penyempurnaan undang-undang tersebut disebabkan karena beberapa hal[35] yaitu:
-     Undang-undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974 tidak mengatur pernikahan beda agama.
-     Masyarakat Indonesia adalah masyarakat plural yang menyebabkan pernikahan beda agama tidak dapat dihindarkan.
-     Persoalan agama adalah menyangkut hak asasi seseorang
-     Kekosongan hukum dalam bidang pernikahan tidak dapat dibiarkan begitu saja sebab akan dapat mendorong terjadinya perzinaan terselubung melalui pintu kumpul kebo/samen leven.
 
Masyarakat kelompok muslim di Indonesia berpandangan bahwa undang-undang perkawinan tidak perlu disempurnakan dengan mencantumkan hukum pernikahan beda agama, sebab mereka berpendapat undang-undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974 telah mengatur hukum pernikahan beda agama dengan tegas dan jelas.[36]
Berdasarkan pasal-pasal di atas dapat dinyatakan bahwa mengenai sah atau tidaknya sebuah pernikahan, diserahkan kepada aturan yang terdapat dalam agama atau kepercayaan yang dianut oleh para pihak yang akan melangsungkan pernikahan. Dengan demikian, maka undang-undang ini tidak mengatur tentang pernikahan  antara laki-laki muslim dengan wanita non-muslim dan secara tegas menyerahkan sah atau tidaknya pernikahan tersebut kepada aturan yang terdapat dalam kepercayaan yang dianut.

Pengesahan Kompilasi Hukum Islam dengan menggunakan Instruksi Presiden Instruksi No. 1 Tahun 1991 dan tidak menggunakan undang-undang memunculkan dua pandangan yang berbeda mengenai kekuatan hukum Kompilasi Hukum Islam, di kalangan Ahli Hukum ada dua, yakni:[37]

1)   Imperatif (Mengikat)
Kelompok ini menyatakan bahwa, meskipun Inpres tidak termasuk dalam tata urutan peraturan perundang-undangan yang ditetapkan dalam TAP MPRS No. XX/MPRS/1966 juncto TAP MPR No. V/MPR/1973 namun Inpres memiliki kedudukan yang sama dengan Kepres, dan keduanya memiliki posisi yang sama dengan Undang-Undang. Oleh karena itu, Kompilasi Hukum Islam memiliki kekuatan mengikat secara Imperatif.[38]
Argumen lain yang diajukan adalah bahwa dalam konsideran Instruksi Presiden No. 1 Tahun 1991 dinyatakan sebagai berikut:
-     Bahwa Alim Ulama Indonesia dalam lokakarya yang diadakan di Jakarta pada tanggal 2-5 Februari 1988 telah menerima baik tiga rancangan buku Kompilasi Hukum Islam, yaitu Buku I tentang Hukum Perkawinan, Buku II tentang Hukum Kewarisan, Buku III tentang Hukum Perwakafan.
-     Bahwa Kompilasi Hukum Islam tersebut dalam huruf a oleh Instansi Pemerintah dan oleh masyarakat yang memerlukannya dapat dipergunakan sebagai pedoman dalam menyelesaikan masalah-masalah di bidang tersebut.
-     Bahwa oleh karena itu Kompilasi Hukum Islam tersebut dalam huruf a perlu disebarluaskan.[39]
2)   Fakultatif (Tidak Mengikat)
Kelompok ini menyatakan bahwa, Inpres tidak termasuk dalam tata urutan peraturan perundang-undangan yang ditetapkan dalam TAP MPRS No. XX/MPRS/1966 juncto TAP MPR No. V/MPR/1973[40] dengan demikian, maka Kompilasi Hukum Islam tergolong Hukum yang tidak tertulis sebab Inpres tidak termasuk dalam tata urutan peraturan perundang-undangan yang berlaku positif di Indonesia.[41]
Argumen lain yang diajukan adalah bahwa dalam konsideran point b Instruksi Presiden No. 1 Tahun 1971 dinyatakan bahwa Kompilasi Hukum Islam tersebut dalam huruf a oleh Instansi Pemerintah dan oleh  masyarakat yang memerlukannya dapat dipergunakan sebagai pedoman dalam menyelesaikan masalah-masalah di bidang tersebut.
Kalimat “dapat dipergunakan sebagai pedoman”  menunjukkan bahwa Kompilasi Hukum Islam tidak mengikat secara Imperatif . oleh karena itu, para pihak dapat menjalankannya dan dapat pula meninggalkannya, sesuai dengan kebutuhan dan keperluannya. Dengan demikian maka pedoman disini memiliki pengertian bersifat Fakultatif. [42] Oleh karenanya dalam praktek, orang yang menyampingkan hukum Kompilasi Hukum Islam tidak dapat dipersalahkan telah melanggar hukum.
 
PENUTUP
Sebagaimana telah diuraikan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa hukum pernikahan antara muslim dan non-muslim adalah sebagai berikut:
1)   Pernikahan laki-laki muslim dengan wanita bukan ahli kitab ialah haram atau dinyatakan tidak sah menurut perspektif agama. Sedangkan, pernikahan antara laki-laki muslim dengan wanita ahli kitab ialah masih diperbolehkan, apabila wanita Ahli Kitab tersebut benar-benar berpegang pada agama samawi, dan wanita Ahli Kitab tersebut adalah wanita Muhshonaat, yakni orang yang menjaga kehormatan dirinya dari perbuatan zina dan perbuatan keji lainnya. Namun, karena pada masa sekarang keorisinilan kitab yang dimiliki oleh agama selain agama Islam telah hilang keorisinilannya, maka pernikahan ini tetap dinyatakan tidak sah menurut agama di masa sekarang. Sedangkan, dalam perundang-undangan, pernikahan  antara laki-laki muslim dengan wanita non-muslim (baik ahli kitab maupun yang bukan ahli kitab) memiliki dua perspektif, yakni: (a) bersifat imperatif (mengikat), maka tidak sah dan batal menurut hukum. (b) bersifat fakultatif (tidak mengikat), maka sah atau tidaknya diserahkan sepenuhnya pada peraturan yang ada pada agama (Islam) tinggal apakah memakai pandangan muslim konvensional atau pandangan muslim modernis.
2)   Pernikahan antara wanita muslimah dengan laki-laki non-muslim baik itu ahli kitab atau bukan, dihukumi mutlak keharamannya apabila ditinjau dari perspektif agama maupun perundang-undangan yang  berlaku di Indonesia.

 


[1] Nur Djaman, Fiqh Munakahat, cet. 1 (Semarang: CV. Toha Putra, 1993), hlm. 5.
[2] Aż-Żāriyāt (51): 49.
[3] Kutbuddin Aibak, Kajian Fiqh Kontemporer,Yogyakarta, Penerbit TERAS, 2009, hlm. 39.
[4] M. Atho Mudzhar, Fatwa-Fatwa Majelis Ulama Indonesia Sebuah Studi tentang Pemikiran Hukum  Islam di Indonesia 1957-1988, (Jakarta: INIS, 1993), hlm. 11.
[5] Kutbuddin Aibak, Kajian Fiqh Kontemporer,Yogyakarta, Penerbit TERAS, 2009, hlm. 40.
[6] Wahbah az-Zuhaili, al-Fiqhu al-Islami wa Adillatuh, IX, Beirut: Dar al-Fikr, 1997), hlm. 6613.
[7] Abu Ishaq Ibrahim Ibn ‘Ali ibn Yusuf al-Fairuzabadi asy-Syirazi, Al-Muhazzab fi Fiqh Mazhab al-Imam asy-Syafi’i, II, (Beirut: Dar al-Fikr, 1994), hlm. 6.
[8] Asy-Syaikh Zain ad-Din ‘Abd al-‘Aziz al-Malibari, Fath al-Mu’in, (Semarang: Toha Putera, t.t.), hlm. 101.
[9] ‘Abd ar-Rahman al-Jazairi, Kitab al-Fiqh ‘ala al-Mazahib al-Arba’ah, IV, (Beirut: Dar al-Fikr, 2002), hlm. 61.
[10] Wahbah az-Zuhaili, al-Fiqhu al-Islami, hlm. 6651-6652.
[11] Budi Handrianto, Perkawinan Beda Agama dalam Syariat Islam, (Jakarta: Khairul Bayan, 2003), hlm. 43-44.
[12] M. Hasbi ash-Shiddieqy, Hukum-hukum Fiqih Islam, (Jakarta: PT. Bulan Bintang, 1991), hlm. 167. Lihat juga hasil Muktamar NU dalam Solusi Problematika Aktual Hukum Islam, Keputusan Muktamar, Munas dan Konbes NU (1926-1999 M), (Surabaya: LTN NU Jawa Timur & Diantama), hlm. 304.
[13] Quraish Shihab, Tafsir Al Misbah III, hlm.  67.
[14] Kementrian Agama RI, al-Qur’an Tajwid dan Terjemahannya, (Jakarta: PT. Sygma Examedia), hlm. 106. 
[15] Munir Fuady, Sejarah Hukum, cet. 1, (Bogor: Ghalia Indonesia, 2009), hlm. 57.
[16] Kementrian Agama RI, al-Qur’an Tajwid dan Terjemahannya, (Jakarta: PT. Sygma Examedia), hlm. 303.
[17] Galib,”Ahl al-Kitab makna dan cakupannya”, (Jakarta: Paramadina 1998), hlm. 20.
[18] Galib,”Ahl al-Kitab makna dan cakupannya”, (Jakarta: Paramadina 1998), hlm. 21.                                    
[19] Galib,”Ahl al-Kitab makna dan cakupannya”, (Jakarta: Paramadina 1998), hlm. 22.
[20] Muhammad Abduh dan Muhammad Rasyid Ridha, Tafsir al-Manar, II, IV, (Beirut: Dar al-Ma’rifah, t.t.), hlm. 193; M. Quraish Shihab, Wawasan Al-Qur’an Tafsir Maudhu’i atas Pelbagai Persoalan Umat, (Jakarta: Mizan, 1998, hlm. 367-368; Mun’im A. Sirry (ed.), Fiqih Lintas Agama Membangun Masyarakat Inklusif-Pluralis, (Jakarta: Paramadina, 2004), hlm. 160; M.M. Galib, Ahl Al-Kitab Makna dan Cakupannya, (Jakarta: Paramadina, 1998), hlm. 33 & 35.
[21] Masjfuk Zuhdi, Masa’il Fiqhiyah: Kapita Selekta Hukum Islam, (Jakarta: Haji Masagung, 1994), hlm. 5.
[22] Muhammad Abduh dan Muhammad Rasyid Ridha, Tafsir al-Manar, hlm. 351
[23] M. Quraish Shihab, Al-Lubab, Tangerang, Lentera Hati, 2012, hlm. 252-253.
[24] Munir Fuady, Sejarah Hukum, cet. 1, (Bogor: Ghalia Indonesia, 2009). Hal. 57
[25] Muhammad Abduh, Tafsir Al-Qur’an al-Karim Juz ‘Amma, (Kairo, Dar wa Mathabi’ al-Sya’b, t.t.), hlm. 101
[26]Muhammad Abduh dan Muhammad Rasyid Ridha, Tafsir al-Manar, hlm. 188-190; Hamim Ilyas, “Pandangan Muslim...”, hlm. 142-143.
[27] Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah III, (Jakarta: Lentera, 2003), hlm. 29.
[28] Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah III, (Jakarta: Lentera, 2003), hlm. 442.
[29] Quraish Shihab, Tafsir Al Misbah I, (Jakarta: Lentera, 2003), hlm. 209.
[30] Kutbuddin Aibak, Kajian Fiqh Kontemporer,Yogyakarta, Penerbit TERAS, 2009, hlm. 62.
[31] Masjfuk Zuhdi, Masail Fiqhiyah, hlm. 10.
[32] Wila Chandrawila Supriadi, Hukum Perkawinan Indonesia dan Belanda, (Bandung: Mandar Maju, 2002), hlm. 90-95.
[33] O.S. Eoh, Perkawinan Antar Agama dalam Teori dan Praktek, (Jakarta: PT. Raja Gofindo Persada, 2001), hlm. 92-93.
[34] Wila Chandrawila Supriadi, Hukum Perkawinan, hlm. 14.
[35] Mazroatus Sa’adah, “Perkawinan Antaragama dalam Peraturan Perundang-undangan Perkawinan di Indonesia”, Tesis Pascasarjana IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2003, hlm. 94-95.
[36] FXS. Pr. Purwaharsanto, Perkawinan Campur Antar Agama Menurut UU RI No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan: Sebuah Telaah Kritis Aktualita Media Cetak, (Yogyakarta: t.p., 1992), hlm. 23.
[37] Ahmad Rafiq, Hukum Islam, hlm. 14-32; M. Yahya Harahap, Kedudukan Kewenangan dan Acara Peradilan Agama (UU No. 7 Thaun 1989), (Jakarta: Sinar Grafika, 2001), hlm. 29-30.
[38] Marzuki Wahid dan Rumadi, Fiqh madzhab Negara  Kritik Atas Politik Hukum Islam di Indonesia, (Yogyakarta: LKiS, 2001), hlm. 166-167.
[39] Depag RI., Kompilasi, hlm. 1.
[40] Hartono Hadisoeprapto, Pengantar Tata Hukum Indonesia, (Yogyakarta: Liberty, 2000), hlm. 20-21; Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum, (Yogyakarta: Liberty, 1999), hlm. 86; C.S.T. Kansil, Pengantar Ilmu Hukum, jilid I, Jakarta: Balai Pustaka, 1992), hlm. 151. Lihat Redaksi Sinar Grafika, Ketetapan-Ketetapan MPR pada Sidang Tahunan MPR 2000, (Jakarta: Sinar Grafika, 2000), hlm.  36.
[41] Marzuki Wahid dan Rumadi, Fiqh Madzhab Negara, hlm. 166.
[42] Marzuki Wahid dan Rumadi, Fiqh Madzhab Negara, hlm. 169.