PENDAHULUAN
Sebelum Islam datang, Nusantara telah
memiliki peradaban sendiri yang berasal dari pengaruh kebudayaan peradaban
Hindu-Budha yang berasal dari India, walaupun penyebarannya tidak merata di
Nusantara. Pulau Jawa merupakan pulau yang memiliki kebudayaan peradaban
Hindu-Budha paling kuat, sedangkan Sumatra hanya memiliki sedikit kebudayaan
peradaban yang dipengaruhi oleh Hindu-Budha, bahkan di berbagai pulau sama sekali
belum terpengaruh oleh kebudayaan Hindu-Budha.[1]
Menurut Najib al-Athas, Islam memiliki
pengaruh yang sangat besar dalam mengubah kehidupan sosial budaya serta tradisi
kerohanian penduduk Melayu-Indonesia. Hal ini menjadikan sebuah pemikiran baru
bagi wilayah Asia Tenggara, terutama Indonesia karena sangat mendukung
intelektualisme yang tidak terdapat pada ajaran kebudayaan Hindu-Budha.[2]
Untuk menyiarkan suatu ajaran baru di
suatu wilayah, harus terlebih dahulu mempelajari kondisi geografis serta sosial
budaya di wilayah tersebut. Sehingga mampu melahirkan suatu akulturasi budaya,
yakni dengan tetap menggunakan budaya setempat, namun dengan dialiri
ajaran-ajaran Islam di dalamnya. Dengan cara perlahan serta bertahap tanpa
menentang kebudayaan yang telah ada, Islam memperkenalkan persamaan derajat dan
sikap menghargai terhadap sesama. Seperti yang kita ketahui, bahwa dalam
kepercayaan Hindu sangat menekankan perbedaan derajat. Begitu pula peran para
kaum pedagang yang memiliki sikap orientasi kosmopolitan, yang kemudian menjadi
dorongan bagi mereka untuk menggulingkan kekuasaan politik yang dipimpin oleh
para penguasa non-muslim.[3]
Oleh karena itu, Islam yang dibawa oleh
para pedagang maupun para ulama serta da’i dapat dengan mudah diterima oleh
penduduk Nusantara, karena gaya hidup serta perantara yang digunakan oleh
mereka dalam menyiarkan ajaran agama Islam lebih maju daripada peradaban yang
telah dianut oleh penduduk Nusantara pada saat itu.[4] Sejalan dengan sifat khas yang dimiliki
Islam yakni sifat yang pluralistis sehingga mampu memberikan pemahaman bagi
penduduk Nusantara.[5]
PEMBAHASAN
Perantara yang digunakan dalam Penyebaran Islam di
Nusantara
Sebelum agama Islam datang, penduduk
Nusantara telah memiliki kepercayaan dan kebudayaan tersendiri. Sehingga, dalam
melakukan penyebaran Islam yang merupakan suatu ajaran baru bagi penduduk
Nusantara tentu saja tidak menggunakan satu Perantara saja, melainkan dengan
berbagai Perantara diantaranya:
1) Melalui Perantara Perdagangan
Kaum
pedagang di dalam sejarah tercatat sebagai pemegang peranan penting dalam
proses menyebarkan ajaran dan kebudayaan Islam di Nusantara. Terbukti dengan
ramainya jalur lalu lintas perdagangan pada abad ke-7 hingga ke-16 Masehi. Hal
ini dikarenakan letak wilayah Nusantara yang strategis, sehingga mereka datang
dan menempati di wilayah pesisir Nusantara sebagai tempat untuk berdagang serta
ikut andil dalam menyebarkan agama Islam.[6] Selain itu, menggunakan jalur
perdagangan laut juga menjadikan banyaknya jalur perdagangan yang terjadi di
Nusantara yakni antara Jazirah Arab, India, dan Asia Tenggara, sehingga
menimbulkan banyaknya teori tentang dari mana asal masuknya Islam di Nusantara.[7]
Pelabuhan
di sekitar Malaka seperti Perlak dan Samudra Pasai juga didatangi oleh para
pedagang dan dijadikan sebagai tempat bermukim dalam jangka waktu yang cukup
lama sembari menunggu datangnya angin musim yang akan membawa mereka pulang.
Pada saat itulah, mereka saling memperkenalkan adat-istiadat, budaya, serta
agama sehingga terjadilah akulturasi budaya di kalangan para pedagang dan
penduduk Nusantara.[8] Dengan demikian, penduduk Nusantara
akhirnya mengalami perubahan dari pengaruh Hindu-Budha ke pengaruh Islam.[9] Akhirnya, banyak penduduk Nusantara yang
menganut agama Islam, dan tempat tinggal para pedagang Muslim dari berbagai
negeri berkembang menjadi perkampungan-perkampungan yang disebut dengan
Pekojan.[10]
Selain
mengajarkan kepercayaan yang benar, Islam juga mengatur tentang sikap dan
perlakuan akhlak yang baik dalam berbagai aspek kehidupan. Beberapa penyebab
perubahan penduduk Nusantara yang terjadi pada masa perdagangan dapat diuraikan
sebagai berikut:
- Sistem
kepercayaan penduduk Nusantara sebelumnya menjadikan nenek moyang sebagai
sesembahan, dengan aturan mereka tidak boleh jauh dari tempat tinggalnya.
Apabila mereka meninggalkan tempat tinggalnya, mereka tidak akan mendapatkan
perlindungan dari para arwah leluhur yang mereka sembah. Sementara untuk mereka
yang harus meninggalkan tempat tinggal dengan alasan tertentu merasa kesulitan
dalam mendapatkan perlindungan, sehingga mereka membutuhkan suatu kepercayaan
yang mampu memberikan perlindungan kapan pun dan di manapun mereka berada.
Hadirnya Islam merupakan jawaban atas kegelisahan mereka.[11]
- Para
pendatang muslim yang bertemu dan berbaur dengan penduduk Nusantara di
pelabuhan merupakan para pedagang kaya. Sehingga mereka menganggap bahwa mereka
dapat menjadi orang yang kaya karena mereka adalah pedagang, selain
itu mereka juga dapat mampu ikut andil dalam bidang politik lokal serta
diplomatik.[12]
- Para
pejuang Muslim dipandang sebagai kesatuan militer yang kuat dan tangguh saat
berperang. Seperti contoh pada saat mereka tidak dapat ditaklukkan dengan
kekuatan magis yang dilakukan oleh Kerajaan Majapahit. Sehingga, penduduk
Nusantara meyakini bahwa mereka memiliki kekuatan supranatural yang menjadikan
mereka kuat dan tangguh dalam peperangan.
- Islam
memperkenalkan tulisan arab sebagai usaha dalam menambahkan kemampuan membaca
para penduduk setempat, karena pada saat itu Islam mengajarkan tulisan arab ke
sebagian besar wilayah Asia Tenggara yang belum mengenal tulisan, walaupun di
beberapa wilayah ada yang sudah mengenal huruf Sanskrit. Dengan demikian,
kualitas kesucian pada Al-Quran yang berisi tentang keilahian pun bertambah,
karena ditulis dengan bahasa yang tidak dikuasai penduduk setempat.
- Bagi
penganut baru, menghafal merupakan sesuatu yang penting, terutama dalam urusan
ibadah shalat. Sehingga, para penyebar Islam membuat teks-teks ajaran keilmuan
yang dapat dengan mudah dihafal dan dipahami oleh para penganut baru.
- Penduduk
Nusantara meyakini bahwa para tokoh Islam mampu menyembuhkan penyakit. Seperti
contoh seorang syaikh yang mampu menyembuhkan penyakit yang diderita oleh Raja
Patani, dan oleh karena itu pula ia akhirnya memeluk agama Islam.
- Kepercayaan
yang penduduk Nusantara anut sebelum masuknya Islam, mengajarkan bahwa
kehidupan akhirat merupakan kehidupan yang penuh dengan kemungkinan menakutkan.
Namun sebaliknya, Islam menyiarkan jaminan surga yang menyenangkan dengan
mengajarkan nilai-nilai moral, seperti balasan bagi orang yang taat kepada
Allah walaupun di dunianya menjadi orang sengsara serba kekurangan.[13]
Selain
itu, proses penyebaran Islam menggunakan Perantara perdagangan ini juga menjadi
lebih cepat karena adanya krisis politik tentang perebutan kekuasaan yang
terjadi saat itu. Dimana para pemilik modal dan kapal-kapal dagang merupakan
para penguasa daerah yang telah beragama Islam, berusaha melepaskan diri dari
kekuasaan kerajaan yang sedang dilanda kericuhan.[14]
2) Melalui Perantara Perkawinan
Setelah
para pedagang sekaligus penyiar agama menetap di perkampungan-perkampungan yang
mereka buat (Pekojan), dan karena saat berlayar ke Nusantara kebanyakan dari
mereka tidak membawa keluarga ataupun istri, maka mereka memilih untuk menikahi
wanita penduduk lokal yang kebanyakan berasal dari keturunan bangsawan.
Sehingga, terjadilah hubungan yang saling menguntungkan di antara mereka.
Dengan harta yang dimiliki oleh sang saudagar menjadikan status ekonomi kaum
bangsawan meningkat, begitu pula status sosial sang saudagar yang ikut meningkat
karena telah menjadi sebagai keluarga bangsawan.[15]
Akhirnya,
banyak para bangsawan yang menjodohkan putri-putrinya dengan para saudagar
sekaligus dai tersebut. Perkawinan pun dilakukan dengan cara mengislamkan sang
putri terlebih dahulu.[16] Terlebih lagi jika yang menikah dengan
sang putri ialah seorang saudagar besar, maka keturunannya akan memiliki
kharisma kebangsawanan yang tinggi sehingga mampu menduduki jabatan sebagai
pejabat birokrasi, putra mahkota kerajaan, syahbandar, qadi, dan sebagainya.[17] Selain itu, dari perkawinan ini juga
menghasilkan banyak diantara keturunan mereka yang menjadi ulama dan dai. Namun
apabila tidak menjadi ulama ataupun dai, setidaknya hasil dari perkawinan ini
menambah banyaknya jumlah umat Islam di Nusantara.[18]
3) Melalui Perantara Struktur Sosial Politik
Tingginya
Struktur sosial yang dimiliki para bangsawan menjadikan semakin efektifnya
proses Islamisasi di Nusantara. Setelah para bangsawan memeluk agama Islam,
maka hal ini juga akan berdampak kepada para rakyat yang tentunya ikut memeluk
agama Islam. Istilahnya “kepala dipukul, ekor pun kena” maksudnya ialah dengan Islamnya para pemimpin kerajaan, maka rakyat pun mengikuti keputusannya.[19]
4) Melalui Perantara Seni Budaya
Seperti
yang sudah dijelaskan, bahwa sebelum Islam datang Nusantara telah memiliki
kebudayaan sendiri yang dipengaruhi oleh kebudayaan Hindu-Budha dari India.
Maka tidak heran jika, kebudayaan tersebut tidak akan pernah lepas dan justru
semakin berkembang dengan datangnya Islam sebagai kepercayaan baru. Kemampuan
dalam mengupayakan pelestarian budaya sekaligus dijadikan sebagai Perantara
menyebarkan Islam kepada masyarakat, menghasilkan karya-karya seni yang indah,
antara lain:[20]
a) Seni bangunan
Masjid
Agung Demak merupakan salah satu contoh peninggalan bukti penyebaran Islam di
Nusantara dalam seni bangunan. Pada masjid-masjid kuno, atap yang biasa
digunakan ialah atap yang berbentuk bujur sangkar dan berundak-undak yang
menyerupai stupa atau Pagoda.[21] Hal ini menunjukkan adanya akulturasi
budaya yang masih dilestarikan sebagai kebudayaan dengan kearifan lokal hingga
sekarang.
Di samping
itu, pusat kepemerintahan pada masa periode kerajaan Islam juga memiliki lima
unsur pokok dasar yang dibentuk dalam tata letak bangunan di sekitarnya, antara
lain:
-
Sebuah
lapangan yang luas, yakni alun-alun berada di tengah dari lima
unsur pokok tersebut.
- Pusat
pemerintahan serta pendopo yang berada di sebelah utara dengan
menghadap ke alun-alun.
-
Gedung
penjara di sebelah timur alun-alun.
-
Pasar
di sebelah selatan alun-alun.
- Masjid
yang berada di sebelah barat alun-alun, dan biasanya terdapat makam
di bagian belakangnya.
b) Seni Ukir
Kebiasaan
serta kemampuan masyarakat dalam membuat seni ukir atau pahat berwujud manusia
ataupun binatang, dialihkan menjadi seni ukir atau pahat dalam bentuk gambar
bunga, tulisan tahun peringatan, ataupun kematian dengan menggunakan huruf
Arab, serta kaligrafi yang diambil dari al-Qur’an, Hadis, maupun kalimat bijak
yang lain dengan menggunakan bahan berupa batu bata, marmer ataupun kayu.[22]
c) Seni Sastra Lisan dan Tulisan
Seni
sastra lisan, merupakan hasil karya sastra yang pertama kali muncul di antara
masyarakat seiring dengan tumbuh kembang masyarakat Nusantara. Seni sastra
lisan ini berupa hasil tutur dari pencerita dan diwarisi secara lisan dari
zaman ke zaman, yang juga dijadikan sebagai sarana dakwah.[23] Hingga sekarang, seni sastra lisan
masih tetap berkembang sebagai sarana Islamisasi di beberapa wilayah Nusantara.
Di Jawa dapat kita jumpai sebagai macapat, yakni seni membaca puisi
ataupun cerita Jawa yang berisikan tentang ajaran Islam, dan shalawat serta
kisah para Nabi, sahabat, maupun orang-orang suci yang setiap katanya terdiri
dari empat suku kata.[24]
Seiring
berjalannya waktu, hasil dari seni sastra lisan yang disusun ke dalam teks
melahirkan sebuah karya seni sastra berupa tulisan. Karya-karya itu bukan
sekedar hasil terjemahan saja, akan tetapi juga dari hasil karya asli lokal
atau bisa juga dari hasil terjemahan yang diubah dengan aroma khas Nusantara.[25] Hasil dari sastra lisan maupun tulisan
ini, biasanya dijadikan sebagai cerita yang ditampilkan pada pagelaran wayang,
baik wayang kulit maupun wayang orang. Hal ini disebabkan karena wayang telah
menjadi budaya khas yang diminati masyarakat sejak masa peradaban Hindu-Budha.
Sehingga sosok seperti Sunan Kalijaga mampu mengenalkan Islam, serta membuat
masyarakat khususnya di daerah Jawa tertarik untuk memeluk Islam.[26]
Contohnya,
senjata yang dimiliki oleh Puntadewa yakni Jimat Kalimasada, yang
berisi tentang pengakuan kepada Allah dan Nabi Muhammad Saw. Selain itu, jimat ini
juga dimiliki oleh keluarga yang baik, seperti Pandawa yang diartikan sebagai
Rukun Islam yang berjumlah lima. Menurut adat kebiasaan, perayaan Maulid Nabi
yang dilakukan di Serambi Masjid Demak tiap tahunnya diramaikan dengan rebana,
gamelan serta pagelaran wayang kulit. Serambi yang dihiasi dengan berbagai
macam bunga yang indah dijadikan sebagai daya tarik masyarakat, serta bunyi
tabuhan gong yang menggema cukup jauh dijadikan untuk mengumpulkan masyarakat.
Melalui gapura yang dijaga oleh para wali, mereka mengucapkan Syahadat sebagai
tiket masuk yang otomatis menjadikan mereka telah beragama Islam. Kemudian
sebelum masuk ke dalam masjid untuk mendengarkan serta melihat penampilan
wayang, mereka diperintahkan untuk berwudhu terlebih dahulu di sebelah kiri
kolam. Setelah itu, jika sudah masuk waktu sholat, mereka diajak untuk
melakukan sholat yang dipimpin oleh seorang wali.[27]
5) Melalui Perantara Ajaran Tasawuf
Masyarakat
Nusantara memiliki kepercayaan yang sangat kuat terhadap berbagai hal magis,
sehingga penyebaran Islam yang dilakukan dengan menggunakan Perantara tasawuf
dirasa menjadi cukup efektif.[30] Para ahli tasawuf selalu berusaha
menghayati kehidupan masyarakatnya dan hidup bersama di tengah-tengah mereka,
dengan hidup penuh kesederhanaan dan biasanya mampu menyembuhkan berbagai
penyakit. Perantara ini menggunakan ajaran serta pengetahuan kebatinan dengan
menyajikan nilai-nilai budaya dan ajaran agama Hindu yang dianut waktu itu,
yang diubah ke dalam nilai-nilai serta ajaran Islam sehingga mudah dimengerti
dan diterima di Masyarakat.[31]
Di antara
para ahli tasawuf yang memberikan ajaran serta nilai-nilai Islam yang sama
dengan masa sebelum penduduk Nusantara memeluk Islam ialah Hamzah Fansuri
di Aceh[32], Syaikh Lemah Abang, dan Sunan Panggung di
Jawa. Bahkan ajaran tasawuf semacam ini masih berkembang hingga sekarang.[33]
6) Melalui Perantara Pendidikan
Berbeda
dengan Perantara lainnya, Perantara ini bukan lagi sebagai sarana Islamisasi
masyarakat Nusantara. Namun, Perantara ini dijadikan untuk memperluas
penyebaran Islam, setelah agama Islam telah dijadikan sebagai agama Masyarakat
sekitar. Pendidikan Islam yang dijadikan sebagai sarana dakwah untuk memenuhi
keinginan yang beragam dari masyarakat Islam yang baru terbentuk, serta sebagai
pemberi solusi dalam kehidupan beragama.[34]
Pondok
pesantren merupakan lembaga pendidikan serta pembinaan yang didirikan oleh para
kiai dan alim ulama dalam melahirkan para calon kiai serta ulama
lainnya. Disinilah para calon kiai dan ulama, yang biasa disebut santri dididik
serta dibina hingga mampu menguasai bidang keagamaan Islam.[35] Setelah memperoleh keilmuan yang
matang, mereka kembali ke kampung halamannya dan menjadi tokoh agama atau kiai
yang juga mendirikan sebuah pondok pesantren. Semakin terkenal kiai
yang mengajarkan, semakin terkenal pula pesantrennya dan pengaruhnya akan
mencapai radius yang lebih jauh lagi.[36]
Faktor-faktor
yang menyebabkan agama Islam mudah diterima di Nusantara
Jika dilihat dari sejarah masuk dan
berkembangnya Islam di Nusantara sejak abad ke-7, dapat kita ketahui
bahwa Islam sangatlah mudah diterima oleh masyarakat Nusantara. Terbukti dengan
telah menyebarnya Islam pada abad ke-7 hingga ke-13.[37] Menurut A. Jamil terdapat tiga
alasan utama yang menyebabkan Islam mudah diterima oleh masyarakat. Pertama,
lemahnya Kerajaan Majapahit setelah masa Hayam Wuruk yang mengakibatkan agama
Hindu, Budha, serta kepercayaan lama yang lain menjadi goyah. Kedua,
Islam menawarkan persamaan derajat kepada masyarakat Nusantara, kemudian
masyarakat yang semula memiliki derajat rendah menjadi merasa sederajat dengan
orang yang berpangkat sebagai anggota masyarakat Islam. Ketiga,
Kepandaian para penyiar Islam dalam menyiarkan ajaran Islam dengan cara
menyesuaikan diri secara tingkah laku maupun materi ajarannya dengan masyarakat
lokal, menjadikan mudahnya diterima ajaran-ajaran yang diberikan. [38] Selain itu ada juga faktor-faktor lain
yang menyebabkan Islam mudah diterima di Nusantara, antara lain:
1) Syarat yang Sangat Mudah serta Murah
Yakni
hanya dengan mengucapkan dua kalimat syahadat yang merupakan syarat wajib masuk
Islam.
2) Akulturasi Budaya
Akulturasi
Budaya yaitu perpaduan beberapa kebudayaan yang berbeda, sehingga melahirkan
kebudayaan baru tanpa menghilangkan unsur yang penting dari masing-masing
kebudayaan.[39] Dengan kata lain, kebudayaan lama hanya
sekedar tampilannya saja, sedangkan isinya berasal dari ajaran-ajaran Islam.
Hasil dalam hal kesenian yakni seperti Wayang, Hadrah, Qasidah, Kesenian Debus,
Tari Zapin, serta Suluk. Sedangkan dalam hal tradisi terdapat Mauludan, Grebek,
Sekaten, Suranan, Magengan atau Dandangan, Selikuran, dan pesta Tabot.[40]
3) Tidak Mengenal Kasta
Agama
Hindu yang dianut oleh Masyarakat Nusantara sebelum memeluk Islam, memiliki
aturan tentang pembagian kasta yang berlaku pada saat itu. Salah satu dampak
negatifnya ialah larangan mengenai perkawinan antar budaya dan antar kasta.[41] Maknanya, seseorang yang memiliki kasta
rendah, tidak boleh menikah dengan seseorang yang memiliki kasta lebih tinggi.[42]
Setelah
datangnya Islam yang mengajarkan persamaan derajat atau tidak memandang tinggi
rendahnya kasta, maka Masyarakat Nusantara berbondong-bondong memeluk
agama Islam.
4) Cara Beribadah yang Mudah dan Gratis
Shalat
lima waktu, tidaklah sama dengan cara beribadah agama lain yang mensyaratkan
banyak hal, cara beribadah yang Islam gunakan ini dilakukan secara gratis dan
mudah. Sehingga masyarakat Nusantara sangat berantusias dalam menerima Islam
sebagai agama baru yang mereka anut.[43]
5) Para Penyebar Islam yang Dapat Diteladani
Sifat-sifat
yang sangat luhur, sopan, rendah hati, santun, dan sebagainya merupakan
gambaran sosok yang baik serta dapat dijadikan sebagai panutan bagi banyak
orang, dengan begitu masyarakat pun tertarik untuk memeluk Islam.
6) Peran Para Raja
Masuk
Islamnya seorang raja, menjadikan para rakyatnya juga akan memeluk Islam. Maka
dari itu, raja dijadikan sebagai target utama dalam Islamisasi. Ibarat
pepatah “pukul kepala ekor kena”.[44]
7) Disebarkan dengan Cara Damai
Masyarakat
dapat menerima Islam tanpa harus meninggalkan kebudayaan kepercayaan yang dulu
dianutnya, dengan menggunakan Perantara perdagangan, perkawinan, seni budaya,
tasawuf, serta pendidikan dapat terbukti bahwa Islam melakukan penyebaran
ajaran secara damai. Walaupun, Perantara politik juga digunakan untuk menaklukkan
kerajaan-kerajaan non-Islam, namun hal ini mampu memberikan pengaruh yang besar
dalam memperlancar proses Islamisasi.[45]
PENUTUP
Untuk menyiarkan suatu ajaran baru di
suatu wilayah, harus terlebih dahulu mempelajari kondisi geografis serta sosial
budaya di wilayah tersebut. Sehingga mampu melahirkan suatu akulturasi budaya,
yakni dengan tetap menggunakan budaya setempat, namun dengan dialiri
ajaran-ajaran Islam di dalamnya. Dengan cara perlahan serta bertahap tanpa
menentang kebudayaan yang telah ada, Islam memperkenalkan persamaan derajat dan
sikap menghargai terhadap sesama.
Beberapa Perantara yang digunakan dalam
Penyebaran Islam di Nusantara meliputi: Perantara Perdagangan; Perantara
Perkawinan; Perantara Struktur Sosial Politik; Melalui Perantara Seni Budaya;
Melalui Perantara Ajaran Tasawuf; Melalui Perantara Pendidikan
Adapun faktor-faktor yang menyebabkan
agama Islam mudah diterima di Nusantara ialah: Syarat yang Sangat Mudah serta
Murah; Akulturasi Budaya; Tidak Mengenal Kasta; Cara Beribadah yang Mudah dan
Gratis; Para Penyebar Islam yang Dapat Diteladani; Peran Para Raja; Disebarkan
dengan Cara Damai.
[1] Musyrifah Sunanto, Sejarah
Peradaban Islam Indonesia, (Jakarta: Rajawali Pers, 2010), hlm. 3.
[2] Azyumardi Azra, Resnaisans Islam
Asia Tenggara, Sejarah Wacana dan Kekuasaan, (Bandung: PT Remaja Rosda
Karya, 1999), hlm. 6.
[3] Musyrifah Sunanto, Sejarah
Peradaban Islam Indonesia, (Jakarta: Rajawali Pers, 2010), hlm. 22.
[4] Musyrifah Sunanto, Sejarah
Peradaban Islam Indonesia, (Jakarta: Rajawali Pers, 2010), hlm.
4.
[5] Ahmad Sugiri, “Proses Islamsisasi dan
Percaturan Politik Umat Islam di Indonesia”, dalam Al Qalam, Majalah Ilmiah
Bidang Keagamaan dan Kependudukan, No. 59/XI/1996, (Serang: IAIN SGD, 1996),
hlm. 43.
[6] Bahrul Ulum, “Islam Jawa:
Pertautan Islam dengan Budaya Lokal Abad XV”, (Malang: STAI Al-Qolam
Gondanglegi Malang, Juli-Desember 2014), hlm. 33.
[7] Rizem Aizid, Sejarah Islam
Nusantara, (Yogyakarta: DIVA Press, Desember 2014), hlm. 34.
[8] Bahrul Ulum, “Islam Jawa:
Pertautan Islam dengan Budaya Lokal Abad XV”, (Malang: STAI Al-Qolam
Gondanglegi Malang, Juli-Desember 2014), hlm. 33.
[9] Musyrifah Sunanto, Sejarah
Peradaban Islam Indonesia, (Jakarta: Rajawali Pers, 2010), hlm. 4.
[10] Uka Tjandrasasmita (Ed.), Sejarah
Nasional Indonesia III, (Jakarta: PN Balai Pustaka, 1984), hlm. 201.
[11] Azyumardi Azra, Resnaisans
Islam Asia Tenggara, Sejarah Wacana dan Kekuasaan, (Bandung: PT Remaja
Rosda Karya, 1999), hlm. 62.
[12] Azyumardi Azra, Resnaisans
Islam Asia Tenggara, Sejarah Wacana dan Kekuasaan, (Bandung: PT Remaja
Rosda Karya, 1999), hlm. 22.
[13] Azyumardi Azra, Resnaisans
Islam Asia Tenggara, Sejarah Wacana dan Kekuasaan, (Bandung: PT Remaja
Rosda Karya, 1999), hlm. 63-64.
[14] R. Soekmono, Pengantar Sejarah
Kebudayaan Indonesia Jilid III, (Yogyakarta: Yayasan Kanisius,
1973), hlm. 119.
[15] Ahwan Mukarrom, Sejarah
Kebudayaan Islam I, (Surabaya: UIN Sunan Ampel Surabaya, 2014), hlm. 79.
[16] R. Soekmono, Pengantar Sejarah
Kebudayaan Indonesia Jilid III, (Yogyakarta: Yayasan Kanisius,
1973), hlm. 123.
[17] Uka Tjandrasasmita (Ed.), Sejarah
Nasional Indonesia III, (Jakarta: Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan, 1976), hlm. 86.
[18] Rizem Aizid, Sejarah Islam
Nusantara, (Yogyakarta: DIVA Press, Desember 2014), hlm. 35.
[19] Rizem Aizid, Sejarah Islam
Nusantara, (Yogyakarta: DIVA Press, Desember 2014), hlm. 35-36.
[20] Ahwan Mukarrom, Sejarah
Kebudayaan Islam I, (Surabaya: UIN Sunan Ampel Surabaya, 2014), hlm. 80.
[21] R. Soekmono, Pengantar Sejarah
Kebudayaan Indonesia Jilid III, (Yogyakarta: Yayasan Kanisius,
1973), hlm. 74-75.
[22] Ahwan Mukarrom, Sejarah
Kebudayaan Islam I, (Surabaya: UIN Sunan Ampel Surabaya, 2014), hlm. 81-82.
[23] Ismail Hamid, Kesusastraan
Indonesia Lama Bercorak Islam, (Jakarta: Penerbit Pustaka al
Husna, 1989), hlm. 2.
[24] Ahwan Mukarrom, Sejarah
Kebudayaan Islam I, (Surabaya: UIN Sunan Ampel Surabaya, 2014), hlm. 84.
[25] Ahwan Mukarrom, Sejarah Kebudayaan
Islam I, (Surabaya: UIN Sunan Ampel Surabaya, 2014), hlm. 83.
[26] Ahwan Mukarrom, Sejarah
Kebudayaan Islam I, (Surabaya: UIN Sunan Ampel Surabaya, 2014), hlm. 85.
[27] Rizem Aizid, Sejarah Islam
Nusantara, (Yogyakarta: DIVA Press, Desember 2014), hlm. 37-39.
[28] Rizem Aizid, Sejarah Islam Nusantara,
(Yogyakarta: DIVA Press, Desember 2014), hlm. 37.
[29] Ahwan Mukarrom, Sunan Giri :
Tokoh Pluralis abad..., hlm. 94.
[30] Rizem Aizid, Sejarah Islam
Nusantara, (Yogyakarta: DIVA Press, Desember 2014), hlm. 39.
[31] Badri Yatim, Sejarah Peradaban
Islam, (Jakarta: Raja Grafindo Press, 2007), hlm. 202.
[32] Uka Tjandrasasmita (Ed.), Sejarah
Nasional Indonesia III, (Jakarta: PN Balai Pustaka, 1984), hlm. 221.
[33] Uka Tjandrasasmita (Ed.), Sejarah
Nasional Indonesia III, (Jakarta: PN Balai Pustaka, 1984),hlm. 204.
[34] Hasbullah, Sejarah Pendidikan Islam di
Indonesia: Lintasan Sejarah Pertumbuhan dan Perkembangan, (Jakarta:
PT Rajagrafindo Persada, 1996). Hlm. 15.
[35] Rizem Aizid, Sejarah Islam
Nusantara, (Yogyakarta: DIVA Press, Desember 2014), hlm. 36.
[36] Badri Yatim, Sejarah Peradaban
Islam, (Jakarta: Raja Grafindo Press, 2007), hlm. 203.
[37] Rizem Aizid, Sejarah Islam
Nusantara, (Yogyakarta: DIVA Press, Desember 2014), hlm. 259.
[38] A. Jamil dkk., Sejarah
Kebudayaan Islam, (Semarang: Toha Putra, 1999), hlm. 89-90.
[39] Sardiman, Sejarah 2 SMA Kelas
XI Program Ilmu Sosial, (Jakarta: Yudhistira, 2007), hlm. 121.
[40] Rizem Aizid, Sejarah Islam
Nusantara, (Yogyakarta: DIVA Press, Desember 2014), hlm. 261-263.
[41] David W. Shenk, Ilah-Ilah
Global: Peran Agama-Agama dalam Masyarakat Modern, (Terjemah: Agustinus Setiawidi,
Jakarta: Gunung Mulia, 2006), hlm. 94.
[42] Rizem Aizid, Sejarah Islam
Nusantara, (Yogyakarta: DIVA Press, Desember 2014), hlm. 264.
[43] Rizem Aizid, Sejarah Islam
Nusantara, (Yogyakarta: DIVA Press, Desember 2014), hlm. 265.
[44] Rizem Aizid, Sejarah Islam
Nusantara, (Yogyakarta: DIVA Press, Desember 2014), hlm. 266.
[45] Rizem Aizid, Sejarah Islam
Nusantara, (Yogyakarta: DIVA Press, Desember 2014), hlm. 267.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar