Latar belakang
Sudah menjadi sunatullah bahwa makhluk
hidup di dunia ini diciptakan oleh Allah SWT berpasang-pasangan. Hidup
berjodoh-jodohan adalah naluri segala makhluk untuk melestarikan keturunan.[1] Hal ini sesuai dengan firman Allah SWT.
[2]وَمِن كُلِّ ِشَيءٍ
خَلَقناَ زَوجَينِي لَعَلَّكُم تَذَكَّرُونَ
Pernikahan merupakan suatu hal yang sangat
penting di dalam kehidupan manusia. Bukan hanya agama, bahkan tradisi atau adat
masyarakat serta negara pun tidak ketinggalan untuk mengatur masalah pernikahan
yang berlaku dan dianggap sah di kalangan masyarakat. Walaupun demikian, pada
kenyataannya aturan yang mengatur masalah pernikahan di setiap penjuru dunia
sangatlah beragam. Hal ini disebabkan karena banyaknya hasil corak pikiran yang
berlainan madzhab.[3]
Bukan hanya itu, keadaan dan kondisi di
suatu daerah juga akan turut mempengaruhi pengaturan hukum tentang pernikahan.[4] Misalkan Indonesia, telah menjadi bukti
bahwa keadaan di suatu negara telah mempengaruhi bagi terbentuknya suatu hukum
di negara tersebut dan menjadi salah satu fenomena yang menarik untuk dikaji
bersama di masa modern dan kontemporer ini.[5]
PEMBAHASAN
Pernikahan Antara Muslim dengan Non Muslim dalam
Perspektif Agama
Dalam konsep konvensional maupun
kontemporer (modernis) pernikahan wanita muslimah dengan laki-laki non muslim
telah disepakati keharamannya. Adapun pernikahan antara laki-laki muslim dengan
wanita non muslimah masih terdapat perbedaan di kalangan ulama. Sebagian
ketentuan tentang pernikahan antara laki-laki muslim dengan wanita non muslimah
diuraikan sebagai berikut:
- Hukum Nikah Laki-laki Muslim dengan Wanita
bukan Ahli Kitab
Mazhab Syafi’i berpendapat bahwa pernikahan antara
laki-laki muslim dengan wanita kafir selain ahli kitab seperti watsani, majusi,
penyembah matahari atau bulan, murtad adalah tidak sah (batal)[6] berdasarkan firman Allah SWT dalam surat
al-Baqarah ayat 221:
وَلَا تَنكِحُوا المُشرِكٰتِ حَتّٰى
يُؤمِنَّ ۚ وَلَأَمَةٌ مُّؤمِنَةٌ خَيرٌ مِّن مُّشرِكَةٍ وَلَو اَعجَبَتكُم
ۗ وَلاَ تُنكِحُوا المُشرِكِينَ حَتَّى
يُؤمِنُوا ۚ وَلَعَبدٌ مُّؤمِنٌ خَيرٌ مِّن مُشرِكٍ وَلَو اَعجَبَكُم
ۚ اُولَئِكَ يَدعُونَ اِلَىالنَّار
ۖ وَاللّهُ يَدعُوا اِلَى الجَنَّةِ
وَالمَغفِرَةِ بِاِذنِهِ ۖ وَيُبَيِّنُ ءَايَتِهِ لِلنَّاسِ لَعَلَّهُم
يَتَذَكَّرُونَ
“Dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik
(dengan wanita-wanita mukmin) sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak yang
mukmin lebih baik dari orang musyrik, walaupun dia menarik hatimu; mereka
mengajak ke neraka, sedang Allah mengajak ke surga dan ampunan dengan izin-Nya.
Dan Allah menerangkan ayat-ayat-Nya (perintah-perintah-Nya) kepada manusia
supaya mereka mengambil pelajaran”.
Asy-Syirazi dalam al-Muhazzab menegaskan
bahwa laki-laki muslim haram menikah dengan perempuan yang bukan ahli kitab
yaitu orang-orang kafir seperti penyembah berhala dan orang murtad.[7] Sedangkan al-Malibari menyebutkan bahwa
syarat wanita yang dapat dinikahi adalah wanita muslimah atau kitabiyyah
Khalishah.[8]
Al-Jaziri menyebutkan bahwa laki-laki muslim tidak
boleh menikah dengan wanita musyrik apapun bentuk kemusyrikannya kecuali kalau
ia masuk Islam. Ketentuan tersebut ditakhsis oleh surat al-Maidah ayat 5 yang
menunjukkan bahwa wanita ahl al-Kitab boleh dinikahi, walaupun mereka
mengatakan bahwa al-Masih adalah Tuhan.[9]
اليَومَ اُحِلَّ لَكُمُ الطّيِّبٰتُ ۖ
وَطَعَامُ الَّذِينَ اُوتُوا الكِتَٰبَ حِلٌّ لَكُمۖ وَطَعَا مُكُم حِلٌّ لَّهُمۖ
وَالمُحصَنٰتُ مِنَ الَّذِينَ اُوتُوا الكِتٰبَ مِن قَبلِكُم اِذَا
اٰتَيتُمُوهُنَّ اُجُورَهُنَّ مُحصِنِينَ غَيرَ مُسَافِحِينَ وَلاَ مُتَّخِذِي
اَخدَانٍۗ وَمَن يَّكفُر بِالاِيمَان فَقَد حَبِطَ عَمَلُهٗ ۖوَهُوَ فِى
الاٰخِرَةِ مِنَ الخٰسِرِينَ
“Pada hari ini dihalalkan bagimu yang baik-baik.
Makanan (sembelihan) orang-orang yang diberi al-Kitab itu halal bagimu, dan
makanan kamu halal (pula) bagi mereka. (dan dihalalkan mengawini) wanita yang
menjaga kehormatan di antara wanita-wanita yang beriman dan wanita-wanita yang
menjaga kehormatan di antara orang-orang yang diberi al-Kitab sebelum kamu, bila
kamu telah membayar maskawin mereka dengan maksud menikahinya, tidak dengan
maksud berzina dan tidak (pula) menjadikannya gundik-gundik. Barangsiapa yang
kafir sesudah beriman (tidak menerima hukum-hukum Islam), maka hapuslah
amalannya dan ia di hari kiamat termasuk orang-orang merugi.”.
Dalam hal ini, Wahbah az-Zuhaili menyebutkan bahwa
tidak halal bagi laki-laki muslim menikahi wanita Musyrikah atau Watsaniyyah
yaitu wanita yang menyekutukan Allah dengan yang lainnya. Ulama Hanafiyyah dan
Syafi’iyyah serta selain mereka menyamakan orang murtad dengan orang musyrik.
Kesimpulannya adalah telah terjadi kesepakatan tentang tidak halalnya menikahi
wanita yang tidak memiliki kitab seperti Watsaniyyah dan Majusiyyah.[10]
Ibnu Rusyd menyatakan bahwa para Ulama sepakat bahwa
laki-laki muslim tidak boleh menikahi wanita Watsaniyyah.[11] Sejalan dengan Ibnu Rusyd, Hasbi
Ash-Shiddieqy menyebutkan bahwa hukum tentang tidak bolehnya menikahi wanita
Watsaniyyah telah disepakati oleh Imam Mazhab.[12]
Begitu pula Quraish Shihab mengharamkan pernikahan
antara laki-laki Muslim dengan wanita Musyrik, di sini beliau mengacu pada
surat al-Mumtahanah ayat 10 yang melarang untuk menikahi wanita Kafir, yang
berbunyi:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا
جَاءَكُمُ الْمُؤْمِنَاتُ مُهَاجِرَاتٍ فَامْتَحِنُوهُنَّ ۖ اللَّـهُ أَعْلَمُ
بِإِيمَانِهِنَّ ۖ فَإِنْ عَلِمْتُمُوهُنَّ مُؤْمِنَاتٍ فَلَا تَرْجِعُوهُنَّ
إِلَى الْكُفَّارِ ۖ لَا هُنَّ حِلٌّ لَّهُمْ وَلَا هُمْ يَحِلُّونَ لَهُنَّ ۖ
وَآتُوهُم مَّا أَنفَقُوا ۚ وَلَا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ أَن تَنكِحُوهُنَّ إِذَا
آتَيْتُمُوهُنَّ أُجُورَهُنَّ ۚ وَلَا تُمْسِكُوا بِعِصَمِ الْكَوَافِرِ
وَاسْأَلُوا مَا أَنفَقْتُمْ وَلْيَسْأَلُوا مَا أَنفَقُوا ۚ ذَٰلِكُمْ حُكْمُ
اللَّـهِ ۖ يَحْكُمُ بَيْنَكُمْ ۚ وَاللَّـهُ عَلِيمٌ حَكِيمٌ
“Hai orang-orang yang beriman, apabila datang
berhijrah kepadamu perempuan-perempuan yang beriman, maka hendaklah kamu uji
(keimanan) mereka. Allah lebih mengetahui tentang keimanan mereka; maka jika
kamu telah mengetahui bahwa mereka (benar-benar) beriman maka janganlah kamu
kembalikan mereka kepada (suami-suami mereka) orang-orang kafir. Mereka tiada
halal bagi orang-orang kafir itu dan orang-orang kafir itu tiada halal pula
bagi mereka. Dan berikanlah kepada (suami-suami) mereka mahar yang telah mereka
bayar. Dan tiada dosa atasmu mengawini mereka apabila kamu bayar kepada mereka
maharnya. Dan janganlah kamu tetap berpegang pada tali (perkawinan) dengan
perempuan-perempuan kafir; dan hendaklah kamu minta mahar yang telah kamu
bayar; dan hendaklah mereka meminta mahar yang telah mereka bayar. Demikianlah
hukum Allah yang ditetapkan-Nya di antara kamu. Dan Allah Maha Mengetahui lagi
Maha Bijaksana.”.
Bahwa konteks surat al-Mumtahanah secara holistik
menurut Quraish Shihab, ayat tersebut berbicara tentang wanita Kafir Musyrik
dan tidak berbicara dengan wanita Kafir dari golongan Ahl al-Kitab. Atau dengan
penjelasan lain, kata “kafir” pada ayat tersebut adalah menunjukkan kepada
al-Musyrikat.[13]
- Hukum Nikah Laki-laki Muslim dengan Wanita
Ahli Kitab
Sebagian Ulama membolehkan dan sebagian lagi
mengharamkannya. Ulama yang membolehkan berdasarkan firman Allah :
اليَومَ اُحِلَّ لَكُمُ الطّيِّبٰتُ ۖ
وَطَعَامُ الَّذِينَ اُوتُوا الكِتَٰبَ حِلٌّ لَكُمۖ وَطَعَا مُكُم حِلٌّ لَّهُمۖ
وَالمُحصَنٰتُ مِنَ الَّذِينَ اُوتُوا الكِتٰبَ مِن قَبلِكُم اِذَا
اٰتَيتُمُوهُنَّ اُجُورَهُنَّ مُحصِنِينَ غَيرَ مُسَافِحِينَ وَلاَ مُتَّخِذِي
اَخدَانٍۗ وَمَن يَّكفُر بِالاِيمَان فَقَد حَبِطَ عَمَلُهٗ ۖوَهُوَ فِى
الاٰخِرَةِ مِنَ الخٰسِرِينَ
“Pada hari ini dihalalkan bagimu yang baik-baik.
Makanan (sembelihan) orang-orang yang diberi al-Kitab itu halal bagimu, dan
makanan kamu halal (pula) bagi mereka. (dan dihalalkan mengawini) wanita yang
menjaga kehormatan di antara wanita-wanita yang beriman dan wanita-wanita yang
menjaga kehormatan di antara orang-orang yang diberi al-Kitab sebelum kamu,
bila kamu telah membayar maskawin mereka dengan maksud menikahinya, tidak
dengan maksud berzina dan tidak (pula) menjadikannya gundik-gundik. Barangsiapa
yang kafir sesudah beriman (tidak menerima hukum-hukum Islam), maka hapuslah
amalannya dan ia di hari kiamat termasuk orang-orang merugi.”.[14]
Dari teks zahir ayat ini dapat dipahami bahwa Allah
membolehkan pernikahan laki-laki Muslim dengan wanita Ahl al-Kitab yang muhsanat
artinya wanita-wanita yang menjaga kehormatannya dari perbuatan zina. Selain
arti itu, ada juga yang memahami kata muhsanat ketika
dirangkaikan dengan utu al-kitab dari ayat di atas dengan
arti wanita-wanita merdeka atau wanita-wanita yang sudah menikah.[15]
Sedangkan yang mengharamkannya juga merujuk pada
firman Allah pada surat al-Baqarah ayat 221 yang
menyatakan:
وَلَا تَنكِحُوا المُشرِكٰتِ حَتّٰى
يُؤمِنَّ ۚ وَلَأَمَةٌ مُّؤمِنَةٌ خَيرٌ مِّن مُّشرِكَةٍ وَلَو اَعجَبَتكُم
ۗ وَلاَ تُنكِحُوا المُشرِكِينَ حَتَّى يُؤمِنُوا
ۚ وَلَعَبدٌ مُّؤمِنٌ خَيرٌ مِّن مُشرِكٍ وَلَو اَعجَبَكُم
ۚ اُولَئِكَ يَدعُونَ اِلَىالنَّار
ۖ وَاللّهُ يَدعُوا اِلَى الجَنَّةِ
وَالمَغفِرَةِ بِاِذنِهِ ۖ وَيُبَيِّنُ ءَايَتِهِ لِلنَّاسِ لَعَلَّهُم
يَتَذَكَّرُونَ
“Dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik
(dengan wanita-wanita mukmin) sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak yang
mukmin lebih baik dari orang musyrik, walaupun dia menarik hatimu; mereka
mengajak ke neraka, sedang Allah mengajak ke surga dan ampunan dengan izin-Nya.
Dan Allah menerangkan ayat-ayat-Nya (perintah-perintah-Nya) kepada manusia
supaya mereka mengambil pelajaran”.[16]
Dari ayat ini dapat dipahami bahwa Allah mengharamkan
pernikahan antara laki-laki Muslim dengan wanita Musyrik, begitu juga
sebaliknya, wanita muslim pun dilarang menikahi laki-laki Musyrik.[17]
Kelompok yang mengharamkan, mengatakan bahwa Q.S.
al-Ma'idah ayat 5 di atas telah dinasakh oleh Q.S. al-Baqarah ayat 221. Di
antara yang berpendapat demikian adalah Syi'ah Imamiyyah dan Syi'ah Zaidiyyah.
Seorang sahabat nabi, Ibnu 'Umar r.a, ketika ditanya tentang
pernikahan antara laki-laki Muslim dengan wanita Ahl al-Kitab
menjawab: Allah mengharamkan wanita-wanita Musyrik dinikahi orang-orang Islam
dan aku tidak melihat kesyirikan yang lebih besar dari seorang wanita yang
berkata: 'Isa adalah Tuhan, atau Tuhannya adalah seorang manusia hamba Allah.
Dapat disimpulkan bahwa Ibnu 'Umar tidak membedakan antara Ahl al-Kitab
dan musyrik, yakni karena Ahl al-Kitab berbuat syirik, ia juga masuk dalam
kategori musyrik.[18]
Adapun golongan yang membolehkan juga menguatkan
pendapat mereka dengan menyebutkan terdapat beberapa sahabat dan tabi'in yang
pernah menikah dengan wanita Ahl al-Kitab. Dari kalangan sahabat antara lain
ialah 'Usman, Talhah, Ibnu 'Abbas, Jabir bin Huzaifah. Sedangkan dari kalangan
tabi'in semisal Sa'id ibn Musayyab, Sa'id ibn Zubair, al-Hasan, Mujahid, Tawus,
Ikrimah, asy-Sya'abiy dan ad-Dahhak.[19]
Dalam pandangan muslim modernis, mengenai pernikahan
laki-laki muslim dengan wanita musyrikah menurut Muhammad Abduh sebagaimana
dinukilkan oleh Rasyid Ridha adalah diperbolehkan selain wanita musyrikah Arab,
hal ini dilatarbelakangi oleh penafsirannya terhadap kata musyrikah dalam surat
Al-Baqarah ayat 221, ia secara tegas menyatakan bahwa perempuan yang haram
dinikahi oleh laki-laki muslim ialah perempuan-perempuan musyrikah Arab.[20] Jadi menurut pendapat ini, seorang
Muslim boleh menikahi wanita musyrikah dari bangsa non-Arab seperti Cina,
Jepang dan India (sebab masuk dalam kategori ahli kitab).[21]
Sedangkan pernikahan laki-laki muslim dengan wanita
kitabiyyah adalah diperbolehkan, hal ini didasarkan pada surat al-Maidah ayat
5:[22]
اليَومَ اُحِلَّ لَكُمُ الطّيِّبٰتُ ۖ
وَطَعَامُ الَّذِينَ اُوتُوا الكِتَٰبَ حِلٌّ لَكُمۖ وَطَعَا مُكُم حِلٌّ لَّهُمۖ
وَالمُحصَنٰتُ مِنَ الَّذِينَ اُوتُوا الكِتٰبَ مِن قَبلِكُم
“Pada hari ini dihalalkan bagimu yang baik-baik.
Makanan (sembelihan) orang-orang yang diberi al-Kitab itu halal bagimu, dan
makanan kamu halal (pula) bagi mereka. (dan dihalalkan mengawini) wanita yang
menjaga kehormatan di antara wanita-wanita yang beriman dan wanita-wanita yang
menjaga kehormatan di antara orang-orang yang diberi al-Kitab sebelum kamu.”.
Dinyatakan bahwa halalnya bagi laki-laki muslim
menikahi wanita-wanita yang beriman dan juga wanita-wanita yang menjaga
kehormatan mereka dari perbuatan zina (muhsanat) dari penganut agama
Yahudi dan Nasrani. Itu semua dengan syarat membayar maskawin mereka.[23] Selain arti itu, ada juga yang memahami
kata muhsanat ketika dirangkaikan dengan utu al-kitab dari
ayat di atas dengan arti wanita-wanita merdeka atau wanita-wanita yang sudah
kawin.[24]
Menurut Abduh,[25] ahl al-Kitab mencakup penganut agama
Yahudi, Nasrani, dan Shabi’un. Muhammad Rasyid Ridha berpendapat bahwa ahl
al-Kitab mencakup Yahudi, Nasrani, Majusi, Shabi’un, Hindu, Budha, Kong Fu Tse
(Konghucu) dan Shinto. Dalam menetapkan keahlikitaban satu ummat, Ridha
menggunakan kriteria memiliki kitab suci dan atau mengikuti nabi yang dikenal,
baik dalam tradisi agama Ibrahim maupun bukan.[26]
Muslim modernis memandang bahwa diperbolehkan
terjadinya pernikahan antara laki-laki muslim dengan wanita non muslimah yang
masuk dalam cakupan makna ahl al-Kitab dan bukan termasuk musyrikah Arab, yakni
yang beragama Yahudi, Nasrani, Majusi, Kong Hucu, Shinto, Kristen, Hindu, Budha
dan Shabi’un.
Wahbah az-Zuhali menyebutkan bahwa Ulama telah sepakat
terhadap bolehnya menikahi wanita wanita kitabiyyah yaitu wanita yang meyakini
agama samawi seperti Yahudi dan Nasrani. Sedangkan yang dimaksud dengan ahli
kitab adalah ahlu at-Taurah dan Injil.
Relevansi pemikiran Wahbah az-Zuḥailī dengan kondisi
sekarang ini adalah ada legitimasi hukum positif untuk mengatur sebuah hukum
keluarga khususnya dalam hal pernikahan dari masing-masing agama. Islam
mempunyai peraturan perundang-undangan tentang pernikahan dan ada peluang untuk
memasukkan sebuah pemikiran dari para ulama. Konteks Indonesia sangat
menentukan KHI untuk dibuat sedemikian rupa sehingga wanita Non
Islam di Indonesia mutlak diharamkan untuk dinikahi. MUI yang bersifat dinamis,
tidak mengikat, walaupun mengeluarkan fatwanya tentang haram menikahi wanita
Ahl al-Kitāb, tidak bisa melarang terhadap pendapat Wahbah az-Zuḥailī. Konteks
wanita Yahudi dan Nasrani di Indonesia, sesuai dengan batasan-batasan menurut
Wahbah az-Zuḥailī, bukanlah Ahl al-Kitāb, dengan pertimbangan: fakta sejarah
membuktikan bahwa ajaran Trinitas Kristen dipengaruhi oleh ajaran agama lain
sebelum agama Kristen ada. Proses penulisan Kitab
Taurat merupakan bagian dari Perjanjian Lama dan Empat
Injil (Matius, Markus, Lukas, dan Yohanes Yahya) merupakan bagian
dari Perjanjian Baru, Taurat tidak ditulis dari satu sumber saja tetapi dari
empat sumber (Yahwist, Elohist, Deuteronomis, dan Priester).
Sementara menurut Muhammad Quraish Shihab, bahwa
apabila laki-laki Muslim menikah dengan wanita Ahli Kitab masih diperbolehkan.
Dalam hal ini Quraish Shihab mengacu pada QS. Al-maidah ayat 5. Memang pada
Al-maidah ayat 5 membolehkan pernikahan antara laki-laki Muslim dengan wanita
Ahl al-Khitab, tetapi izin ini adalah sebagai jalan keluar kebutuhan mendesak
ketika itu, di mana kaum Muslim sering berpergian jauh melaksanakan jihad tanpa
mampu kembali ke keluarga mereka dan sekalipun juga untuk tujuan dakwah. Namun
hal ini tidak berlaku untuk sebaliknya, yaitu Pernikahan antara laki-laki Ahl
Kitab tetap diharamkan menikah dengan wanita Muslimah.
Dalam konteks lain Quraish Shihab juga menyebutkan
bahwa al-Qur’an telah membedakan antara Ahl Kitab dengan Musyrik sebagaimana
firman Allah pada QS. Al-Bayyinah ayat 1:
لَم يَكُنِ الَّذِينَ كَفَرُوا مِن اَهلِ
الكِتٰبِ وَالمُشرِكِينَ مُنفَكِّينَ حَتّٰى تَأتِيَهُمُ البَيِّنَةُ
“Orang-orang kafir Yakni ahli kitab dan orang-orang
musyrik (mengatakan bahwa mereka) tidak akan meninggalkan (agamanya) sebelum
datang kepada mereka bukti yang nyata.”.
Ayat di atas membedakan orang-orang Kafir menjadi dua
yaitu Ahl-Kitab dan orang Musyrik, perbedaan ini dipahami dari
huruf وpada ayat di atas kemudian
pada ayat itu diterjemahkan (dan).[27] Istilah Syirik adalah mempersekutukan sesuatu dengan
sesuatu. Dalam pandangan agama seorang Musyrik adalah siapa yang percaya ada
Tuhan bersama Allah atau siapa yang beraktivitas dengan tujuan ganda, yang
pertama untuk Allah yang kedua untuk yang lain-Nya. [28] Sedangkan yang dimaksud dengan Ahl Kitab menurut
Quraish, itu mencakup dua golongan saja, yaitu Yahudi dan Nasrani. Pada QS.
Al-maidah ayat 5 yang dimaksud wanita-wanita yang menjaga kehormatannya
merupakan isyarat bahwa yang seharusnya dikawini adalah wanita-wanita yang
menjaga kehormatannya, baik wanita mukminah maupun Ahl al-kitab. Ada juga yang
memahami kata tersebut ketika dirangkaikan dengan utu al-kitab,
dalam arti wanita-wanita merdeka. Memang kata itu dapat berarti merdeka atau
yang terpelihara kehormatannya, atau yang sudah kawin. Selanjutnya,
didahulukannya penyebutan wanita-wanita mukminah memberi isyarat bahwa mereka
yang harus didahulukan, karena betapa pun juga, persamaan agama dan pandangan
hidup sangat membantu melahirkan ketenangan bahkan sangat menentukan
kelanggengan rumah tangga.
Di sini artinya beliau tidak serta merta menafsirkan
untuk memperbolehkan perkawinan Muslim dengan wanita Ahl Kitab kecuali dengan
kriteria sebagai berikut: pertama, Ahl Kitab itu harus benar-benar berpegang
pada agama samawi. Kedua, wanita Ahl Kitab tersebut adalah wanita Muhshonaat,
yaitu orang yang menjaga kehormatan dirinya dari perbuatan zina dan perbuatan
keji lainnya.[29]
-
Hukum Nikah
Wanita Muslimah dengan Laki-laki Non-Muslim
Para Ulama telah sepakat bahwa Islam melarang keras
pernikahan antara seorang wanita muslimah dengan laki-laki non-muslim, baik
pemeluk agama yang memiliki kitab suci (seperti Kristen dan Yahudi), pemeluk
agama yang memiliki kitab serupa kitab suci (seperti Budhisme, Hinduisme)
maupun pemeluk agama yang tidak memiliki kitab suci dan juga kitab yang serupa
kitab suci. Demikian juga penganut kepercayaan lainnya, seperti penganut
Animisme, Atheisme, Politheisme, dan sebagainya.[30] Beberapa landasan yang digunakan oleh para
ulama atas pernikahan ini, antara lain:
وَلَا تَنكِحُوا المُشرِكٰتِ حَتّٰى
يُؤمِنَّ ۚ وَلَأَمَةٌ مُّؤمِنَةٌ خَيرٌ مِّن مُّشرِكَةٍ وَلَو اَعجَبَتكُم
ۗ وَلاَ تُنكِحُوا المُشرِكِينَ حَتَّى
يُؤمِنُوا ۚ وَلَعَبدٌ مُّؤمِنٌ خَيرٌ مِّن مُشرِكٍ وَلَو اَعجَبَكُم
ۚ اُولَئِكَ يَدعُونَ اِلَىالنَّار
ۖ وَاللّهُ يَدعُوا اِلَى الجَنَّةِ
وَالمَغفِرَةِ بِاِذنِهِ ۖ وَيُبَيِّنُ ءَايَتِهِ لِلنَّاسِ لَعَلَّهُم
يَتَذَكَّرُونَ
“Dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik
(dengan wanita-wanita mukmin) sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak yang
mukmin lebih baik dari orang musyrik, walaupun dia menarik hatimu; mereka
mengajak ke neraka, sedang Allah mengajak ke surga dan ampunan dengan izin-Nya.
Dan Allah menerangkan ayat-ayat-Nya (perintah-perintah-Nya) kepada manusia
supaya mereka mengambil pelajaran.” (QS. al-Baqarah:221)
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا
جَاءَكُمُ الْمُؤْمِنَاتُ مُهَاجِرَاتٍ فَامْتَحِنُوهُنَّ ۖ اللَّـهُ أَعْلَمُ
بِإِيمَانِهِنَّ ۖ فَإِنْ عَلِمْتُمُوهُنَّ مُؤْمِنَاتٍ فَلَا تَرْجِعُوهُنَّ
إِلَى الْكُفَّارِ ۖ لَا هُنَّ حِلٌّ لَّهُمْ وَلَا هُمْ يَحِلُّونَ لَهُنَّ ۖ
وَآتُوهُم مَّا أَنفَقُوا ۚ وَلَا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ أَن تَنكِحُوهُنَّ إِذَا
آتَيْتُمُوهُنَّ أُجُورَهُنَّ ۚ وَلَا تُمْسِكُوا بِعِصَمِ الْكَوَافِرِ
وَاسْأَلُوا مَا أَنفَقْتُمْ وَلْيَسْأَلُوا مَا أَنفَقُوا ۚ ذَٰلِكُمْ حُكْمُ
اللَّـهِ ۖ يَحْكُمُ بَيْنَكُمْ ۚ وَاللَّـهُ عَلِيمٌ حَكِيمٌ
“Hai orang-orang yang beriman, apabila datang
berhijrah kepadamu perempuan-perempuan yang beriman, maka hendaklah kamu uji
(keimanan) mereka. Allah lebih mengetahui tentang keimanan mereka; maka jika
kamu telah mengetahui bahwa mereka (benar-benar) beriman maka janganlah kamu
kembalikan mereka kepada (suami-suami mereka) orang-orang kafir. Mereka tiada
halal bagi orang-orang kafir itu dan orang-orang kafir itu tiada halal pula
bagi mereka. Dan berikanlah kepada (suami-suami) mereka mahar yang telah mereka
bayar. Dan tiada dosa atasmu mengawini mereka apabila kamu bayar kepada mereka
maharnya. Dan janganlah kamu tetap berpegang pada tali (perkawinan) dengan
perempuan-perempuan kafir; dan hendaklah kamu minta mahar yang telah kamu
bayar; dan hendaklah mereka meminta mahar yang telah mereka bayar. Demikianlah
hukum Allah yang ditetapkan-Nya di antara kamu. Dan Allah Maha Mengetahui lagi
Maha Bijaksana.”. (QS. al-Mumtahanah:110)
Larangan pernikahan yang dinyatakan dalam Kompilasi
Hukum Islam baik pada pasal 40 C maupun pasal 44 (wanita muslim dengan
laki-laki non-muslim) memiliki alasan yang kuat.
1) Dari segi hukum positif bisa dikemukakan dasar
hukumnya antara lain pasal 2 ayat (1) UU. No. 1 Tahun 1974.
2) Dari segi hukum Islam dapat disebutkan beberapa dalil
sebagai berikut:
·
Sadd
adz-dzari’ah, artinya sebagai tindakan preventif untuk mencegah terjadinya
kemurtadan dan kehancuran rumah tangga.
·
Kaidah
fiqh “dar’u al-mafasid muqaddam ‘ala jalb al-mashalih”, artinya
mencegah atau menghindari mafsadah atau resiko yang berupa kemurtadan dan broken
home itu harus diutamakan daripada upaya menariknya ke dalam Islam
(suami, anak, dan keluarga besar). Pada prinsipnya agama Islam melarang
pernikahan ini karena mengandung resiko yang tinggi.[31]
Pernikahan Antara Muslim dengan Non Muslim dalam Perspektif Perundang-undangan Perkawinan di Indonesia
Dalam peraturan Perkawinan Campuran/Regeling
op de Gemengde Huwelijken, Staatsblad 1898 Nomor 158 (GHR),[32] beberapa ketentuan tentang pernikahan beda
agama adalah sebagai berikut:
Pasal 1: “Perlangsungan perkawinan
antara orang-orang yang di Hindia Belanda tunduk pada hukum yang berbeda,
disebut perkawinan campuran.”.
Pasal 6 ayat (1): “Perkawinan
campuran dilangsungkan menurut hukum yang berlaku atas suaminya, kecuali izin
para calon mitra kawin yang selalu disyaratkan.”.
Pasal 7 ayat (2): “Perbedaan
agama, golongan penduduk atau asal-usul tidak dapat merupakan halangan
pelangsungan perkawinan.”.
Beberapa pasal di atas secara tegas
mengatur tentang pernikahan beda agama. Bahkan disebutkan bahwa perbedaan agama
tidak dapat dijadikan alasan untuk mencegah terjadinya perkawinan.
Dalam Undang-undang No. 1 Tahun 1974 pasal
yang dijadikan sebagai landasan pernikahan beda agama adalah:
Pasal 2 ayat (1):”Perkawinan adalah sah, apabila
dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu.”
Pasal 8F: “Perkawinan dilarang antara dua
orang yang mempunyai hubungan yang oleh agamanya atau peraturan lain yang
berlaku, dilarang kawin.”.
Pasal 57: “Yang dimaksud dengan perkawinan campuran
dalam undang-undang ini ialah perkawinan antara dua orang yang di Indonesia
tunduk pada hukum yang berlainan, karena perbedaan kewarganegaraan dan salah
satu pihak berkewarganegaraan Indonesia.”.
Terhadap ketiga pasal di atas muncul
beberapa penafsiran yang berbeda yang mengakibatkan terjadinya perbedaan
pemahaman tentang pernikahan beda agama di Indonesia, sebagaimana berikut:
Kompilasi Hukum Islam pasal 40C dan pasal 44 secara
eksplisit mengatur tentang larangan pernikahan antara laki-laki muslim dengan
wanita non-muslim. Pasal 40C Kompilasi Hukum Islam menyatakan sebagai berikut:
,“Dilarang melangsungkan perkawinan antara seorang pria dengan seorang
wanita karena keadaan tertentu: (a) karena wanita yang bersangkutan masih
terikat satu perkawinan dengan pria lain;(b) seorang wanita yang masih berada
dalam masa iddah dengan pria lain;(c) seorang wanita yang tidak beragama
Islam.”.
Pasal 40C di atas secara eksplisit melarang terjadinya
pernikahan antara laki-laki muslim dengan wanita non-muslim (baik ahli kitab
maupun non ahli kitab). Jadi, pasal ini memberikan penjelasan bahwa wanita
non-muslim apapun agama yang dianutnya tidak boleh dinikahi oleh laki-laki yang
beragama Islam. Sedangkan pasal 44 menyatakan bahwa, “Seorang wanita Islam dilarang melangsungkan perkawinan dengan seorang pria yang tidak beragama
Islam.”.
Pasal ini secara tegas melarang terjadinya pernikahan
antara wanita muslim dengan laki-laki non-muslim (baik ahli kitab maupun non
ahli kitab).
Terakhir, pasal 60 Kompilasi Hukum Islam, yang
menyatakan bahwa:
a) Pencegahan perkawinan bertujuan untuk
menghindari suatu perkawinan yang dilarang hukum Islam dan Peraturan
Perundang-undangan.
b) Pencegahan perkawinan dapat dilakukan bila
calon suami atau calon isteri yang akan melangsungkan perkawinan tidak memenuhi
syarat-syarat untuk melangsungkan perkawinan menurut hukum Islam dan Peraturan
Perundang-undangan.
Pasal ini secara tegas memberikan
penjelasan tentang pencegahan pernikahan terhadap calon mempelai yang tidak
memenuhi syarat yang ditetapkan oleh hukum Islam maupun peraturan
perundang-undangan. Pasal ini menguatkan pelarangan pernikahan beda agama.
Beberapa pandangan terkait dengan peraturan pernikahan
beda agama menurut peraturan pernikahan campuran, staatsblad 1898 nomor 158
(ghr), undang-undang perkawinan no. 1 tahun 1974, dan kompilasi hukum Islam di Indonesia
Para pakar hukum berbeda pendapat mengenai
pernikahan beda agama dalam undang-undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974. Hal ini
disebabkan karena undang-undang tersebut tidak menyebut secara tertulis
mengenai pernikahan beda agama. Pada garis besarnya ada tiga pandangan tentang
pernikahan beda agama di Indonesia terkait dengan undang-undang tersebut,
yakni:
§ Pernikahan beda agama tidak dibenarkan dan merupakan
pelanggaran terhadap undang-undang pernikahan berdasarkan pasal 2 ayat (1) dan
pasal 8F yang dengan tegas menyebutkan hal itu. Oleh karena itu, pernikahan
beda agama adalah tidak sah dan batal demi hukum.
§ Pernikahan beda agana adalah diperbolehkan dan sah,
oleh sebab itu dapat dilangsungkan. Karena, pernikahan tersebut termasuk dalam
pernikahan campuran. Pendapat ini berpegang pada pasal 57, yang bertumpu pada
kalimat “perkawinan antara dua orang yang di Indonesia tunduk pada
hukum yang berlainan”. Oleh karena itu, pasal tersebut tidak hanya mengatur
pernikahan beda kewarganegaraan saja, tetapi juga mengatur tentang pernikahan
beda agama. Menurut pendapat ini, pelaksanaan pernikahan beda agama dilakukan
menurut tata cara yang diatur oleh pasal 6 Peraturan Perkawinan Campuran.
§ Undang-undang pernikahan tidak mengatur tentang
pernikahan beda agama. Oleh karena itu, dengan merujuk pasal 66 undang-undang Perkawinan,
maka peraturan-peraturan lama selama selama undang-undang Perkawinan belum
mengaturnya dapat diberlakukan. Dengan demikian maka masalah pernikahan beda
agama harus berpedoman kepada Peraturan Perkawinan Campuran.[33]
Sehubungan dengan pandangan kelompok
ketiga ini, menarik untuk dicatat bahwa Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia
dalam suratnya No. KMA/72/IV/1981 tanggal 20 April 1981 yang ditujukan kepada
Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri secara tegas menyatakan:
1) Merupakan suatu kenyataan yang hidup di
dalam masyarakat Indonesia yang serba majemuk ini yang terdiri dari berbagai
macam golongan suku, adalah pemeluk agama dan penganut kepercayaan terhadap
Tuhan Yang Maha Esa yang berbeda satu dengan lainnya.
2) Adalah suatu kenyataan pula bahwa antar
mereka itu, ada yang menjalin suatu hubungan dalam membentuk suatu keluarga
yang bahagia dan kekal melalui proses perkawinan, di mana undang-undang Perkawinan
No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan belum mengatur perihal perkawinan campuran.
3) Meskipun demikian dapat dicatat bahwa
pasal 66 undang-undang Perkawinan memungkinkan S. 1898 No. 158 diberlakukan
untuk mereka sepanjang undang-undang
Perkawinan belum mengatur hal-hal yang berhubungan dengan
perkawinan campuran dimaksud.[34]
Di samping ketiga pendapat di atas, ada
pula yang berpandangan bahwa undang-undang Perkawinan perlu disempurnakan sebab
ada kekosongan hukum tentang pernikahan beda agama. Pentingnya penyempurnaan
undang-undang tersebut disebabkan karena beberapa hal[35] yaitu:
-
Undang-undang
Perkawinan No. 1 Tahun 1974 tidak mengatur pernikahan beda agama.
-
Masyarakat
Indonesia adalah masyarakat plural yang menyebabkan pernikahan beda agama tidak
dapat dihindarkan.
-
Persoalan
agama adalah menyangkut hak asasi seseorang
-
Kekosongan
hukum dalam bidang pernikahan tidak dapat dibiarkan begitu saja sebab akan
dapat mendorong terjadinya perzinaan terselubung melalui pintu kumpul
kebo/samen leven.
Masyarakat kelompok muslim di Indonesia
berpandangan bahwa undang-undang perkawinan tidak perlu disempurnakan dengan
mencantumkan hukum pernikahan beda agama, sebab mereka berpendapat undang-undang
Perkawinan No. 1 Tahun 1974 telah mengatur hukum pernikahan beda agama dengan
tegas dan jelas.[36]
Berdasarkan pasal-pasal di atas dapat
dinyatakan bahwa mengenai sah atau tidaknya sebuah pernikahan, diserahkan
kepada aturan yang terdapat dalam agama atau kepercayaan yang dianut oleh para
pihak yang akan melangsungkan pernikahan. Dengan demikian, maka undang-undang
ini tidak mengatur tentang pernikahan antara laki-laki muslim dengan
wanita non-muslim dan secara tegas menyerahkan sah atau tidaknya pernikahan
tersebut kepada aturan yang terdapat dalam kepercayaan yang dianut.
Pengesahan Kompilasi Hukum Islam dengan
menggunakan Instruksi Presiden Instruksi No. 1 Tahun 1991 dan tidak menggunakan
undang-undang memunculkan dua pandangan yang berbeda mengenai kekuatan hukum
Kompilasi Hukum Islam, di kalangan Ahli Hukum ada dua, yakni:[37]
1) Imperatif (Mengikat)
Kelompok ini menyatakan bahwa, meskipun Inpres tidak
termasuk dalam tata urutan peraturan perundang-undangan yang ditetapkan dalam
TAP MPRS No. XX/MPRS/1966 juncto TAP MPR No. V/MPR/1973 namun
Inpres memiliki kedudukan yang sama dengan Kepres, dan keduanya memiliki posisi
yang sama dengan Undang-Undang. Oleh karena itu, Kompilasi Hukum Islam memiliki
kekuatan mengikat secara Imperatif.[38]
Argumen lain yang diajukan adalah bahwa dalam
konsideran Instruksi Presiden No. 1 Tahun 1991 dinyatakan sebagai berikut:
-
Bahwa Alim
Ulama Indonesia dalam lokakarya yang diadakan di Jakarta pada tanggal 2-5
Februari 1988 telah menerima baik tiga rancangan buku Kompilasi Hukum Islam,
yaitu Buku I tentang Hukum Perkawinan, Buku II tentang Hukum Kewarisan, Buku
III tentang Hukum Perwakafan.
-
Bahwa
Kompilasi Hukum Islam tersebut dalam huruf a oleh Instansi Pemerintah dan oleh
masyarakat yang memerlukannya dapat dipergunakan sebagai pedoman dalam
menyelesaikan masalah-masalah di bidang tersebut.
-
Bahwa oleh
karena itu Kompilasi Hukum Islam tersebut dalam huruf a perlu disebarluaskan.[39]
2) Fakultatif (Tidak Mengikat)
Kelompok ini menyatakan bahwa, Inpres tidak termasuk
dalam tata urutan peraturan perundang-undangan yang ditetapkan dalam TAP MPRS
No. XX/MPRS/1966 juncto TAP MPR No. V/MPR/1973[40] dengan demikian, maka Kompilasi Hukum
Islam tergolong Hukum yang tidak tertulis sebab Inpres tidak termasuk dalam
tata urutan peraturan perundang-undangan yang berlaku positif di Indonesia.[41]
Argumen lain yang diajukan adalah bahwa dalam
konsideran point b Instruksi Presiden No. 1 Tahun 1971 dinyatakan bahwa
Kompilasi Hukum Islam tersebut dalam huruf a oleh Instansi Pemerintah dan
oleh masyarakat yang memerlukannya dapat dipergunakan sebagai
pedoman dalam menyelesaikan masalah-masalah di bidang tersebut.
Kalimat “dapat dipergunakan sebagai
pedoman” menunjukkan bahwa Kompilasi Hukum Islam tidak mengikat
secara Imperatif . oleh karena itu, para pihak dapat
menjalankannya dan dapat pula meninggalkannya, sesuai dengan kebutuhan dan
keperluannya. Dengan demikian maka pedoman disini memiliki pengertian
bersifat Fakultatif. [42] Oleh karenanya dalam praktek,
orang yang menyampingkan hukum Kompilasi Hukum Islam tidak dapat dipersalahkan
telah melanggar hukum.
PENUTUP
Sebagaimana telah diuraikan di atas, maka
dapat disimpulkan bahwa hukum pernikahan antara muslim dan non-muslim adalah
sebagai berikut:
1) Pernikahan laki-laki muslim dengan wanita bukan ahli
kitab ialah haram atau dinyatakan tidak sah menurut perspektif agama.
Sedangkan, pernikahan antara laki-laki muslim dengan wanita ahli kitab ialah masih
diperbolehkan, apabila wanita Ahli Kitab tersebut benar-benar berpegang pada
agama samawi, dan wanita Ahli Kitab tersebut adalah wanita Muhshonaat, yakni
orang yang menjaga kehormatan dirinya dari perbuatan zina dan perbuatan keji
lainnya. Namun, karena pada masa sekarang keorisinilan kitab yang dimiliki oleh
agama selain agama Islam telah hilang keorisinilannya, maka pernikahan ini
tetap dinyatakan tidak sah menurut agama di masa sekarang. Sedangkan, dalam
perundang-undangan, pernikahan antara laki-laki muslim dengan wanita
non-muslim (baik ahli kitab maupun yang bukan ahli kitab) memiliki dua
perspektif, yakni: (a) bersifat imperatif (mengikat), maka
tidak sah dan batal menurut hukum. (b) bersifat fakultatif (tidak
mengikat), maka sah atau tidaknya diserahkan sepenuhnya pada peraturan yang ada
pada agama (Islam) tinggal apakah memakai pandangan muslim konvensional atau
pandangan muslim modernis.
2) Pernikahan antara wanita muslimah dengan laki-laki
non-muslim baik itu ahli kitab atau bukan, dihukumi mutlak keharamannya apabila
ditinjau dari perspektif agama maupun perundang-undangan
yang berlaku di Indonesia.
[1] Nur Djaman, Fiqh Munakahat, cet. 1
(Semarang: CV. Toha Putra, 1993), hlm. 5.
[3] Kutbuddin Aibak, Kajian Fiqh
Kontemporer,Yogyakarta, Penerbit TERAS, 2009, hlm. 39.
[4] M. Atho Mudzhar, Fatwa-Fatwa
Majelis Ulama Indonesia Sebuah Studi tentang Pemikiran Hukum Islam
di Indonesia 1957-1988, (Jakarta: INIS, 1993), hlm. 11.
[5] Kutbuddin Aibak, Kajian Fiqh
Kontemporer,Yogyakarta, Penerbit TERAS, 2009, hlm. 40.
[6] Wahbah az-Zuhaili, al-Fiqhu
al-Islami wa Adillatuh, IX, Beirut: Dar al-Fikr, 1997), hlm. 6613.
[7] Abu Ishaq Ibrahim Ibn ‘Ali ibn Yusuf
al-Fairuzabadi asy-Syirazi, Al-Muhazzab fi Fiqh Mazhab al-Imam
asy-Syafi’i, II, (Beirut: Dar al-Fikr, 1994), hlm. 6.
[8] Asy-Syaikh Zain ad-Din ‘Abd al-‘Aziz
al-Malibari, Fath al-Mu’in, (Semarang: Toha Putera, t.t.),
hlm. 101.
[9] ‘Abd ar-Rahman al-Jazairi, Kitab
al-Fiqh ‘ala al-Mazahib al-Arba’ah, IV, (Beirut: Dar al-Fikr, 2002), hlm.
61.
[10] Wahbah az-Zuhaili, al-Fiqhu al-Islami,
hlm. 6651-6652.
[11] Budi Handrianto, Perkawinan
Beda Agama dalam Syariat Islam, (Jakarta: Khairul Bayan, 2003), hlm. 43-44.
[12] M. Hasbi ash-Shiddieqy, Hukum-hukum
Fiqih Islam, (Jakarta: PT. Bulan Bintang, 1991), hlm. 167. Lihat juga hasil
Muktamar NU dalam Solusi Problematika Aktual Hukum Islam, Keputusan Muktamar,
Munas dan Konbes NU (1926-1999 M), (Surabaya: LTN NU Jawa Timur &
Diantama), hlm. 304.
[13] Quraish Shihab, Tafsir Al Misbah III,
hlm. 67.
[14] Kementrian Agama RI, al-Qur’an Tajwid
dan Terjemahannya, (Jakarta: PT. Sygma Examedia), hlm. 106.
[15] Munir Fuady, Sejarah Hukum, cet. 1,
(Bogor: Ghalia Indonesia, 2009), hlm. 57.
[16] Kementrian Agama RI, al-Qur’an Tajwid
dan Terjemahannya, (Jakarta: PT. Sygma Examedia), hlm. 303.
[17] Galib,”Ahl al-Kitab makna dan
cakupannya”, (Jakarta: Paramadina 1998), hlm. 20.
[18] Galib,”Ahl al-Kitab makna dan cakupannya”, (Jakarta: Paramadina 1998), hlm.
21.
[19] Galib,”Ahl al-Kitab makna dan cakupannya”, (Jakarta: Paramadina 1998), hlm. 22.
[20] Muhammad Abduh dan Muhammad Rasyid
Ridha, Tafsir al-Manar, II, IV, (Beirut: Dar al-Ma’rifah, t.t.),
hlm. 193; M. Quraish Shihab, Wawasan Al-Qur’an Tafsir Maudhu’i atas
Pelbagai Persoalan Umat, (Jakarta: Mizan, 1998, hlm. 367-368; Mun’im
A. Sirry (ed.), Fiqih Lintas Agama Membangun Masyarakat
Inklusif-Pluralis, (Jakarta: Paramadina, 2004), hlm. 160; M.M. Galib, Ahl
Al-Kitab Makna dan Cakupannya, (Jakarta: Paramadina, 1998), hlm. 33 &
35.
[21] Masjfuk Zuhdi, Masa’il
Fiqhiyah: Kapita Selekta Hukum Islam, (Jakarta: Haji Masagung, 1994),
hlm. 5.
[22] Muhammad Abduh dan Muhammad Rasyid
Ridha, Tafsir al-Manar, hlm. 351
[23] M. Quraish Shihab, Al-Lubab,
Tangerang, Lentera Hati, 2012, hlm. 252-253.
[24] Munir Fuady, Sejarah Hukum, cet. 1,
(Bogor: Ghalia Indonesia, 2009). Hal. 57
[25] Muhammad Abduh, Tafsir
Al-Qur’an al-Karim Juz ‘Amma, (Kairo, Dar wa Mathabi’ al-Sya’b, t.t.), hlm.
101
[26]Muhammad Abduh dan Muhammad Rasyid
Ridha, Tafsir al-Manar, hlm. 188-190; Hamim Ilyas, “Pandangan
Muslim...”, hlm. 142-143.
[27] Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah III,
(Jakarta: Lentera, 2003), hlm. 29.
[28] Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah III, (Jakarta: Lentera, 2003), hlm. 442.
[29] Quraish Shihab, Tafsir Al Misbah I,
(Jakarta: Lentera, 2003), hlm. 209.
[30] Kutbuddin Aibak, Kajian Fiqh
Kontemporer,Yogyakarta, Penerbit TERAS, 2009, hlm. 62.
[31] Masjfuk Zuhdi, Masail Fiqhiyah,
hlm. 10.
[32] Wila Chandrawila Supriadi, Hukum
Perkawinan Indonesia dan Belanda, (Bandung: Mandar Maju, 2002), hlm. 90-95.
[33] O.S. Eoh, Perkawinan Antar
Agama dalam Teori dan Praktek, (Jakarta: PT. Raja Gofindo Persada, 2001),
hlm. 92-93.
[34] Wila Chandrawila Supriadi, Hukum
Perkawinan, hlm. 14.
[35] Mazroatus Sa’adah, “Perkawinan
Antaragama dalam Peraturan Perundang-undangan Perkawinan di Indonesia”, Tesis Pascasarjana
IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2003, hlm. 94-95.
[36] FXS. Pr. Purwaharsanto, Perkawinan
Campur Antar Agama Menurut UU RI No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan: Sebuah
Telaah Kritis Aktualita Media Cetak, (Yogyakarta: t.p., 1992), hlm. 23.
[37] Ahmad Rafiq, Hukum Islam,
hlm. 14-32; M. Yahya Harahap, Kedudukan Kewenangan dan Acara Peradilan
Agama (UU No. 7 Thaun 1989), (Jakarta: Sinar Grafika, 2001), hlm. 29-30.
[38] Marzuki Wahid dan Rumadi, Fiqh
madzhab Negara Kritik Atas Politik Hukum Islam di Indonesia,
(Yogyakarta: LKiS, 2001), hlm. 166-167.
[39] Depag RI., Kompilasi, hlm.
1.
[40] Hartono Hadisoeprapto, Pengantar
Tata Hukum Indonesia, (Yogyakarta: Liberty, 2000), hlm. 20-21; Sudikno
Mertokusumo, Mengenal Hukum, (Yogyakarta: Liberty, 1999), hlm. 86;
C.S.T. Kansil, Pengantar Ilmu Hukum, jilid I, Jakarta: Balai
Pustaka, 1992), hlm. 151. Lihat Redaksi Sinar Grafika, Ketetapan-Ketetapan MPR
pada Sidang Tahunan MPR 2000, (Jakarta: Sinar Grafika, 2000), hlm. 36.
[41] Marzuki Wahid dan Rumadi, Fiqh
Madzhab Negara, hlm. 166.
[42] Marzuki Wahid dan Rumadi, Fiqh Madzhab Negara, hlm. 169.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar