Rabu, 27 Maret 2019


 STRUKTUR DAN SISTEM SOSIAL MASYARAKAT MAKKAH MADINAH PRA ISLAM
Alma Amelia
Ilmu Al-Quran dan Tafsir IAIN Pekalongan





A.    Pengelompokan Bangsa Arab[1]

Bangsa Arab mempunyai akar panjang dalam sejarah, mereka termasuk ras atau rumpun bangsa Caucasoid, dalam Subras Mediteranian yang anggotanya meliputi wilayah sekitar Laut Tengah, Afrika Utara, Armenia, Arabiyah dan Irania. Bangsa arab hidup berpindah-pindah, karena tanahnya terdiri atas gurun pasir yang kering dan sangat sedikit turun hujan. Perpindahan mereka dari satu tempat ke tempat yang lainnya mengikuti tumbuhnya stepa (padang rumput) yang tumbuh secara sporadic di tanah arab di sekitar oasis atau genangan air setelah turun hujan. Bila dilihat dari asal-usul keturunan, penduduk jazirah arab dapat dibagi menjadi dua golongan besar, yaitu: Qathaniyun (keturunan Qathan) dan ‘Adaniyun (keturuan Ismail ibnu Ibrahim as).

1.    Arab Baidah

Kelompok ini telah kehilangan keturunannya sehingga sejarahnya pun ikut hilang. Kelompok ini terdiri dari kaum ‘Ad, kaum Tsamud, kaum Ainun, suku Amiel, kaum Thasur, Kaum Jadis, kaum Imlieq, kaum Jurhum Ula, dan kaum Wabar. Namun Kaum‘Ad dan kaum Tsamud terungkap sejarahnya dalam Al-Qur’an. Seperti dalam Q.S. At Taubah :70  

أَلَمْ يَأْتِهِمْ نَبَأُ ٱلَّذِينَ مِن قَبْلِهِمْ قَوْمِ نُوحٍۢ وَعَادٍۢ وَثَمُودَ وَقَوْمِ إِبْرَٰهِيمَ وَأَصْحَٰبِ مَدْيَنَ وَٱلْمُؤْتَفِكَٰتِ ۚ أَتَتْهُمْ رُسُلُهُم بِٱلْبَيِّنَٰتِ ۖ فَمَا كَانَ ٱللَّهُ لِيَظْلِمَهُمْ وَلَٰكِن كَانُوٓا۟ أَنفُسَهُمْ يَظْلِمُونَ۝

“Belumkah datang kepada mereka berita penting tentang orang-orang yang sebelum mereka, (yaitu) kaum Nuh, 'Aad, Tsamud, kaum Ibrahim, penduduk Madyan dan negeri-negeri yang telah musnah? telah datang kepada mereka Rasul-rasul dengan membawa keterangan yang nyata, Maka Allah tidaklah sekali-kali Menganiaya mereka, akan tetapi merekalah yang Menganiaya diri mereka sendiri.”

2.    Arab Baqiyah

Berbeda dengan Baidah, Kelompok ini masih dapat mempertahankan keturunannya, yang kemudian memecahkan diri menjadi dua golongan, yaitu: golongan Arab Aribah dan golongan Arab Musta’ribah.

3.    Arab Aribah

Golongan Arab Aribah yang sekarang menjadi nenek moyang arab Selatan, terdiri dari orang-orang yang berdarah arab murni, yaitu cikal bakal dari rumpun bangsa Arab yang ada sekarang ini. Mereka berasal dari keturunan Qhattan yang menetap di tepian sungai Eufrat kemudian pindah ke Yaman. Suku bangsa arab yang terkenal adalah: Kahlan dan Himyar. Kerajaan yang terkenal adalah kerajaan Saba' yang berdiri abad ke-8 SM dan kerajaan Himyar berdiri abad ke-2 SM.

4.    Arab Musta'ribah

Golongan Arab Musta’ribah yang hidup di bagaian utara, terdiri dari orang-orang  naturalisasi. Karena waktu Jurhum dari suku bangsa Qathan mendiami Mekkah, mereka tinggal bersama nabi Ismail dan ibunya Siti Hajar. Nabi Ismail yang bukan keturunan Arab, mengawini wanita suku Jurhum. Arab Musta'ribah sering juga disebut Bani Ismail bin Ibrahim ismail (Adnaniyyun).

B.     Sistem Suku/Qabilah

Secara umum, penduduk Arab terbagi menjadi dua kelompok, yaitu ‘Arab atau penduduk kota dan A’rab atau penduduk desa. Kelompok ‘Arab bertempat tinggal di kota yang merupakan pusat peradaban. Mereka memiliki rumah yang berbentuk bangunan permanen. Sebutan mereka adalah Ahl al-Madar atau penduduk kota. Mereka hidup dengan berdagang sehingga lebih maju kehidupannya. Akan tetapi, semangat individualisme mereka lebih kuat daripada komunalisme. Hal ini disebabkan perdagangan telah menimbulkan transformasi pemikiran di kalangan mereka.

Kelompok A’rab hidup dalam tenda-tenda dan disebut dengan Ahl al-Wabar (penduduk desa) atau dikenal dengan suku Badui. Setiap tenda mewakili sebuah keluarga, yang merupakan satu rumah tangga yang terdiri dari seorang ayah, anak laki-lakinya, dan keluarga mereka yang merupakan keturunan langsung. Wilayah yang ditempati tenda-tenda membentuk hayy. Semua anggota hayy membentuk sebuah klan (qawm), di mana hak dan tenggung jawab klan bersifat kolektif berdasarkan solidaritas kelompok atau ashabiyah. Sejumlah klan yang sedarah kemudian bersama-sama membentuk suku (qabilah).

Masyarakat Badui tinggal di padang pasir yang tanpa air dan tumbuh-tumbuhan. Mereka tidak suka bertani, tetapi lebih suka berperang dan membunuh. Sumber perekonomian mereka adalah pedang dan panah. Masyarakat ini mewakili bentuk adaptasi kehidupan manusia terhadap kondisi lingkungannya. Pekerjaan utama mereka adalah pengembala ternak (pastoral). Mereka adalah kelompok suku nomad yang berkelana dari satu wilayah ke wilayah yang lain. Tujuannya adalah mencari daerah-daerah ya)ng berumput dan memiliki sumber air untuk kehidupan mereka dan ternaknya. Meskipun nomad, mereka memiliki tatanan nilai, kebiasaan, dan adat istiadat sendiri. Identitas mereka dapat dilihat dari caranya berpakaian bawah yang panjang (tsaub) dan ikat pinggang. Pakaian atasnya longgar (aba) dan menggunakan penutup kepala berupa syal (kufiyya) yang diikat dengan tali (‘iqal).[2]

Bangsa Arab tidak memiliki sistem pemerintahan seperti yang kita kenal dewasa ini. Mereka tidak memiliki tempat peradilan dalam memperoleh kepastian hukum tentang suatu kasus atau tempat memvonis suatu tindakan pelanggaran. Dalam tataran masyarakat jahiliyah orang yang teraniaya, akan mengambil tindakan pembalasan kepada yang telah berbuat aniaya kepadanya dan kabilahnya, apabila tindakan aniaya itu dianggap sangat membahayakan. Namun, pihak teraniaya tidak berhak menuntut balas apabila yang berbuat aniaya telah membayar ganti rugi dengan materi sesuai dengan kesepakatan kedua belah pihak (diyat).[3]

Organisasi dan identitas sosial berakar pada keanggotaan dalam suatu rentang komunitas yang luas. Kelompok beberapa keluarga membentuk kabilah. Beberapa kelompok kabilah membentuk suku yang dipimpin oleh seorang syaikh. Mereka sangat menekankan hubungan kesukuan, sehingga kesetiaan atau solidaritas kelompok menjadi sumber kekuatan bagi suatu kabilah maupun suku. Selain itu, mereka juga suka berperang, sehingga tak heran jika peperangan antar suku sering sering sekali terjadi.[4] Hal ini menjadikan nilai wanita menjadi sangat rendah, dimana pihak yang menang dalam peperangan antar kabilah bisa menawan para wanita pihak yang kalah. Di antara kebiasaan yang sudah dikenal pada masa jahiliyah poligami tanpa ada batasan maksimal, pernikahan secara spontan kaum pria boleh menikahi dua wanita bersaudara sekalipun, mereka juga menikahi mantan istri dari ayah mereka. Hal ini disebutkan dalam QS. An-Nisaa’:22-23.

وَلَا تَنكِحُوا۟ مَا نَكَحَ ءَابَآؤُكُم مِّنَ ٱلنِّسَآءِ إِلَّا مَا قَدْ سَلَفَ ۚ إِنَّهُۥ كَانَ فَٰحِشَةًۭ وَمَقْتًۭا وَسَآءَ سَبِيلًا ۝ حُرِّمَتْ

عَلَيْكُمْ أُمَّهَٰتُكُمْ وَبَنَاتُكُمْ وَأَخَوَٰتُكُمْ وَعَمَّٰتُكُمْ وَخَٰلَٰتُكُمْ وَبَنَاتُ ٱلْأَخِ وَبَنَاتُ ٱلْأُخْتِ وَأُمَّهَٰتُكُمُ ٱلَّٰتِىٓ أَرْضَعْنَكُمْ

 وَأَخَوَٰتُكُم مِّنَ ٱلرَّضَٰعَةِ وَأُمَّهَٰتُ نِسَآئِكُمْ وَرَبَٰٓئِبُكُمُ ٱلَّٰتِى فِى حُجُورِكُم مِّن نِّسَآئِكُمُ ٱلَّٰتِى دَخَلْتُم بِهِنَّ فَإِن لَّمْ

تَكُونُوا۟ دَخَلْتُم بِهِنَّ فَلَا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ وَحَلَٰٓئِلُ أَبْنَآئِكُمُ ٱلَّذِينَ مِنْ أَصْلَٰبِكُمْ وَأَن تَجْمَعُوا۟ بَيْنَ ٱلْأُخْتَيْنِ إِلَّا مَا قَدْ سَلَفَ ۗ إِنَّ ٱللَّهَ كَانَ غَفُورًۭا رَّحِيمًۭا۝

“Dan janganlah kamu kawini wanita-wanita yang telah dikawini oleh ayahmu, terkecuali pada masa yang telah lampau. Sesungguhnya perbuatan itu amat keji dan dibenci Allah dan seburuk-buruk jalan (yang ditempuh) (22) Diharamkan atas kamu (mengawini) ibu-ibumu; anak-anakmu yang perempuan; saudara-saudaramu yang perempuan, saudara-saudara bapakmu yang perempuan; saudara-saudara ibumu yang perempuan; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang laki-laki; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang perempuan; ibu-ibumu yang menyusui kamu; saudara perempuan sepersusuan; ibu-ibu isterimu (mertua); anak-anak isterimu yang dalam pemeliharaanmu dari isteri yang telah kamu campuri, tetapi jika kamu belum campur dengan isterimu itu (dan sudah kamu ceraikan), maka tidak berdosa kamu mengawininya; (dan diharamkan bagimu) isteri-isteri anak kandungmu (menantu); dan menghimpunkan (dalam perkawinan) dua perempuan yang bersaudara, kecuali yang telah terjadi pada masa lampau; sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang (23)”

Pada sisi yang lain, meskipun masyarakat Badui mempunyai pemimpin, namun mereka hanya tunduk kepada syikh atau amir (ketua kabilah) itu dalam hal yang berkaitan dengan peperangan, pembagian harta rampasan dan pertempuran tertentu. Di luar itu, syaikh atau amir tidak bisa mengatur anggota kabilahnya.[5]

Lebih jauh dari itu bahwa dalam masyarakat Arab jahiliyah tidak ada sistem yang mengatur pemindahan kekuasaan dan kepemimpinan., yang ada hanya berdasarkan tradisi bahwa yang paling tua usianya, yang terkaya, yang paling banyak anggota keluarganya, dan yang paling layak mendapat kehormatan dari kepribadiannya dalam kabilah itulah yang terpilih. Orang-orang Arab yang merdeka saat berperang, mereka bersatu padu terpimpin dan berada di bawah komando seorang amir. Namun dalam keadaan damai, keluargalah satu-satunya yang nampak tersusun dalam kehidupan mereka.[6]

C.    Stratifikasi Masyarakat Arab Pra-Islam

Dalam masyarakat metropolis seperti Makkah, lalu lintas perdagangan bertemu di wilayah ini, sehingga tranformasi sosial masyarakat terjadi lebih intens. Namun, Makkah tidak memiliki struktur pemerintahan yang mengendalikan masyarakat. Otoritas masyarakat dipegang oleh Mala, semacam dewan klan atau senat yang anggotanya terdiri dari wakil-wakil suku. Lembaga ini lebih menyerupai lembaga musyawarah dan tidak memiliki hak eksekutif. Otoritasnya hanya seputar masalah moralitas tanpa disertai kewenangan bertindak. Disamping itu, terdapat institusi lokal yang memiliki fungsi tertentu.

 Di Mekkah terjadilah pertemuan berbagai elemen masyarakat dari berbagai daerah, sehingga pertukaran budaya menjadi tak terelakkan. Konsep kesukuan mulai memudar dan terjadi proses individualisasi. Kesetian suku diperlukan sebatas untuk mengganti ketiadaan otoritas hukum yang mengatur kehidupan.

Di sisi lain, masyarakat terancam oleh kompetesi ekonomi, konflik sosial, dan kehancuran moral. Perbedaan tingkat kekayaan antar individu dan kelompok melahirkan stratifikasi sosial di kota Mekkah. Antara lain:

·         Warga yang mengambang dalam arti tidak bernaung di bawah suku mana pun

·         Warga individual yang terusir dari kesukuan (al-khula’a)

·         Sejumlah pengungsi, budak, dan pedagang asing.

Selain orang-orang Arab asli, dikenal juga kelompok mawali yang merupakan orang-orang non-Arab yang terdiri dari:

·         Orang yang menggantungkan diri pada suatu kaum, tetapi bukan berasal dari golongannya.

·         Orang Arab tapi keturunan dari suku lain. Mereka meninggalkan sukunya sendiri dan bergabung dengan suku yang lainnya.

·         Tawanan perang yang sudah dibebaskan oleh tuan-tuannya.

·         Orang-orang non-Arab (al-A’ajim) yang memiliki kepandaian dan keahlian

Lain halnya dengan di Madinah, banyaknya oasis di wilayah ini yang menyebabkan tanah subur dan cocok untuk pertanian dan perkebunan. Tetapi, sistem di wilayah ini tetap tunduk pada sifat kesukuan, dimana tanah dimiliki secara bersama. Berbeda dengan Makkah yang memiliki lembaga Mala, masyarakat Madinah malah tidak memiliki lembaga pemerintahan. Masing-masing suku mempunyai aturan sendiri yang dipegangi untuk anggotanya. Hal ini sangat sering menimbulkan permusuhan antarsuku, karena ketiadaan lembaga mediator. Masyarakat Madinah merupakan masyarakat yang heterogen. Terdapat sebelas klan dan delapan di antaranya adalah bergama Yahudi. Penduduknya terdiri dari tiga komunitas besar, yaitu kelompok Yahudi, Arab pagan, dan penganut Kristen. Merekalah yang memiliki lahan pertanian dan perkebunan serta menguasai perdagangan.[7]

D.    Faktor Pemersatu dan Faktor Penyebab Konflik Masyarakat Arab Pra Islam

Organisasi kesukuan yang ada hanya berlaku untuk satu suku saja, karena mereka alergi terhadap institusi yang berskala luas. Organisasi suku memiliki kedudukan yang vital dalam struktur masyarakat Arab. Seseorang akan diakui hak-haknya kalau dia bergabung atau menjadi anggota salah satu suku.

Rasa aman seseorang terletak pada persekutuan suku, tanpa suku berarti tanpa perlindungan. Persekutuan ini didasarkan atas hubungan darah, baik dari garis keturunan ibu atau bapak. Inilah yang dinamakan solidaritas suku dan merupakan solidaritas sosial yang paling esensial.

Pada zaman jahiliyah, perang antar kabilah arab sering terjadi. Hal ini dikarenakan adanya perebutan kepemimpinan dan perebutan sumber mata air dan padang rumput. Sehingga terjadilah perang yang berkepanjangan yang disebut Ayyamul Arab.[8]

Disamping solidaritas suku, terdapat pula solidaritas artifisial yang disebut hilf atau tahalluf. Solidaritas ini berbentuk konfederasi suku-suku yang berada dalam satu wilayah. Mereka bersekutu dan mengikatkan diri dengan sumpah. Alasan terbentuknya hal itu adalah untuk menghadapi adanya persaingan dan pertentangan antarsuku di Arab. Dengan harapan, agar asal-usul mereka terpelihara sebagai sandaran dan tempat meminta bantuan atau kerja sama dalam melakukan penyerangan kepada para musuh ataupun pada saat perebutan kepemimpinan.[9] Misal, Kabilah suku-suku Quraisy pernah melakukan perjanjian hilf dengan kabilah-kabilah lain. Mereka berkumpul dirumah Abdullah Ibn Jud’an Ibn ‘Amr Ibn Ka’b Ibn Sa’d Ibn Taimi Ibn Murrah Ibn Ka’b Ibn Luay.



[1][1] Hasan Ibrahim Hasan, Sejarah dan Kebudayaan Islam I, (Jakarta: Kalam Mulia, 2009), hlm. 13-17.
[2] Ali Sodiqin, Antropologi al-Quran; Model Dialektika Wahyu dan Budaya, (Jogjakarta: Ar-Ruzz Media,2008), hlm. 42.
[3] Hasan Ibrahim Hasan, Sejarah dan Kebudayaan Islam I, (Jakarta: Kalam Mulia, 2009), hlm. 88-89.
[4] Ali Sodiqin, Antropologi al-Quran; Model Dialektika Wahyu dan Budaya, (Jogjakarta: Ar-Ruzz Media,2008), hlm. 43.
[5] Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, (Jakarta: Raja Grafindo Press, 2007), hlm. 11.
[6] Hasan Ibrahim Hasan, Sejarah dan Kebudayaan Islam I, (Jakarta: Kalam Mulia, 2009), hlm. 90.
[7] Ali Sodiqin, Antropologi al-Quran; Model Dialektika Wahyu dan Budaya, (Jogjakarta: Ar-Ruzz Media,2008), hlm. 46.
[8] Hasan Ibrahim Hasan, Sejarah dan Kebudayaan Islam I, (Jakarta: Kalam Mulia, 2009), hlm. 91.
[9] Hasan Ibrahim Hasan, Sejarah dan Kebudayaan Islam I, (Jakarta: Kalam Mulia, 2009), hlm. 119-120.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar