STRUKTUR DAN SISTEM SOSIAL
MASYARAKAT MAKKAH MADINAH PRA ISLAM
Alma Amelia
Ilmu Al-Quran dan Tafsir IAIN Pekalongan
Bangsa Arab mempunyai
akar panjang dalam sejarah, mereka termasuk ras atau rumpun bangsa Caucasoid,
dalam Subras Mediteranian yang anggotanya meliputi wilayah sekitar Laut Tengah,
Afrika Utara, Armenia, Arabiyah dan Irania. Bangsa arab hidup berpindah-pindah,
karena tanahnya terdiri atas gurun pasir yang kering dan sangat sedikit turun
hujan. Perpindahan mereka dari satu tempat ke tempat yang lainnya mengikuti
tumbuhnya stepa (padang rumput) yang tumbuh secara sporadic di tanah arab di
sekitar oasis atau genangan air setelah turun hujan. Bila dilihat dari
asal-usul keturunan, penduduk jazirah arab dapat dibagi menjadi dua golongan
besar, yaitu: Qathaniyun (keturunan Qathan) dan ‘Adaniyun (keturuan Ismail ibnu
Ibrahim as).
1.
Arab Baidah
Kelompok
ini telah kehilangan keturunannya sehingga sejarahnya
pun ikut hilang. Kelompok ini terdiri dari kaum ‘Ad, kaum Tsamud,
kaum Ainun, suku Amiel, kaum Thasur, Kaum Jadis, kaum Imlieq, kaum Jurhum Ula,
dan kaum Wabar. Namun Kaum‘Ad dan kaum Tsamud
terungkap sejarahnya dalam Al-Qur’an. Seperti dalam Q.S. At Taubah
:70
أَلَمْ
يَأْتِهِمْ نَبَأُ ٱلَّذِينَ مِن قَبْلِهِمْ قَوْمِ نُوحٍۢ وَعَادٍۢ وَثَمُودَ
وَقَوْمِ إِبْرَٰهِيمَ وَأَصْحَٰبِ مَدْيَنَ وَٱلْمُؤْتَفِكَٰتِ ۚ أَتَتْهُمْ
رُسُلُهُم بِٱلْبَيِّنَٰتِ ۖ فَمَا كَانَ ٱللَّهُ لِيَظْلِمَهُمْ وَلَٰكِن
كَانُوٓا۟ أَنفُسَهُمْ يَظْلِمُونَ
“Belumkah
datang kepada mereka berita penting tentang orang-orang yang sebelum mereka,
(yaitu) kaum Nuh, 'Aad, Tsamud, kaum Ibrahim, penduduk Madyan dan negeri-negeri
yang telah musnah? telah datang kepada mereka Rasul-rasul dengan membawa
keterangan yang nyata, Maka Allah tidaklah sekali-kali Menganiaya mereka, akan
tetapi merekalah yang Menganiaya diri mereka sendiri.”
2.
Arab Baqiyah
Berbeda dengan Baidah, Kelompok
ini masih dapat mempertahankan keturunannya, yang kemudian memecahkan diri
menjadi dua golongan, yaitu: golongan Arab Aribah dan golongan Arab Musta’ribah.
3. Arab Aribah
Golongan Arab Aribah yang
sekarang menjadi nenek moyang arab Selatan, terdiri dari orang-orang yang berdarah
arab murni, yaitu
cikal bakal dari rumpun bangsa Arab yang ada sekarang ini. Mereka berasal dari keturunan Qhattan yang menetap di tepian sungai
Eufrat kemudian pindah ke Yaman. Suku bangsa arab yang terkenal adalah: Kahlan
dan Himyar. Kerajaan yang terkenal adalah kerajaan Saba' yang berdiri abad ke-8
SM dan kerajaan Himyar berdiri abad ke-2 SM.
4. Arab Musta'ribah
Golongan Arab Musta’ribah
yang hidup di bagaian utara, terdiri dari orang-orang naturalisasi. Karena waktu Jurhum dari suku bangsa Qathan
mendiami Mekkah, mereka tinggal bersama nabi Ismail dan ibunya Siti Hajar. Nabi Ismail yang bukan keturunan Arab, mengawini wanita suku Jurhum. Arab
Musta'ribah sering juga disebut Bani Ismail bin Ibrahim ismail (Adnaniyyun).
B.
Sistem Suku/Qabilah
Secara umum, penduduk Arab terbagi menjadi dua
kelompok, yaitu ‘Arab atau penduduk kota dan A’rab atau penduduk desa. Kelompok ‘Arab bertempat tinggal di kota yang merupakan pusat
peradaban. Mereka memiliki rumah yang berbentuk bangunan permanen. Sebutan
mereka adalah Ahl al-Madar atau penduduk kota. Mereka hidup dengan berdagang
sehingga lebih maju kehidupannya. Akan tetapi, semangat individualisme mereka
lebih kuat daripada komunalisme. Hal ini disebabkan perdagangan telah
menimbulkan transformasi pemikiran di kalangan mereka.
Kelompok
A’rab hidup dalam tenda-tenda dan disebut dengan Ahl al-Wabar (penduduk
desa) atau dikenal dengan suku Badui. Setiap tenda mewakili sebuah keluarga,
yang merupakan satu rumah tangga yang terdiri dari seorang ayah, anak
laki-lakinya, dan keluarga mereka yang merupakan keturunan langsung. Wilayah
yang ditempati tenda-tenda membentuk hayy. Semua anggota hayy
membentuk sebuah klan (qawm), di mana hak dan tenggung jawab klan
bersifat kolektif berdasarkan solidaritas kelompok atau ashabiyah. Sejumlah
klan yang sedarah kemudian bersama-sama membentuk suku (qabilah).
Masyarakat
Badui tinggal di padang pasir yang tanpa air dan tumbuh-tumbuhan. Mereka tidak
suka bertani, tetapi lebih suka berperang dan membunuh. Sumber perekonomian
mereka adalah pedang dan panah. Masyarakat ini mewakili bentuk adaptasi
kehidupan manusia terhadap kondisi lingkungannya. Pekerjaan utama mereka adalah
pengembala ternak (pastoral). Mereka adalah kelompok suku nomad yang berkelana
dari satu wilayah ke wilayah yang lain. Tujuannya adalah mencari daerah-daerah
ya)ng berumput dan memiliki sumber air untuk kehidupan mereka dan ternaknya.
Meskipun nomad, mereka memiliki tatanan nilai, kebiasaan, dan adat istiadat
sendiri. Identitas mereka dapat dilihat dari caranya berpakaian bawah yang
panjang (tsaub) dan ikat pinggang. Pakaian atasnya longgar (aba)
dan menggunakan penutup kepala berupa syal (kufiyya) yang diikat dengan
tali (‘iqal).[2]
Bangsa Arab tidak
memiliki sistem pemerintahan seperti yang kita kenal dewasa ini. Mereka tidak memiliki tempat peradilan dalam memperoleh kepastian
hukum tentang suatu kasus atau tempat memvonis suatu tindakan pelanggaran.
Dalam tataran masyarakat jahiliyah orang yang teraniaya, akan mengambil tindakan
pembalasan kepada yang telah berbuat aniaya kepadanya dan kabilahnya, apabila tindakan aniaya itu dianggap sangat membahayakan. Namun, pihak teraniaya
tidak berhak menuntut balas apabila yang berbuat aniaya telah membayar ganti
rugi dengan materi sesuai dengan kesepakatan kedua belah pihak (diyat).[3]
Organisasi dan
identitas sosial berakar pada keanggotaan dalam suatu rentang komunitas yang
luas. Kelompok beberapa keluarga membentuk kabilah. Beberapa kelompok kabilah
membentuk suku yang
dipimpin oleh seorang syaikh. Mereka sangat menekankan hubungan kesukuan,
sehingga kesetiaan atau solidaritas kelompok menjadi sumber kekuatan bagi suatu
kabilah maupun suku. Selain
itu, mereka
juga suka berperang,
sehingga tak heran jika peperangan antar suku
sering sering sekali terjadi.[4]
Hal ini menjadikan nilai wanita menjadi
sangat rendah,
dimana pihak yang menang dalam
peperangan antar kabilah bisa menawan para wanita pihak yang kalah. Di antara
kebiasaan yang sudah dikenal pada masa jahiliyah poligami tanpa ada batasan
maksimal, pernikahan secara spontan kaum pria boleh menikahi dua wanita bersaudara
sekalipun, mereka juga menikahi mantan istri dari ayah mereka. Hal ini
disebutkan dalam QS. An-Nisaa’:22-23.
وَلَا
تَنكِحُوا۟ مَا نَكَحَ ءَابَآؤُكُم مِّنَ ٱلنِّسَآءِ إِلَّا مَا قَدْ سَلَفَ ۚ
إِنَّهُۥ كَانَ فَٰحِشَةًۭ وَمَقْتًۭا وَسَآءَ سَبِيلًا حُرِّمَتْ
عَلَيْكُمْ أُمَّهَٰتُكُمْ وَبَنَاتُكُمْ وَأَخَوَٰتُكُمْ
وَعَمَّٰتُكُمْ وَخَٰلَٰتُكُمْ وَبَنَاتُ ٱلْأَخِ وَبَنَاتُ ٱلْأُخْتِ
وَأُمَّهَٰتُكُمُ ٱلَّٰتِىٓ أَرْضَعْنَكُمْ
وَأَخَوَٰتُكُم مِّنَ ٱلرَّضَٰعَةِ وَأُمَّهَٰتُ نِسَآئِكُمْ
وَرَبَٰٓئِبُكُمُ ٱلَّٰتِى فِى حُجُورِكُم مِّن نِّسَآئِكُمُ ٱلَّٰتِى دَخَلْتُم
بِهِنَّ فَإِن لَّمْ
تَكُونُوا۟ دَخَلْتُم بِهِنَّ فَلَا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ
وَحَلَٰٓئِلُ أَبْنَآئِكُمُ ٱلَّذِينَ مِنْ أَصْلَٰبِكُمْ وَأَن تَجْمَعُوا۟ بَيْنَ ٱلْأُخْتَيْنِ
إِلَّا مَا قَدْ سَلَفَ ۗ إِنَّ ٱللَّهَ كَانَ غَفُورًۭا رَّحِيمًۭا
“Dan janganlah kamu kawini
wanita-wanita yang telah dikawini oleh ayahmu, terkecuali pada masa yang telah
lampau. Sesungguhnya perbuatan itu amat keji dan dibenci Allah dan
seburuk-buruk jalan (yang ditempuh) (22) Diharamkan
atas kamu (mengawini) ibu-ibumu; anak-anakmu yang perempuan; saudara-saudaramu
yang perempuan, saudara-saudara bapakmu yang perempuan; saudara-saudara ibumu
yang perempuan; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang laki-laki;
anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang perempuan; ibu-ibumu yang
menyusui kamu; saudara perempuan sepersusuan; ibu-ibu isterimu (mertua);
anak-anak isterimu yang dalam pemeliharaanmu dari isteri yang telah kamu
campuri, tetapi jika kamu belum campur dengan isterimu itu (dan sudah kamu
ceraikan), maka tidak berdosa kamu mengawininya; (dan diharamkan bagimu)
isteri-isteri anak kandungmu (menantu); dan menghimpunkan (dalam perkawinan)
dua perempuan yang bersaudara, kecuali yang telah terjadi pada masa lampau;
sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang (23)”
Pada sisi yang lain, meskipun masyarakat Badui
mempunyai pemimpin, namun mereka hanya tunduk kepada syikh atau amir (ketua
kabilah) itu dalam hal yang berkaitan dengan peperangan, pembagian harta
rampasan dan pertempuran tertentu. Di luar itu, syaikh atau amir tidak bisa mengatur anggota
kabilahnya.[5]
Lebih
jauh dari itu bahwa dalam masyarakat Arab jahiliyah tidak ada sistem yang mengatur
pemindahan kekuasaan dan kepemimpinan., yang ada hanya berdasarkan tradisi
bahwa yang paling tua usianya, yang terkaya, yang paling banyak anggota
keluarganya, dan yang paling layak mendapat kehormatan dari kepribadiannya
dalam kabilah itulah yang terpilih. Orang-orang Arab yang merdeka saat
berperang, mereka bersatu padu
terpimpin dan berada di bawah komando seorang amir. Namun dalam keadaan damai,
keluargalah satu-satunya yang nampak tersusun dalam kehidupan mereka.[6]
C.
Stratifikasi
Masyarakat Arab Pra-Islam
Dalam masyarakat metropolis seperti Makkah, lalu lintas perdagangan bertemu
di wilayah ini, sehingga tranformasi sosial masyarakat terjadi lebih intens.
Namun, Makkah tidak memiliki struktur pemerintahan yang mengendalikan
masyarakat. Otoritas masyarakat dipegang oleh Mala, semacam dewan klan
atau senat yang anggotanya terdiri dari wakil-wakil suku. Lembaga ini lebih
menyerupai lembaga musyawarah dan tidak memiliki
hak eksekutif. Otoritasnya hanya seputar masalah moralitas tanpa disertai
kewenangan bertindak. Disamping itu, terdapat institusi lokal yang memiliki
fungsi tertentu.
Di Mekkah terjadilah pertemuan berbagai elemen masyarakat dari berbagai daerah, sehingga
pertukaran budaya menjadi tak terelakkan. Konsep kesukuan mulai memudar dan
terjadi proses individualisasi. Kesetian suku diperlukan sebatas untuk
mengganti ketiadaan otoritas hukum yang mengatur kehidupan.
Di sisi lain, masyarakat terancam oleh kompetesi ekonomi, konflik
sosial, dan kehancuran moral. Perbedaan tingkat kekayaan antar individu
dan kelompok melahirkan stratifikasi sosial
di kota Mekkah. Antara lain:
·
Warga
yang mengambang dalam arti tidak bernaung di bawah suku mana pun
·
Warga
individual yang terusir dari kesukuan (al-khula’a)
·
Sejumlah
pengungsi, budak, dan pedagang asing.
Selain orang-orang Arab asli,
dikenal juga kelompok mawali yang merupakan
orang-orang non-Arab yang terdiri dari:
·
Orang
yang menggantungkan diri pada suatu kaum, tetapi bukan berasal dari
golongannya.
·
Orang
Arab tapi keturunan dari suku lain. Mereka meninggalkan sukunya sendiri dan
bergabung dengan suku yang lainnya.
·
Tawanan
perang yang sudah dibebaskan oleh tuan-tuannya.
·
Orang-orang
non-Arab (al-A’ajim) yang memiliki kepandaian dan keahlian
Lain halnya dengan di Madinah,
banyaknya oasis di wilayah ini yang menyebabkan tanah subur dan cocok untuk
pertanian dan perkebunan. Tetapi, sistem di wilayah ini tetap tunduk pada sifat
kesukuan, dimana tanah dimiliki secara bersama. Berbeda dengan Makkah yang
memiliki lembaga Mala,
masyarakat Madinah malah tidak memiliki lembaga pemerintahan. Masing-masing suku
mempunyai aturan sendiri yang dipegangi untuk anggotanya. Hal ini sangat sering
menimbulkan permusuhan antarsuku, karena ketiadaan lembaga mediator. Masyarakat
Madinah merupakan masyarakat yang heterogen. Terdapat sebelas klan dan delapan
di antaranya adalah bergama Yahudi. Penduduknya terdiri dari tiga komunitas
besar, yaitu kelompok Yahudi, Arab pagan, dan penganut Kristen. Merekalah yang
memiliki lahan pertanian dan perkebunan serta menguasai perdagangan.[7]
D.
Faktor
Pemersatu dan Faktor Penyebab Konflik Masyarakat Arab Pra Islam
Organisasi kesukuan yang ada hanya
berlaku untuk satu suku saja, karena mereka alergi terhadap institusi yang
berskala luas. Organisasi suku memiliki kedudukan yang vital dalam struktur
masyarakat Arab. Seseorang akan diakui hak-haknya kalau dia bergabung atau
menjadi anggota salah satu suku.
Rasa aman seseorang terletak pada
persekutuan suku, tanpa suku berarti tanpa perlindungan. Persekutuan ini
didasarkan atas hubungan darah, baik dari garis keturunan ibu atau bapak.
Inilah yang dinamakan solidaritas suku dan merupakan solidaritas sosial yang
paling esensial.
Pada zaman jahiliyah, perang antar kabilah arab sering terjadi. Hal ini
dikarenakan adanya perebutan kepemimpinan dan perebutan sumber mata air dan
padang rumput. Sehingga terjadilah perang yang berkepanjangan yang disebut Ayyamul
Arab.[8]
Disamping solidaritas suku, terdapat
pula solidaritas artifisial yang disebut hilf atau tahalluf. Solidaritas ini
berbentuk konfederasi suku-suku yang berada dalam satu wilayah. Mereka
bersekutu dan mengikatkan diri dengan sumpah. Alasan terbentuknya hal itu adalah
untuk menghadapi adanya persaingan dan pertentangan antarsuku di Arab. Dengan harapan, agar asal-usul mereka
terpelihara sebagai sandaran dan tempat meminta bantuan atau kerja sama dalam
melakukan penyerangan kepada para musuh ataupun pada saat perebutan kepemimpinan.[9]
Misal, Kabilah suku-suku Quraisy pernah melakukan perjanjian hilf dengan kabilah-kabilah
lain. Mereka berkumpul dirumah Abdullah Ibn Jud’an Ibn ‘Amr Ibn Ka’b Ibn Sa’d
Ibn Taimi Ibn Murrah Ibn Ka’b Ibn Luay.
[1][1]
Hasan Ibrahim Hasan, Sejarah dan
Kebudayaan Islam I, (Jakarta: Kalam Mulia, 2009), hlm. 13-17.
[2]
Ali Sodiqin, Antropologi al-Quran; Model Dialektika Wahyu dan Budaya, (Jogjakarta: Ar-Ruzz Media,2008), hlm. 42.
[3] Hasan Ibrahim Hasan, Sejarah dan
Kebudayaan Islam I, (Jakarta: Kalam Mulia, 2009), hlm. 88-89.
[4] Ali
Sodiqin, Antropologi al-Quran; Model Dialektika Wahyu dan Budaya, (Jogjakarta: Ar-Ruzz Media,2008), hlm. 43.
[6] Hasan Ibrahim Hasan, Sejarah dan
Kebudayaan Islam I, (Jakarta: Kalam Mulia, 2009), hlm. 90.
[7]
Ali Sodiqin, Antropologi al-Quran; Model Dialektika Wahyu dan Budaya, (Jogjakarta: Ar-Ruzz Media,2008), hlm. 46.
[8] Hasan Ibrahim Hasan, Sejarah dan
Kebudayaan Islam I, (Jakarta: Kalam Mulia, 2009), hlm. 91.
[9] Hasan Ibrahim Hasan, Sejarah dan
Kebudayaan Islam I, (Jakarta: Kalam Mulia, 2009), hlm. 119-120.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar