Tampilkan postingan dengan label Sejarah. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Sejarah. Tampilkan semua postingan

Rabu, 27 Maret 2019


 STRUKTUR DAN SISTEM SOSIAL MASYARAKAT MAKKAH MADINAH PRA ISLAM
Alma Amelia
Ilmu Al-Quran dan Tafsir IAIN Pekalongan





A.    Pengelompokan Bangsa Arab[1]

Bangsa Arab mempunyai akar panjang dalam sejarah, mereka termasuk ras atau rumpun bangsa Caucasoid, dalam Subras Mediteranian yang anggotanya meliputi wilayah sekitar Laut Tengah, Afrika Utara, Armenia, Arabiyah dan Irania. Bangsa arab hidup berpindah-pindah, karena tanahnya terdiri atas gurun pasir yang kering dan sangat sedikit turun hujan. Perpindahan mereka dari satu tempat ke tempat yang lainnya mengikuti tumbuhnya stepa (padang rumput) yang tumbuh secara sporadic di tanah arab di sekitar oasis atau genangan air setelah turun hujan. Bila dilihat dari asal-usul keturunan, penduduk jazirah arab dapat dibagi menjadi dua golongan besar, yaitu: Qathaniyun (keturunan Qathan) dan ‘Adaniyun (keturuan Ismail ibnu Ibrahim as).

1.    Arab Baidah

Kelompok ini telah kehilangan keturunannya sehingga sejarahnya pun ikut hilang. Kelompok ini terdiri dari kaum ‘Ad, kaum Tsamud, kaum Ainun, suku Amiel, kaum Thasur, Kaum Jadis, kaum Imlieq, kaum Jurhum Ula, dan kaum Wabar. Namun Kaum‘Ad dan kaum Tsamud terungkap sejarahnya dalam Al-Qur’an. Seperti dalam Q.S. At Taubah :70  

أَلَمْ يَأْتِهِمْ نَبَأُ ٱلَّذِينَ مِن قَبْلِهِمْ قَوْمِ نُوحٍۢ وَعَادٍۢ وَثَمُودَ وَقَوْمِ إِبْرَٰهِيمَ وَأَصْحَٰبِ مَدْيَنَ وَٱلْمُؤْتَفِكَٰتِ ۚ أَتَتْهُمْ رُسُلُهُم بِٱلْبَيِّنَٰتِ ۖ فَمَا كَانَ ٱللَّهُ لِيَظْلِمَهُمْ وَلَٰكِن كَانُوٓا۟ أَنفُسَهُمْ يَظْلِمُونَ۝

“Belumkah datang kepada mereka berita penting tentang orang-orang yang sebelum mereka, (yaitu) kaum Nuh, 'Aad, Tsamud, kaum Ibrahim, penduduk Madyan dan negeri-negeri yang telah musnah? telah datang kepada mereka Rasul-rasul dengan membawa keterangan yang nyata, Maka Allah tidaklah sekali-kali Menganiaya mereka, akan tetapi merekalah yang Menganiaya diri mereka sendiri.”

2.    Arab Baqiyah

Berbeda dengan Baidah, Kelompok ini masih dapat mempertahankan keturunannya, yang kemudian memecahkan diri menjadi dua golongan, yaitu: golongan Arab Aribah dan golongan Arab Musta’ribah.

3.    Arab Aribah

Golongan Arab Aribah yang sekarang menjadi nenek moyang arab Selatan, terdiri dari orang-orang yang berdarah arab murni, yaitu cikal bakal dari rumpun bangsa Arab yang ada sekarang ini. Mereka berasal dari keturunan Qhattan yang menetap di tepian sungai Eufrat kemudian pindah ke Yaman. Suku bangsa arab yang terkenal adalah: Kahlan dan Himyar. Kerajaan yang terkenal adalah kerajaan Saba' yang berdiri abad ke-8 SM dan kerajaan Himyar berdiri abad ke-2 SM.

4.    Arab Musta'ribah

Golongan Arab Musta’ribah yang hidup di bagaian utara, terdiri dari orang-orang  naturalisasi. Karena waktu Jurhum dari suku bangsa Qathan mendiami Mekkah, mereka tinggal bersama nabi Ismail dan ibunya Siti Hajar. Nabi Ismail yang bukan keturunan Arab, mengawini wanita suku Jurhum. Arab Musta'ribah sering juga disebut Bani Ismail bin Ibrahim ismail (Adnaniyyun).

B.     Sistem Suku/Qabilah

Secara umum, penduduk Arab terbagi menjadi dua kelompok, yaitu ‘Arab atau penduduk kota dan A’rab atau penduduk desa. Kelompok ‘Arab bertempat tinggal di kota yang merupakan pusat peradaban. Mereka memiliki rumah yang berbentuk bangunan permanen. Sebutan mereka adalah Ahl al-Madar atau penduduk kota. Mereka hidup dengan berdagang sehingga lebih maju kehidupannya. Akan tetapi, semangat individualisme mereka lebih kuat daripada komunalisme. Hal ini disebabkan perdagangan telah menimbulkan transformasi pemikiran di kalangan mereka.

Kelompok A’rab hidup dalam tenda-tenda dan disebut dengan Ahl al-Wabar (penduduk desa) atau dikenal dengan suku Badui. Setiap tenda mewakili sebuah keluarga, yang merupakan satu rumah tangga yang terdiri dari seorang ayah, anak laki-lakinya, dan keluarga mereka yang merupakan keturunan langsung. Wilayah yang ditempati tenda-tenda membentuk hayy. Semua anggota hayy membentuk sebuah klan (qawm), di mana hak dan tenggung jawab klan bersifat kolektif berdasarkan solidaritas kelompok atau ashabiyah. Sejumlah klan yang sedarah kemudian bersama-sama membentuk suku (qabilah).

Masyarakat Badui tinggal di padang pasir yang tanpa air dan tumbuh-tumbuhan. Mereka tidak suka bertani, tetapi lebih suka berperang dan membunuh. Sumber perekonomian mereka adalah pedang dan panah. Masyarakat ini mewakili bentuk adaptasi kehidupan manusia terhadap kondisi lingkungannya. Pekerjaan utama mereka adalah pengembala ternak (pastoral). Mereka adalah kelompok suku nomad yang berkelana dari satu wilayah ke wilayah yang lain. Tujuannya adalah mencari daerah-daerah ya)ng berumput dan memiliki sumber air untuk kehidupan mereka dan ternaknya. Meskipun nomad, mereka memiliki tatanan nilai, kebiasaan, dan adat istiadat sendiri. Identitas mereka dapat dilihat dari caranya berpakaian bawah yang panjang (tsaub) dan ikat pinggang. Pakaian atasnya longgar (aba) dan menggunakan penutup kepala berupa syal (kufiyya) yang diikat dengan tali (‘iqal).[2]

Bangsa Arab tidak memiliki sistem pemerintahan seperti yang kita kenal dewasa ini. Mereka tidak memiliki tempat peradilan dalam memperoleh kepastian hukum tentang suatu kasus atau tempat memvonis suatu tindakan pelanggaran. Dalam tataran masyarakat jahiliyah orang yang teraniaya, akan mengambil tindakan pembalasan kepada yang telah berbuat aniaya kepadanya dan kabilahnya, apabila tindakan aniaya itu dianggap sangat membahayakan. Namun, pihak teraniaya tidak berhak menuntut balas apabila yang berbuat aniaya telah membayar ganti rugi dengan materi sesuai dengan kesepakatan kedua belah pihak (diyat).[3]

Organisasi dan identitas sosial berakar pada keanggotaan dalam suatu rentang komunitas yang luas. Kelompok beberapa keluarga membentuk kabilah. Beberapa kelompok kabilah membentuk suku yang dipimpin oleh seorang syaikh. Mereka sangat menekankan hubungan kesukuan, sehingga kesetiaan atau solidaritas kelompok menjadi sumber kekuatan bagi suatu kabilah maupun suku. Selain itu, mereka juga suka berperang, sehingga tak heran jika peperangan antar suku sering sering sekali terjadi.[4] Hal ini menjadikan nilai wanita menjadi sangat rendah, dimana pihak yang menang dalam peperangan antar kabilah bisa menawan para wanita pihak yang kalah. Di antara kebiasaan yang sudah dikenal pada masa jahiliyah poligami tanpa ada batasan maksimal, pernikahan secara spontan kaum pria boleh menikahi dua wanita bersaudara sekalipun, mereka juga menikahi mantan istri dari ayah mereka. Hal ini disebutkan dalam QS. An-Nisaa’:22-23.

وَلَا تَنكِحُوا۟ مَا نَكَحَ ءَابَآؤُكُم مِّنَ ٱلنِّسَآءِ إِلَّا مَا قَدْ سَلَفَ ۚ إِنَّهُۥ كَانَ فَٰحِشَةًۭ وَمَقْتًۭا وَسَآءَ سَبِيلًا ۝ حُرِّمَتْ

عَلَيْكُمْ أُمَّهَٰتُكُمْ وَبَنَاتُكُمْ وَأَخَوَٰتُكُمْ وَعَمَّٰتُكُمْ وَخَٰلَٰتُكُمْ وَبَنَاتُ ٱلْأَخِ وَبَنَاتُ ٱلْأُخْتِ وَأُمَّهَٰتُكُمُ ٱلَّٰتِىٓ أَرْضَعْنَكُمْ

 وَأَخَوَٰتُكُم مِّنَ ٱلرَّضَٰعَةِ وَأُمَّهَٰتُ نِسَآئِكُمْ وَرَبَٰٓئِبُكُمُ ٱلَّٰتِى فِى حُجُورِكُم مِّن نِّسَآئِكُمُ ٱلَّٰتِى دَخَلْتُم بِهِنَّ فَإِن لَّمْ

تَكُونُوا۟ دَخَلْتُم بِهِنَّ فَلَا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ وَحَلَٰٓئِلُ أَبْنَآئِكُمُ ٱلَّذِينَ مِنْ أَصْلَٰبِكُمْ وَأَن تَجْمَعُوا۟ بَيْنَ ٱلْأُخْتَيْنِ إِلَّا مَا قَدْ سَلَفَ ۗ إِنَّ ٱللَّهَ كَانَ غَفُورًۭا رَّحِيمًۭا۝

“Dan janganlah kamu kawini wanita-wanita yang telah dikawini oleh ayahmu, terkecuali pada masa yang telah lampau. Sesungguhnya perbuatan itu amat keji dan dibenci Allah dan seburuk-buruk jalan (yang ditempuh) (22) Diharamkan atas kamu (mengawini) ibu-ibumu; anak-anakmu yang perempuan; saudara-saudaramu yang perempuan, saudara-saudara bapakmu yang perempuan; saudara-saudara ibumu yang perempuan; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang laki-laki; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang perempuan; ibu-ibumu yang menyusui kamu; saudara perempuan sepersusuan; ibu-ibu isterimu (mertua); anak-anak isterimu yang dalam pemeliharaanmu dari isteri yang telah kamu campuri, tetapi jika kamu belum campur dengan isterimu itu (dan sudah kamu ceraikan), maka tidak berdosa kamu mengawininya; (dan diharamkan bagimu) isteri-isteri anak kandungmu (menantu); dan menghimpunkan (dalam perkawinan) dua perempuan yang bersaudara, kecuali yang telah terjadi pada masa lampau; sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang (23)”

Pada sisi yang lain, meskipun masyarakat Badui mempunyai pemimpin, namun mereka hanya tunduk kepada syikh atau amir (ketua kabilah) itu dalam hal yang berkaitan dengan peperangan, pembagian harta rampasan dan pertempuran tertentu. Di luar itu, syaikh atau amir tidak bisa mengatur anggota kabilahnya.[5]

Lebih jauh dari itu bahwa dalam masyarakat Arab jahiliyah tidak ada sistem yang mengatur pemindahan kekuasaan dan kepemimpinan., yang ada hanya berdasarkan tradisi bahwa yang paling tua usianya, yang terkaya, yang paling banyak anggota keluarganya, dan yang paling layak mendapat kehormatan dari kepribadiannya dalam kabilah itulah yang terpilih. Orang-orang Arab yang merdeka saat berperang, mereka bersatu padu terpimpin dan berada di bawah komando seorang amir. Namun dalam keadaan damai, keluargalah satu-satunya yang nampak tersusun dalam kehidupan mereka.[6]

C.    Stratifikasi Masyarakat Arab Pra-Islam

Dalam masyarakat metropolis seperti Makkah, lalu lintas perdagangan bertemu di wilayah ini, sehingga tranformasi sosial masyarakat terjadi lebih intens. Namun, Makkah tidak memiliki struktur pemerintahan yang mengendalikan masyarakat. Otoritas masyarakat dipegang oleh Mala, semacam dewan klan atau senat yang anggotanya terdiri dari wakil-wakil suku. Lembaga ini lebih menyerupai lembaga musyawarah dan tidak memiliki hak eksekutif. Otoritasnya hanya seputar masalah moralitas tanpa disertai kewenangan bertindak. Disamping itu, terdapat institusi lokal yang memiliki fungsi tertentu.

 Di Mekkah terjadilah pertemuan berbagai elemen masyarakat dari berbagai daerah, sehingga pertukaran budaya menjadi tak terelakkan. Konsep kesukuan mulai memudar dan terjadi proses individualisasi. Kesetian suku diperlukan sebatas untuk mengganti ketiadaan otoritas hukum yang mengatur kehidupan.

Di sisi lain, masyarakat terancam oleh kompetesi ekonomi, konflik sosial, dan kehancuran moral. Perbedaan tingkat kekayaan antar individu dan kelompok melahirkan stratifikasi sosial di kota Mekkah. Antara lain:

·         Warga yang mengambang dalam arti tidak bernaung di bawah suku mana pun

·         Warga individual yang terusir dari kesukuan (al-khula’a)

·         Sejumlah pengungsi, budak, dan pedagang asing.

Selain orang-orang Arab asli, dikenal juga kelompok mawali yang merupakan orang-orang non-Arab yang terdiri dari:

·         Orang yang menggantungkan diri pada suatu kaum, tetapi bukan berasal dari golongannya.

·         Orang Arab tapi keturunan dari suku lain. Mereka meninggalkan sukunya sendiri dan bergabung dengan suku yang lainnya.

·         Tawanan perang yang sudah dibebaskan oleh tuan-tuannya.

·         Orang-orang non-Arab (al-A’ajim) yang memiliki kepandaian dan keahlian

Lain halnya dengan di Madinah, banyaknya oasis di wilayah ini yang menyebabkan tanah subur dan cocok untuk pertanian dan perkebunan. Tetapi, sistem di wilayah ini tetap tunduk pada sifat kesukuan, dimana tanah dimiliki secara bersama. Berbeda dengan Makkah yang memiliki lembaga Mala, masyarakat Madinah malah tidak memiliki lembaga pemerintahan. Masing-masing suku mempunyai aturan sendiri yang dipegangi untuk anggotanya. Hal ini sangat sering menimbulkan permusuhan antarsuku, karena ketiadaan lembaga mediator. Masyarakat Madinah merupakan masyarakat yang heterogen. Terdapat sebelas klan dan delapan di antaranya adalah bergama Yahudi. Penduduknya terdiri dari tiga komunitas besar, yaitu kelompok Yahudi, Arab pagan, dan penganut Kristen. Merekalah yang memiliki lahan pertanian dan perkebunan serta menguasai perdagangan.[7]

D.    Faktor Pemersatu dan Faktor Penyebab Konflik Masyarakat Arab Pra Islam

Organisasi kesukuan yang ada hanya berlaku untuk satu suku saja, karena mereka alergi terhadap institusi yang berskala luas. Organisasi suku memiliki kedudukan yang vital dalam struktur masyarakat Arab. Seseorang akan diakui hak-haknya kalau dia bergabung atau menjadi anggota salah satu suku.

Rasa aman seseorang terletak pada persekutuan suku, tanpa suku berarti tanpa perlindungan. Persekutuan ini didasarkan atas hubungan darah, baik dari garis keturunan ibu atau bapak. Inilah yang dinamakan solidaritas suku dan merupakan solidaritas sosial yang paling esensial.

Pada zaman jahiliyah, perang antar kabilah arab sering terjadi. Hal ini dikarenakan adanya perebutan kepemimpinan dan perebutan sumber mata air dan padang rumput. Sehingga terjadilah perang yang berkepanjangan yang disebut Ayyamul Arab.[8]

Disamping solidaritas suku, terdapat pula solidaritas artifisial yang disebut hilf atau tahalluf. Solidaritas ini berbentuk konfederasi suku-suku yang berada dalam satu wilayah. Mereka bersekutu dan mengikatkan diri dengan sumpah. Alasan terbentuknya hal itu adalah untuk menghadapi adanya persaingan dan pertentangan antarsuku di Arab. Dengan harapan, agar asal-usul mereka terpelihara sebagai sandaran dan tempat meminta bantuan atau kerja sama dalam melakukan penyerangan kepada para musuh ataupun pada saat perebutan kepemimpinan.[9] Misal, Kabilah suku-suku Quraisy pernah melakukan perjanjian hilf dengan kabilah-kabilah lain. Mereka berkumpul dirumah Abdullah Ibn Jud’an Ibn ‘Amr Ibn Ka’b Ibn Sa’d Ibn Taimi Ibn Murrah Ibn Ka’b Ibn Luay.



[1][1] Hasan Ibrahim Hasan, Sejarah dan Kebudayaan Islam I, (Jakarta: Kalam Mulia, 2009), hlm. 13-17.
[2] Ali Sodiqin, Antropologi al-Quran; Model Dialektika Wahyu dan Budaya, (Jogjakarta: Ar-Ruzz Media,2008), hlm. 42.
[3] Hasan Ibrahim Hasan, Sejarah dan Kebudayaan Islam I, (Jakarta: Kalam Mulia, 2009), hlm. 88-89.
[4] Ali Sodiqin, Antropologi al-Quran; Model Dialektika Wahyu dan Budaya, (Jogjakarta: Ar-Ruzz Media,2008), hlm. 43.
[5] Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, (Jakarta: Raja Grafindo Press, 2007), hlm. 11.
[6] Hasan Ibrahim Hasan, Sejarah dan Kebudayaan Islam I, (Jakarta: Kalam Mulia, 2009), hlm. 90.
[7] Ali Sodiqin, Antropologi al-Quran; Model Dialektika Wahyu dan Budaya, (Jogjakarta: Ar-Ruzz Media,2008), hlm. 46.
[8] Hasan Ibrahim Hasan, Sejarah dan Kebudayaan Islam I, (Jakarta: Kalam Mulia, 2009), hlm. 91.
[9] Hasan Ibrahim Hasan, Sejarah dan Kebudayaan Islam I, (Jakarta: Kalam Mulia, 2009), hlm. 119-120.

PROSES PENYEBARAN ISLAM DAN FAKTOR-FAKTOR MUDAHNYA PENERIMAAN ISLAM DI NUSANTARA

PENDAHULUAN
Sebelum Islam datang, Nusantara telah memiliki peradaban sendiri yang berasal dari pengaruh kebudayaan peradaban Hindu-Budha yang berasal dari India, walaupun penyebarannya tidak merata di Nusantara. Pulau Jawa merupakan pulau yang memiliki kebudayaan peradaban Hindu-Budha paling kuat, sedangkan Sumatra hanya memiliki sedikit kebudayaan peradaban yang dipengaruhi oleh Hindu-Budha, bahkan di berbagai pulau sama sekali belum terpengaruh oleh kebudayaan Hindu-Budha.[1]
Menurut Najib al-Athas, Islam memiliki pengaruh yang sangat besar dalam mengubah kehidupan sosial budaya serta tradisi kerohanian penduduk Melayu-Indonesia. Hal ini menjadikan sebuah pemikiran baru bagi wilayah Asia Tenggara, terutama Indonesia karena sangat mendukung intelektualisme yang tidak terdapat pada ajaran kebudayaan Hindu-Budha.[2]
Untuk menyiarkan suatu ajaran baru di suatu wilayah, harus terlebih dahulu mempelajari kondisi geografis serta sosial budaya di wilayah tersebut. Sehingga mampu melahirkan suatu akulturasi budaya, yakni dengan tetap menggunakan budaya setempat, namun dengan dialiri ajaran-ajaran Islam di dalamnya. Dengan cara perlahan serta bertahap tanpa menentang kebudayaan yang telah ada, Islam memperkenalkan persamaan derajat dan sikap menghargai terhadap sesama. Seperti yang kita ketahui, bahwa dalam kepercayaan Hindu sangat menekankan perbedaan derajat. Begitu pula peran para kaum pedagang yang memiliki sikap orientasi kosmopolitan, yang kemudian menjadi dorongan bagi mereka untuk menggulingkan kekuasaan politik yang dipimpin oleh para penguasa non-muslim.[3]
Oleh karena itu, Islam yang dibawa oleh para pedagang maupun para ulama serta da’i dapat dengan mudah diterima oleh penduduk Nusantara, karena gaya hidup serta perantara yang digunakan oleh mereka dalam menyiarkan ajaran agama Islam lebih maju daripada peradaban yang telah dianut oleh penduduk Nusantara pada saat itu.[4] Sejalan dengan sifat khas yang dimiliki Islam yakni sifat yang pluralistis sehingga mampu memberikan pemahaman bagi penduduk Nusantara.[5]
 
PEMBAHASAN
Perantara yang digunakan dalam Penyebaran Islam di Nusantara
Sebelum agama Islam datang, penduduk Nusantara telah memiliki kepercayaan dan kebudayaan tersendiri. Sehingga, dalam melakukan penyebaran Islam yang merupakan suatu ajaran baru bagi penduduk Nusantara tentu saja tidak menggunakan satu Perantara saja, melainkan dengan berbagai Perantara diantaranya:
1)  Melalui Perantara Perdagangan
Kaum pedagang di dalam sejarah tercatat sebagai pemegang peranan penting dalam proses menyebarkan ajaran dan kebudayaan Islam di Nusantara. Terbukti dengan ramainya jalur lalu lintas perdagangan pada abad ke-7 hingga ke-16 Masehi. Hal ini dikarenakan letak wilayah Nusantara yang strategis, sehingga mereka datang dan menempati di wilayah pesisir Nusantara sebagai tempat untuk berdagang serta ikut andil dalam menyebarkan agama Islam.[6] Selain itu, menggunakan jalur perdagangan laut juga menjadikan banyaknya jalur perdagangan yang terjadi di Nusantara yakni antara Jazirah Arab, India, dan Asia Tenggara, sehingga menimbulkan banyaknya teori tentang dari mana asal masuknya Islam di Nusantara.[7]
 Pelabuhan di sekitar Malaka seperti Perlak dan Samudra Pasai juga didatangi oleh para pedagang dan dijadikan sebagai tempat bermukim dalam jangka waktu yang cukup lama sembari menunggu datangnya angin musim yang akan membawa mereka pulang. Pada saat itulah, mereka saling memperkenalkan adat-istiadat, budaya, serta agama sehingga terjadilah akulturasi budaya di kalangan para pedagang dan penduduk Nusantara.[8] Dengan demikian, penduduk Nusantara akhirnya mengalami perubahan dari pengaruh Hindu-Budha ke pengaruh Islam.[9] Akhirnya, banyak penduduk Nusantara yang menganut agama Islam, dan tempat tinggal para pedagang Muslim dari berbagai negeri berkembang menjadi perkampungan-perkampungan yang disebut dengan Pekojan.[10]
Selain mengajarkan kepercayaan yang benar, Islam juga mengatur tentang sikap dan perlakuan akhlak yang baik dalam berbagai aspek kehidupan. Beberapa penyebab perubahan penduduk Nusantara yang terjadi pada masa perdagangan dapat diuraikan sebagai berikut:
- Sistem kepercayaan penduduk Nusantara sebelumnya menjadikan nenek moyang sebagai sesembahan, dengan aturan mereka tidak boleh jauh dari tempat tinggalnya. Apabila mereka meninggalkan tempat tinggalnya, mereka tidak akan mendapatkan perlindungan dari para arwah leluhur yang mereka sembah. Sementara untuk mereka yang harus meninggalkan tempat tinggal dengan alasan tertentu merasa kesulitan dalam mendapatkan perlindungan, sehingga mereka membutuhkan suatu kepercayaan yang mampu memberikan perlindungan kapan pun dan di manapun mereka berada. Hadirnya Islam merupakan jawaban atas kegelisahan mereka.[11]
-  Para pendatang muslim yang bertemu dan berbaur dengan penduduk Nusantara di pelabuhan merupakan para pedagang kaya. Sehingga mereka menganggap bahwa mereka dapat menjadi orang yang  kaya karena mereka adalah pedagang, selain itu mereka juga dapat mampu ikut andil dalam bidang politik lokal serta diplomatik.[12]
-   Para pejuang Muslim dipandang sebagai kesatuan militer yang kuat dan tangguh saat berperang. Seperti contoh pada saat mereka tidak dapat ditaklukkan dengan kekuatan magis yang dilakukan oleh Kerajaan Majapahit. Sehingga, penduduk Nusantara meyakini bahwa mereka memiliki kekuatan supranatural yang menjadikan mereka kuat dan tangguh dalam peperangan.
-    Islam memperkenalkan tulisan arab sebagai usaha dalam menambahkan kemampuan membaca para penduduk setempat, karena pada saat itu Islam mengajarkan tulisan arab ke sebagian besar wilayah Asia Tenggara yang belum mengenal tulisan, walaupun di beberapa wilayah ada yang sudah mengenal huruf Sanskrit. Dengan demikian, kualitas kesucian pada Al-Quran yang berisi tentang keilahian pun bertambah, karena ditulis dengan bahasa yang tidak dikuasai penduduk setempat.
-   Bagi penganut baru, menghafal merupakan sesuatu yang penting, terutama dalam urusan ibadah shalat. Sehingga, para penyebar Islam membuat teks-teks ajaran keilmuan yang dapat dengan mudah dihafal dan dipahami oleh para penganut baru.
-  Penduduk Nusantara meyakini bahwa para tokoh Islam mampu menyembuhkan penyakit. Seperti contoh seorang syaikh yang mampu menyembuhkan penyakit yang diderita oleh Raja Patani, dan oleh karena itu pula ia akhirnya memeluk agama Islam.
-  Kepercayaan yang penduduk Nusantara anut sebelum masuknya Islam, mengajarkan bahwa kehidupan akhirat merupakan kehidupan yang penuh dengan kemungkinan menakutkan. Namun sebaliknya, Islam menyiarkan jaminan surga yang menyenangkan dengan mengajarkan nilai-nilai moral, seperti balasan bagi orang yang taat kepada Allah walaupun di dunianya menjadi orang sengsara serba kekurangan.[13]
Selain itu, proses penyebaran Islam menggunakan Perantara perdagangan ini juga menjadi lebih cepat karena adanya krisis politik tentang perebutan kekuasaan yang terjadi saat itu. Dimana para pemilik modal dan kapal-kapal dagang merupakan para penguasa daerah yang telah beragama Islam, berusaha melepaskan diri dari kekuasaan kerajaan yang sedang dilanda kericuhan.[14]
2)  Melalui Perantara Perkawinan
Setelah para pedagang sekaligus penyiar agama menetap di perkampungan-perkampungan yang mereka buat (Pekojan), dan karena saat berlayar ke Nusantara kebanyakan dari mereka tidak membawa keluarga ataupun istri, maka mereka memilih untuk menikahi wanita penduduk lokal yang kebanyakan berasal dari keturunan bangsawan. Sehingga, terjadilah hubungan yang saling menguntungkan di antara mereka. Dengan harta yang dimiliki oleh sang saudagar menjadikan status ekonomi kaum bangsawan meningkat, begitu pula status sosial sang saudagar yang ikut meningkat karena telah menjadi sebagai keluarga bangsawan.[15]
Akhirnya, banyak para bangsawan yang menjodohkan putri-putrinya dengan para saudagar sekaligus dai tersebut. Perkawinan pun dilakukan dengan cara mengislamkan sang putri terlebih dahulu.[16] Terlebih lagi jika yang menikah dengan sang putri ialah seorang saudagar besar, maka keturunannya akan memiliki kharisma kebangsawanan yang tinggi sehingga mampu menduduki jabatan sebagai pejabat birokrasi, putra mahkota kerajaan, syahbandar, qadi, dan sebagainya.[17] Selain itu, dari perkawinan ini juga menghasilkan banyak diantara keturunan mereka yang menjadi ulama dan dai. Namun apabila tidak menjadi ulama ataupun dai, setidaknya hasil dari perkawinan ini menambah banyaknya jumlah umat Islam di Nusantara.[18]
3)  Melalui Perantara Struktur Sosial Politik
Tingginya Struktur sosial yang dimiliki para bangsawan menjadikan semakin efektifnya proses Islamisasi di Nusantara. Setelah para bangsawan memeluk agama Islam, maka hal ini juga akan berdampak kepada para rakyat yang tentunya ikut memeluk agama Islam. Istilahnya “kepala dipukul, ekor pun kena” maksudnya ialah dengan Islamnya para pemimpin kerajaan, maka rakyat pun mengikuti keputusannya.[19]
4)  Melalui Perantara Seni Budaya
Seperti yang sudah dijelaskan, bahwa sebelum Islam datang Nusantara telah memiliki kebudayaan sendiri yang dipengaruhi oleh kebudayaan Hindu-Budha dari India. Maka tidak heran jika, kebudayaan tersebut tidak akan pernah lepas dan justru semakin berkembang dengan datangnya Islam sebagai kepercayaan baru. Kemampuan dalam mengupayakan pelestarian budaya sekaligus dijadikan sebagai Perantara menyebarkan Islam kepada masyarakat, menghasilkan karya-karya seni yang indah, antara lain:[20]
a)   Seni bangunan
Masjid Agung Demak merupakan salah satu contoh peninggalan bukti penyebaran Islam di Nusantara dalam seni bangunan. Pada masjid-masjid kuno, atap yang biasa digunakan ialah atap yang berbentuk bujur sangkar dan berundak-undak yang menyerupai stupa atau Pagoda.[21] Hal ini menunjukkan adanya akulturasi budaya yang masih dilestarikan sebagai kebudayaan dengan kearifan lokal hingga sekarang. 
Di samping itu, pusat kepemerintahan pada masa periode kerajaan Islam juga memiliki lima unsur pokok dasar yang dibentuk dalam tata letak bangunan di sekitarnya, antara lain:
-     Sebuah lapangan yang luas, yakni alun-alun berada di tengah dari lima unsur pokok tersebut.
-   Pusat pemerintahan serta pendopo yang berada di sebelah utara dengan menghadap ke alun-alun.
-     Gedung penjara di sebelah timur alun-alun.
-     Pasar di sebelah selatan alun-alun.
-  Masjid yang berada di sebelah barat alun-alun, dan biasanya terdapat makam di bagian belakangnya.
b)  Seni Ukir
Kebiasaan serta kemampuan masyarakat dalam membuat seni ukir atau pahat berwujud manusia ataupun binatang, dialihkan menjadi seni ukir atau pahat dalam bentuk gambar bunga, tulisan tahun peringatan, ataupun kematian dengan menggunakan huruf Arab, serta kaligrafi yang diambil dari al-Qur’an, Hadis, maupun kalimat bijak yang lain dengan menggunakan bahan berupa batu bata, marmer ataupun kayu.[22]
c)   Seni Sastra Lisan dan Tulisan
Seni sastra lisan, merupakan hasil karya sastra yang pertama kali muncul di antara masyarakat seiring dengan tumbuh kembang masyarakat Nusantara. Seni sastra lisan ini berupa hasil tutur dari pencerita dan diwarisi secara lisan dari zaman ke zaman, yang juga dijadikan sebagai sarana dakwah.[23] Hingga sekarang, seni sastra lisan masih tetap berkembang sebagai sarana Islamisasi di beberapa wilayah Nusantara. Di Jawa dapat kita jumpai sebagai macapat, yakni seni membaca puisi ataupun cerita Jawa yang berisikan tentang ajaran Islam, dan shalawat serta kisah para Nabi, sahabat, maupun orang-orang suci yang setiap katanya terdiri dari empat suku kata.[24]
Seiring berjalannya waktu, hasil dari seni sastra lisan yang disusun ke dalam teks melahirkan sebuah karya seni sastra berupa tulisan. Karya-karya itu bukan sekedar hasil terjemahan saja, akan tetapi juga dari hasil karya asli lokal atau bisa juga dari hasil terjemahan yang diubah dengan aroma khas Nusantara.[25] Hasil dari sastra lisan maupun tulisan ini, biasanya dijadikan sebagai cerita yang ditampilkan pada pagelaran wayang, baik wayang kulit maupun wayang orang. Hal ini disebabkan karena wayang telah menjadi budaya khas yang diminati masyarakat sejak masa peradaban Hindu-Budha. Sehingga sosok seperti Sunan Kalijaga mampu mengenalkan Islam, serta membuat masyarakat khususnya di daerah Jawa tertarik untuk memeluk Islam.[26]
Contohnya, senjata yang dimiliki oleh Puntadewa yakni Jimat Kalimasada, yang berisi tentang pengakuan kepada Allah dan Nabi Muhammad Saw. Selain itu, jimat ini juga dimiliki oleh keluarga yang baik, seperti Pandawa yang diartikan sebagai Rukun Islam yang berjumlah lima. Menurut adat kebiasaan, perayaan Maulid Nabi yang dilakukan di Serambi Masjid Demak tiap tahunnya diramaikan dengan rebana, gamelan serta pagelaran wayang kulit. Serambi yang dihiasi dengan berbagai macam bunga yang indah dijadikan sebagai daya tarik masyarakat, serta bunyi tabuhan gong yang menggema cukup jauh dijadikan untuk mengumpulkan masyarakat. Melalui gapura yang dijaga oleh para wali, mereka mengucapkan Syahadat sebagai tiket masuk yang otomatis menjadikan mereka telah beragama Islam. Kemudian sebelum masuk ke dalam masjid untuk mendengarkan serta melihat penampilan wayang, mereka diperintahkan untuk berwudhu terlebih dahulu di sebelah kiri kolam. Setelah itu, jika sudah masuk waktu sholat, mereka diajak untuk melakukan sholat yang dipimpin oleh seorang wali.[27]
5)  Melalui Perantara Ajaran Tasawuf
Masyarakat Nusantara memiliki kepercayaan yang sangat kuat terhadap berbagai hal magis, sehingga penyebaran Islam yang dilakukan dengan menggunakan Perantara tasawuf dirasa menjadi cukup efektif.[30] Para ahli tasawuf selalu berusaha menghayati kehidupan masyarakatnya dan hidup bersama di tengah-tengah mereka, dengan hidup penuh kesederhanaan dan biasanya mampu menyembuhkan berbagai penyakit. Perantara ini menggunakan ajaran serta pengetahuan kebatinan dengan menyajikan nilai-nilai budaya dan ajaran agama Hindu yang dianut waktu itu, yang diubah ke dalam nilai-nilai serta ajaran Islam sehingga mudah dimengerti dan diterima di Masyarakat.[31]
Di antara para ahli tasawuf yang memberikan ajaran serta nilai-nilai Islam yang sama dengan masa sebelum penduduk Nusantara memeluk Islam ialah Hamzah Fansuri di Aceh[32], Syaikh Lemah Abang, dan Sunan Panggung di Jawa. Bahkan ajaran tasawuf semacam ini masih berkembang hingga sekarang.[33]
6)  Melalui Perantara Pendidikan
Berbeda dengan Perantara lainnya, Perantara ini bukan lagi sebagai sarana Islamisasi masyarakat Nusantara. Namun, Perantara ini dijadikan untuk memperluas penyebaran Islam, setelah agama Islam telah dijadikan sebagai agama Masyarakat sekitar. Pendidikan Islam yang dijadikan sebagai sarana dakwah untuk memenuhi keinginan yang beragam dari masyarakat Islam yang baru terbentuk, serta sebagai pemberi solusi dalam kehidupan beragama.[34]
Pondok pesantren merupakan lembaga pendidikan serta pembinaan yang didirikan oleh para kiai dan alim ulama dalam  melahirkan para calon kiai serta ulama lainnya. Disinilah para calon kiai dan ulama, yang biasa disebut santri dididik serta dibina hingga mampu menguasai bidang keagamaan Islam.[35] Setelah memperoleh keilmuan yang matang, mereka kembali ke kampung halamannya dan menjadi tokoh agama atau kiai yang juga mendirikan sebuah pondok pesantrenSemakin terkenal kiai yang mengajarkan, semakin terkenal pula pesantrennya dan pengaruhnya akan mencapai radius yang lebih jauh lagi.[36]
Faktor-faktor yang menyebabkan agama Islam mudah diterima di Nusantara
Jika dilihat dari sejarah masuk dan berkembangnya  Islam di Nusantara sejak abad ke-7, dapat kita ketahui bahwa Islam sangatlah mudah diterima oleh masyarakat Nusantara. Terbukti dengan telah menyebarnya Islam pada abad ke-7 hingga ke-13.[37]  Menurut A. Jamil terdapat tiga alasan utama yang menyebabkan Islam mudah diterima oleh masyarakat. Pertama, lemahnya Kerajaan Majapahit setelah masa Hayam Wuruk yang mengakibatkan agama Hindu, Budha, serta kepercayaan lama yang lain menjadi goyah. Kedua, Islam menawarkan persamaan derajat kepada masyarakat Nusantara, kemudian masyarakat yang semula memiliki derajat rendah menjadi merasa sederajat dengan orang yang berpangkat sebagai anggota masyarakat Islam. Ketiga, Kepandaian para penyiar Islam dalam menyiarkan ajaran Islam dengan cara menyesuaikan diri secara tingkah laku maupun materi ajarannya dengan masyarakat lokal, menjadikan mudahnya diterima ajaran-ajaran yang diberikan. [38] Selain itu ada juga faktor-faktor lain yang  menyebabkan Islam mudah diterima di Nusantara, antara lain:
1)  Syarat yang Sangat Mudah serta Murah
Yakni hanya dengan mengucapkan dua kalimat syahadat yang merupakan syarat wajib masuk Islam.
2)  Akulturasi Budaya
Akulturasi Budaya yaitu perpaduan beberapa kebudayaan yang berbeda, sehingga melahirkan kebudayaan baru tanpa menghilangkan unsur yang penting dari masing-masing kebudayaan.[39] Dengan kata lain, kebudayaan lama hanya sekedar tampilannya saja, sedangkan isinya berasal dari ajaran-ajaran Islam. Hasil dalam hal kesenian yakni seperti Wayang, Hadrah, Qasidah, Kesenian Debus, Tari Zapin, serta Suluk. Sedangkan dalam hal tradisi terdapat Mauludan, Grebek, Sekaten, Suranan, Magengan atau Dandangan, Selikuran, dan pesta Tabot.[40]
3)  Tidak Mengenal Kasta
Agama Hindu yang dianut oleh Masyarakat Nusantara sebelum memeluk Islam, memiliki aturan tentang pembagian kasta yang berlaku pada saat itu. Salah satu dampak negatifnya ialah larangan mengenai perkawinan antar budaya dan antar kasta.[41] Maknanya, seseorang yang memiliki kasta rendah, tidak boleh menikah dengan seseorang yang memiliki kasta lebih tinggi.[42]
Setelah datangnya Islam yang mengajarkan persamaan derajat atau tidak memandang tinggi rendahnya kasta, maka Masyarakat Nusantara berbondong-bondong memeluk agama Islam.
4)  Cara Beribadah yang Mudah dan Gratis
Shalat lima waktu, tidaklah sama dengan cara beribadah agama lain yang mensyaratkan banyak hal, cara beribadah yang Islam gunakan ini dilakukan secara gratis dan mudah. Sehingga masyarakat Nusantara sangat berantusias dalam menerima Islam sebagai agama baru yang mereka anut.[43]
5)  Para Penyebar Islam yang Dapat Diteladani
Sifat-sifat yang sangat luhur, sopan, rendah hati, santun, dan sebagainya merupakan gambaran sosok yang baik serta dapat dijadikan sebagai panutan bagi banyak orang, dengan begitu masyarakat pun tertarik untuk memeluk Islam.
6)  Peran Para Raja
Masuk Islamnya seorang raja, menjadikan para rakyatnya juga akan memeluk Islam. Maka dari itu, raja dijadikan sebagai target utama dalam Islamisasi. Ibarat pepatah “pukul kepala ekor kena”.[44]
7)  Disebarkan dengan Cara Damai
Masyarakat dapat menerima Islam tanpa harus meninggalkan kebudayaan kepercayaan yang dulu dianutnya, dengan menggunakan Perantara perdagangan, perkawinan, seni budaya, tasawuf, serta pendidikan dapat terbukti bahwa Islam melakukan penyebaran ajaran secara damai. Walaupun, Perantara politik juga digunakan untuk menaklukkan kerajaan-kerajaan non-Islam, namun hal ini mampu memberikan pengaruh yang besar dalam memperlancar proses Islamisasi.[45]
 
PENUTUP
Untuk menyiarkan suatu ajaran baru di suatu wilayah, harus terlebih dahulu mempelajari kondisi geografis serta sosial budaya di wilayah tersebut. Sehingga mampu melahirkan suatu akulturasi budaya, yakni dengan tetap menggunakan budaya setempat, namun dengan dialiri ajaran-ajaran Islam di dalamnya. Dengan cara perlahan serta bertahap tanpa menentang kebudayaan yang telah ada, Islam memperkenalkan persamaan derajat dan sikap menghargai terhadap sesama.
Beberapa Perantara yang digunakan dalam Penyebaran Islam di Nusantara meliputi: Perantara Perdagangan; Perantara Perkawinan; Perantara Struktur Sosial Politik; Melalui Perantara Seni Budaya; Melalui Perantara Ajaran Tasawuf; Melalui Perantara Pendidikan
Adapun faktor-faktor yang menyebabkan agama Islam mudah diterima di Nusantara ialah: Syarat yang Sangat Mudah serta Murah; Akulturasi Budaya; Tidak Mengenal Kasta; Cara Beribadah yang Mudah dan Gratis; Para Penyebar Islam yang Dapat Diteladani; Peran Para Raja; Disebarkan dengan Cara Damai.
 

[1] Musyrifah Sunanto, Sejarah Peradaban Islam Indonesia, (Jakarta: Rajawali Pers, 2010), hlm. 3.
[2] Azyumardi Azra, Resnaisans Islam Asia Tenggara, Sejarah Wacana dan Kekuasaan, (Bandung: PT Remaja Rosda Karya, 1999), hlm. 6.
[3] Musyrifah Sunanto, Sejarah Peradaban Islam Indonesia, (Jakarta: Rajawali Pers, 2010), hlm. 22.
[4] Musyrifah Sunanto, Sejarah Peradaban Islam Indonesia, (Jakarta: Rajawali Pers, 2010)hlm. 4.
[5] Ahmad Sugiri, “Proses Islamsisasi dan Percaturan Politik Umat Islam di Indonesia”, dalam Al Qalam, Majalah Ilmiah Bidang Keagamaan dan Kependudukan, No. 59/XI/1996, (Serang: IAIN SGD, 1996), hlm. 43.
[6] Bahrul Ulum, “Islam Jawa: Pertautan Islam dengan Budaya Lokal Abad XV”, (Malang: STAI Al-Qolam Gondanglegi Malang, Juli-Desember 2014), hlm. 33.
[7] Rizem Aizid, Sejarah Islam Nusantara, (Yogyakarta: DIVA Press, Desember 2014), hlm. 34.
[8] Bahrul Ulum, “Islam Jawa: Pertautan Islam dengan Budaya Lokal Abad XV”, (Malang: STAI Al-Qolam Gondanglegi Malang, Juli-Desember 2014), hlm. 33.
[9] Musyrifah Sunanto, Sejarah Peradaban Islam Indonesia, (Jakarta: Rajawali Pers, 2010), hlm. 4.
[10] Uka Tjandrasasmita (Ed.), Sejarah Nasional Indonesia III, (Jakarta: PN Balai Pustaka, 1984), hlm. 201.
[11] Azyumardi Azra, Resnaisans Islam Asia Tenggara, Sejarah Wacana dan Kekuasaan, (Bandung: PT Remaja Rosda Karya, 1999), hlm. 62.
[12] Azyumardi Azra, Resnaisans Islam Asia Tenggara, Sejarah Wacana dan Kekuasaan, (Bandung: PT Remaja Rosda Karya, 1999), hlm. 22.
[13] Azyumardi Azra, Resnaisans Islam Asia Tenggara, Sejarah Wacana dan Kekuasaan, (Bandung: PT Remaja Rosda Karya, 1999), hlm. 63-64.
[14] R. Soekmono, Pengantar Sejarah Kebudayaan Indonesia Jilid III, (Yogyakarta: Yayasan Kanisius, 1973), hlm. 119.
[15] Ahwan Mukarrom, Sejarah Kebudayaan Islam I, (Surabaya: UIN Sunan Ampel Surabaya, 2014), hlm. 79.
[16] R. Soekmono, Pengantar Sejarah Kebudayaan Indonesia Jilid III, (Yogyakarta: Yayasan Kanisius, 1973), hlm. 123.
[17] Uka Tjandrasasmita (Ed.), Sejarah Nasional Indonesia III, (Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1976), hlm. 86.
[18] Rizem Aizid, Sejarah Islam Nusantara, (Yogyakarta: DIVA Press, Desember 2014), hlm. 35.
[19] Rizem Aizid, Sejarah Islam Nusantara, (Yogyakarta: DIVA Press, Desember 2014), hlm. 35-36.
[20] Ahwan Mukarrom, Sejarah Kebudayaan Islam I, (Surabaya: UIN Sunan Ampel Surabaya, 2014), hlm. 80.
[21] R. Soekmono, Pengantar Sejarah Kebudayaan Indonesia Jilid III, (Yogyakarta: Yayasan Kanisius, 1973), hlm. 74-75.
[22] Ahwan Mukarrom, Sejarah Kebudayaan Islam I, (Surabaya: UIN Sunan Ampel Surabaya, 2014), hlm. 81-82.
[23] Ismail Hamid, Kesusastraan Indonesia Lama Bercorak Islam,  (Jakarta: Penerbit Pustaka al Husna, 1989), hlm. 2.
[24] Ahwan Mukarrom, Sejarah Kebudayaan Islam I, (Surabaya: UIN Sunan Ampel Surabaya, 2014), hlm. 84.
[25] Ahwan Mukarrom, Sejarah Kebudayaan Islam I, (Surabaya: UIN Sunan Ampel Surabaya, 2014), hlm. 83.
[26] Ahwan Mukarrom, Sejarah Kebudayaan Islam I, (Surabaya: UIN Sunan Ampel Surabaya, 2014), hlm. 85.
[27] Rizem Aizid, Sejarah Islam Nusantara, (Yogyakarta: DIVA Press, Desember 2014), hlm. 37-39.
[28] Rizem Aizid, Sejarah Islam Nusantara, (Yogyakarta: DIVA Press, Desember 2014), hlm. 37.
[29] Ahwan Mukarrom, Sunan Giri : Tokoh Pluralis abad..., hlm. 94.
[30] Rizem Aizid, Sejarah Islam Nusantara, (Yogyakarta: DIVA Press, Desember 2014), hlm. 39.
[31] Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, (Jakarta: Raja Grafindo Press, 2007), hlm. 202.
[32] Uka Tjandrasasmita (Ed.), Sejarah Nasional Indonesia III, (Jakarta: PN Balai Pustaka, 1984), hlm. 221.
[33] Uka Tjandrasasmita (Ed.), Sejarah Nasional Indonesia III, (Jakarta: PN Balai Pustaka, 1984),hlm. 204.
[34] Hasbullah, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia: Lintasan Sejarah Pertumbuhan dan Perkembangan,  (Jakarta: PT Rajagrafindo Persada, 1996). Hlm. 15.
[35] Rizem Aizid, Sejarah Islam Nusantara, (Yogyakarta: DIVA Press, Desember 2014), hlm. 36.
[36] Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, (Jakarta: Raja Grafindo Press, 2007), hlm. 203.
[37] Rizem Aizid, Sejarah Islam Nusantara, (Yogyakarta: DIVA Press, Desember 2014), hlm. 259.
[38] A. Jamil dkk., Sejarah Kebudayaan Islam, (Semarang: Toha Putra, 1999), hlm. 89-90.
[39] Sardiman, Sejarah 2 SMA Kelas XI Program Ilmu Sosial, (Jakarta: Yudhistira, 2007), hlm. 121.
[40] Rizem Aizid, Sejarah Islam Nusantara, (Yogyakarta: DIVA Press, Desember 2014), hlm. 261-263.
[41] David W. Shenk, Ilah-Ilah Global: Peran Agama-Agama dalam Masyarakat Modern, (Terjemah: Agustinus Setiawidi, Jakarta: Gunung Mulia, 2006), hlm. 94.
[42] Rizem Aizid, Sejarah Islam Nusantara, (Yogyakarta: DIVA Press, Desember 2014), hlm. 264.
[43] Rizem Aizid, Sejarah Islam Nusantara, (Yogyakarta: DIVA Press, Desember 2014), hlm. 265.
[44] Rizem Aizid, Sejarah Islam Nusantara, (Yogyakarta: DIVA Press, Desember 2014), hlm. 266.
[45] Rizem Aizid, Sejarah Islam Nusantara, (Yogyakarta: DIVA Press, Desember 2014), hlm. 267.