Minggu, 26 Mei 2019

ILMU MUHKAM MUTASYABIH
Alma Amelia
Ilmu Al-Quran dan Tafsir IAIN Pekalongan


BAB I

PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang

Allah menyampaikan pesan dalam al-qur`an dengan berbagai cara dan bentuk dalalah baik yang jelas ataupun dengan cara yang samar (mubham). Di antara bentuk keduanya terdapat bentuk muhkam dan mutasyabih. Itu semua merupakan kerunia Allah subhanahu wa ta`ala kepada ummat manusia agar dapat memahami dengan elastis, syamil, dan komprehensif.

Di antara gaya penyampaian al-qur`an terkadang menggunakan lafadz dan uslub yang berbeda-beda tetapi maknanya tetap satu, yaitu sebagian lafadz serupa dengan sebagian yang lain tetapi maknanya serasi dan cocok, tidak ada yang bersifat umum dan samar (mutasyabih) dan dapat memberikan peluang bagi para mujtahid dan cendekiawan untuk dapat mengembalikannya kepada yang tegas maksudnya dan disebut muhkam, mengembalikan yang samar kepada yang jelas maknanya, mengembalikan masalah cabang kepada masalah pokok, yang bersifat parsial kepada yang kulli.

Ayat yang menjadi dasar adanya Muhkam dan Mutasyabih adalah ayat ke-7 dari surat Ali-`Imran :

هُوَ ٱلَّذِىٓ أَنزَلَ عَلَيْكَ ٱلْكِتَٰبَ مِنْهُ ءَايَٰتٌۭ مُّحْكَمَٰتٌ هُنَّ أُمُّ ٱلْكِتَٰبِ وَأُخَرُ مُتَشَٰبِهَٰتٌۭ ۖ فَأَمَّا ٱلَّذِينَ فِى قُلُوبِهِمْ

زَيْغٌۭ فَيَتَّبِعُونَ مَا تَشَٰبَهَ مِنْهُ ٱبْتِغَآءَ ٱلْفِتْنَةِ وَٱبْتِغَآءَ تَأْوِيلِهِۦ ۗ وَمَا يَعْلَمُ تَأْوِيلَهُۥٓ إِلَّا ٱللَّهُ ۗ وَٱلرَّٰسِخُونَ فِى

ٱلْعِلْمِ يَقُولُونَ ءَامَنَّا بِهِۦ كُلٌّۭ مِّنْ عِندِ رَبِّنَا ۗ وَمَا يَذَّكَّرُ إِلَّآ أُو۟لُوا۟ ٱلْأَلْبَٰبِ ۝

“Dia-lah yang menurunkan al-Kitab (al-qur`an) kepada kamu. Di antara (isi) nya ada ayat-ayat yang muhkamat, itulah pokok-pokok isi al-qur`an dan yang lain (ayat-ayat) mutasyabihaat. Adapun orang-orang yang hatinya condong kepada kesesatan, maka mereka mengikuti sebagian ayat-ayat yang mutasyabihat daripadanya untuk menimbulkan fitnah untuk mencari-cari ta`wilnya, padahal tidak ada yang mengetahuinya melainkan Allah, dan orang-orang yang mendalam ilmunya berkata : “kami beriman kepada ayat-ayat yang mutasyabihaat, semuanya itu dari sisi Tuhan kami.” Dan tidak mengambil pelajaran (daripadanya) melainkan orang-orang yang berakal.”

B.     Rumusan Masalah

1.      Jelaskan yang dimaksud Muhkam dan Mutasyabih!

2.      Apa saja Jenis-jenis Muhkam dan Mutasyabih?

3.      Apa saja Sebab-sebab terjadinya Tasyabuh dalam al-Qur`an?

4.      Bagaimana Pandangan dan Sikap Ulama` dalam menghadapi Ayat Mutasyabih?

5.      Apa saja Hikmah Ilmu Muhkam dan Mutasyabih?
  
C.    Tujuan
Untuk mengetahui makna dari Muhkam dan Mutasyabih, Jenis-jenis Muhkam dan Mutasyabih, sebab-sebab terjadinya tasyabuh dalam al-Qur`an, pandangan dan sikap ulama` dalam menghadapi ayat Mutasyabih, serta hikmah adanya ayat-ayat Muhkam dan Mutasyabih.



BAB II

PEMBAHASAN

A.    Pengertian Muhkam dan Mutasyabih

Kata “muhkam” dan “mutasyabih” adalah bentuk mudzakar, digunakan untuk mensifati kata-kata yang mudzakkar, seperti ungkapan al-qur`an yang muhkam atau yang mutasyabih. Sedangkan kata “muhkamat” atau “mutasyabihat” adalah bentuk muannats untuk mensifati kata yang juga muannats, seperti surah dan ayat muhkamat atau mutasyabihat. Al-qur`an menampilkan kata “muhkam” yang terkait dengannya sebanyak tiga kali dalam bentuknya yang berbeda-beda, yaitu “muhkamat (QS. Ali-`imran[3]:7), uhkimat (QS. Hud[11]: 1), dan muhakkamah (QS. Muhammad [47]: 20). Sementara kata “mutasyabih” dalam berbagai ragam dan bentuknya dikemukakan sebanyak dua belas kali yang terpencar dalam beberapa surah dan ayat di dalam Al-Qur`an. Kedua kata tersebut memiliki beragam arti baik menurut etimologi maupun terminologi.[1]

Muhkam secara etimologis adalah sesuatu yang tidak ada perselisihan dan kekacauan di dalamnya, dan ada yang mengatakan bahwa Muhkam ialah sesuatu yang belum menjadi mutasyabih karena keterangannya sudah tegas dan tidak membutuhkan kepada yang lain. Muhkam merupakan derivasi dari kata ahkama yaitu atqana. Ahkama al-kalam berarti mengokohkan perkataan dengan memisahkan berita yang benar dari yang salah.[2] Dengan demikian Muhkam dapat berarti sesuatu yang dikukuhkan, jelas, fasih, dan bermaksud membedakan antara informasi yang hak dan yang bathil, serta memisahkan urusan yang lurus dari yang sesat.[3] Al-qur`an seluruhnya muhkamah, jika yang dimaksud dengan kemuhkamahannya ialah susunan lafadz al-qur`an dan keindahan nazhamnya, sungguh sangat sempurna, tidak ada sedikitpun terdapat kelemahan padanya, baik dari segi lafadz maupun maknanya.[4] Sebagaimana dijelaskan dalam firman Allah yakni:

الٓر ۚ كِتَٰبٌ أُحْكِمَتْ ءَايَٰتُهُۥ ثُمَّ فُصِّلَتْ مِن لَّدُنْ حَكِيمٍ خَبِير ۝

“Alif laam raa, (inilah) suatu kitab yang ayat-ayatnya disusun dengan rapi serta dijelaskan secara terperinci, yang diturunkan dari sisi (Allah) yang Maha Bijaksana lagi Maha Tahu.” (QS. Hud [11] : 1).

Adapun mutasyabih secara etimologis berarti tasyabuh, yakni apabila salah satu dari dua hal serupa dengan yang lain. Syuhbah ialah keadaan dimana salah satu dari dua hal itu tidak dapat dibedakan dari yang lain karena kemiripan di antara keduanya. Mutasyabih secara bahasa berarti sesuatu yang menyerupai dari segala segi antara satu dengan yang lain.[5] Mutasyabih juga terkadang dipadankan dengan mutamatsil dalam perkataan dan keindahan. Dengan ungkapan tasyabuh al-kalam dapat diartikan “kesamaan dan kesesuaian dalam perkataan, karena sebagiannya membenarkan sebagian yang lain dalam kesempurnaannya dan sesuai pula dengan makna yang dimaksudkannya.[6] Dapat dikatakan bahwa seluruh Al-Qur`an adalah mutasyabihah, bahwa masing-masing kemutamatsilan (keserupaan atau sebanding) ayat-ayatnya, baik dalam bidang balaghah maupun dalam bidang i`jaz dan kesulitan kita memperlihatkan kelebihan sebagian sukunya atau yang lain.[7] Dengan pengertian inilah yang dapat kita ambil berdasarkan firman Allah:

ٱللَّهُ نَزَّلَ أَحْسَنَ ٱلْحَدِيثِ كِتَٰبًۭا مُّتَشَٰبِهًۭا مَّثَانِىَ تَقْشَعِرُّ مِنْهُ جُلُودُ ٱلَّذِينَ يَخْشَوْنَ رَبَّهُمْ ثُمَّ تَلِينُ جُلُودُهُمْ

وَقُلُوبُهُمْ إِلَىٰ ذِكْرِ ٱللَّهِ ۚ ذَٰلِكَ هُدَى ٱللَّهِ يَهْدِى بِهِۦ مَن يَشَآءُ ۚ وَمَن يُضْلِلِ ٱللَّهُ فَمَا لَهُۥ مِنْ هَادٍ ۝

“Allah telah menurunkan perkataan yang paling baik (yaitu) al-Qur`an yang serupa (mutu ayat-ayatnya) lagi berulang-ulang, gemetar karenanya kulit orang-orang yang takut kepada Tuhannya, kemudian menjadi tenang kulit dan hati mereka di waktu mengingat Allah. Itulah petunjuk Allah, dengan Kitab itu dia menunjuki siapa yang dikehendaki-Nya, dan barangsiapa yang disesatkan Allah, niscaya tak ada baginya seorang pemimpinpun.” (QS. Az-Zumar [39] : 23)

Secara epistemologi, para ulama berbeda pendapat dalam istilah muhkam dan mutasyabih. Muhkam yaitu lafadz yang artinya menunjukkan dalalah yang jelas dan pasti yang tidak memungkinkan untuk menta`wilkannya, ditakhsisikan, ataupun dinasakh.

Pendapat lain sebagaimana dikutip oleh al-Suyuthi bahwa:

1.    Muhkam adalah yang dapat diketahui maksudnya dengan nyata dan jelas maupun dengan cara ta`wil. Sedangkan mutasyabih adalah sesuatu yang hanya diketahui oleh Allah seperti kedatangan hari kiamat dan maksud dari huruf-huruf terpisah yang terdapat pada beberapa awal surah.

2.    Muhkam adalah yang tidak dapat dita`wilkan kecuali hanya dengan satu penta`wilan saja, sedangkan mutasyabih adalah yang mungkin dapat dita`wilkan dengan banyak penta`wilan.

3.    Muhkam adalah ayat yang menerangkan tentang faraidl, ancaman, dan harapan. Sedangkan mutasyabih adalah tentag ayat-ayat yang berhubungan dengan kisah-kisah dan amstal.

4.    Muhkam adalah lafadz yang tidak diulang-ulang. Sedangkan mutasyabih adalah sebaliknya.

5.    Muhkamat adalah ayat-ayat yang tidak dinasakh, maka mutasyabihat adalah ayat-ayat atau ajaran-ajaran yang telah dinasakh.

6.    Muhkam adalah ayat-ayat yang berkenaan dengan halal dan haram, sedangkan mutasyabih adalah ayat-ayat  selain yang berkenaan dengan halal dan haram.[8]

Dari berbagai macam pendapat diatas, dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan muhkam adalah kekokohan lafadz ayat dan kemantapannya serta tidak akan terjadi perselisihan dan kekurangan dalam al-qur`an. Sedangkan yang dimaksud dengan mutasyabih adalah penyerupaan antara bagian yang satu dari al-qur`an dengan bagian yang lain dalam hal kebenaran, ketepatan, dan i`jaznya. Lebih jelasnya mutasyabih adalah sesuatu yang telah diketahui artinya namun  mustahil untuk dikatakan sebagaimana yang dimaklumi, seperti ayat-ayat yang berhubungan dengan sifat-sifat Allah subhanahu wa ta`aala.[9]

B.     Jenis-jenis Muhkam dan Mutasyabih

Muhkam dan Mutasyabih masing-masing dapat dibagi ke dalam dua kategori, yaitu :

1)      Muhkam

a.    Muhkam li dzatihi, yaitu muhkam yang semata-mata karena arti yang ditunjukinya itu tidak mungkin dapat dimansukhkan. Misalnya adalah keharusan beribadah hanya kepada Allah subhanahu wa ta`ala semata dan berbuat baik kepada kedua orang tua, sebagaimana yang diperintahkan oleh Allah dalam surat al-isra` ayat 23 :

وَقَضَىٰ رَبُّكَ أَلَّا تَعْبُدُوٓا۟ إِلَّآ إِيَّاهُ وَبِٱلْوَٰلِدَيْنِ إِحْسَٰنًا ۚ إِمَّا يَبْلُغَنَّ عِندَكَ ٱلْكِبَرَ أَحَدُهُمَآ أَوْ كِلَاهُمَا فَلَا

تَقُل لَّهُمَآ أُفٍّۢ وَلَا تَنْهَرْهُمَا وَقُل لَّهُمَا قَوْلًۭا كَرِيمًۭا ۝

“Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik kepada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya....”

b.      Muhkam li ghairihi, adalah ayat-ayat yang belum dinasakh pada zaman Rasulullah, sebagaimana dikemukakan oleh al-Baazdawi dalam Kasyf al-Asrar yang dikutip oleh al-`Aks, “ yang tidak dinasakh sehingga terputusnya wahyu dan Nabi telah wafat, maka ini dinamakan muhkam li ghairihi, jenis ini mencakup al-dzahir, al-nash, al-mufassar, dan al-muhkam”, karena masing-masing belum terkena nasakh hingga muhkam yang disebabkan oleh terputusnya kemungkinan adanya nasakh. Artinya dianggap muhkam ini karena suatu lafadz yang menunjukkan atas keabadian berlakunya, sehingga tidak dapat dimansukhkan, atau muhkam karena faktor luar bila tidak dapatnya lafadz itu dinasakh bukan karena nash atau teks nya itu sendiri tetapi karena tidak ada nash yang menasakhnya.

 Contohnya yakni muhkam yang terdapat pada Q.S An-Nur [24]: 4;

وَٱلَّذِينَ يَرْمُونَ ٱلْمُحْصَنَٰتِ ثُمَّ لَمْ يَأْتُوا۟ بِأَرْبَعَةِ شُهَدَآءَ فَٱجْلِدُوهُمْ ثَمَٰنِينَ جَلْدَةًۭ وَلَا تَقْبَلُوا۟ لَهُمْ شَهَٰدَةً أَبَدًۭا ۚ وَأُو۟لَٰٓئِكَ هُمُ ٱلْفَٰسِقُونَ۝      

“Dan orang-orang yang menuduh perempuan-perempuan yang baik (berzina) dan mereka tidak mendatangkan empat orang saksi, maka deralah mereka delapan puluh kali, dan janganlah kamu terima kesaksian mereka untuk selama-lamanya.”

Ayat ini menjelaskan bahwa tidak dapat menerima kesaksian orang yang berbuat jarimah qodzaf untuk selama-lamanya karena pada ayat tersebut disertai lafadz `abadan (selama-lamanya). Ketentuan tentang lafadz muhkam bila menyangkut hukum, yakni wajib. Juga tidak pula dipahami dari lafadz tersebut melalui alternatif lain, serta tidak mungkin pula dinasakh oleh dalil yang lain.

2)      Mutasyabih

a.       Mutasyabih ayat yang terdapat dalam lafadz huruf berupa huruf-huruf pada permulaan beberapa surah dalam Al-Qur`an.

b.      Mutasyabih yang terdapat dalam mafhum ayat seperti yang terdapat pada ayat-ayat yang berbicara tentang sifat-sifat Allah.[10]

C.    Sebab-sebab Terjadinya Tasyabuh dalam Al-Qur’an

Sebagian ulama berpendapat bahwa ayat-ayat mutasyabih tidak dapat diketahui takwilnya oleh siapapun kecuali Allah sendiri. Mereka menyatakan agar orang-orang tidak mencari-cari takwilnya dan menyerahkan persoalan itu kepada Allah Swt. Sedangkan orang yang mendalam ilmunya mereka berkata Kami mengimaninya, semua datang dari Tuhan kami. Sebagian yang lain ada yang beranggapan, bahwa orang-orang yang mendalam ilmunya dapat mengetahui takwil ayat-ayat mutasyabihat. Mereka mengatakan: pengetahuan Allah mengenai takwil ayat-ayat mutasyabihat itu dilimpahkan juga kepada orang-orang atau para ulama yang mendalam ilmunya. Sebab firman Allah yang diturunkan bagi mereka itu adalah pujian, kalau mereka tidak mengetahui maknanya, berarti mereka tidak berbeda dengan orang awam yang juga sama tidak faham betul dengan maknanya.

 Dalam kaitannya dengan pandangan-pandangan yang telah diketahui dan dikemukankan oleh para ulama diatas dapat dikatakan, bahwa diantara sebab sebab terjadinya tasyabuh dalam al qur’an menurut hasil pengamatan dan penelitian para ulama yaitu disebabkan oleh kebersembunyian maksud Allah dari kalam-Nya itu. Selanjutnya dapat dikatakan bahwa ketersembunyian itu dapat saja kembai kepada kesamaran lafal, kesamaran makna, dan kesamaran pada lafal dan makna sekaligus. Untuk lebih jelasnya mengenai hal ini dapat dipelajari sebagai berikut:[11]

1.      Kesamaran pada lafal ayat

Adanya sebagian ayat ayat mutasyabihat didalam al qur’an disebabkan oleh kesamaran pada lafal mufrod maupun murakab (yang tersusun dalam kalimat). Yang dimaksud dengan kesamaran pada lafal mufrad adalah adnya lafal tunggal yang maknanya tidak jelas, baik disebabkan karena gharib (asing) atau musytarak ( bermakna ganda).

2.      Kesamaran pada makna ayat

Kesamaran atau ketersembunyian yang terjadi pada makna ayat, umumnya adalah berupa ayat ayat mutasyabihat yang berhubungan dengan sifat-sifat Allah.

3.      Kesamaran pada lafal dan makna ayat sekaligus

Kesulitan memahami ayat-ayat mutasyabihat karena kesamaran atua ketersembunyian maksud, dan juga dapat terjadi lafal dan makna secara sekaligus, namun meski demikian kesulitan tersebut akan dapat teratasi apabila seseorang memiliki ‘’sarana’’ yang memadai untuk menyingkap maknanya yang tersirat dibali lafal dan maknanya yang tersurat itu, sebagai contoh dapat dijumpai dalam firman Allah yaitu al qur’an surat Al Baqarah : ayat 189:

 وَلَيْسَ ٱلْبِرُّ بِأَن تَأْتُوا۟ ٱلْبُيُوتَ مِن ظُهُورِهَا وَلَٰكِنَّ ٱلْبِرَّ مَنِ ٱتَّقَىٰ ۗ وَأْتُوا۟ ٱلْبُيُوتَ مِنْ أَبْوَٰبِهَا ۚ وَٱتَّقُوا۟ ٱللَّهَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ۝

‘’Dan bukanlah kebaktian memasuki rumah-rumah dari belakangnya, akan tetapi kebaktian itu adalah kebaktian orang yang bertakwa, dan masuklah kerumah rumah itu dari pintu pintunya dan bertakwalah kepada allah agar kamu beruntung’’.

 Dalam hubungannya kesamaran pada ayat-ayat tersebut, terdapat lima aspek yang terkait dengan hal itu, yaitu:

a.    Aspek kuantitas, baik yang berkaitan dengan masalah masalah yang umum maupun yang khusus.

b.    Aspek cara (Al Kaifiyah) yang termasuk dalam kategori ini adalah mengenai cara melaksanakan kewajiban yang diperintahkan oleh agama atau kelaksanakan kesunahan.

c.    Aspek waktu, dalam hal ini kesamaran atau ketersembunyian terletak pada keumuman dari petunjuk yang dibawakan oleh ayat al Qur’an itu sendiri.

d.   Aspek tempat hal ini terkait erat dengan ketersembunyian atau kesamaran lafal dan makna yang terdapat pada ayat-ayat mutasyabihat.

e.    Aspek syarat adalah syarat dalam melaksanakan suatu kewajiban, baik mengenai ibadah maupun mu’amalah tidak dirinci dalam ayat ayat tersebut.[12]

D.    Pandangan dan Sikap Ulama’ Dalam Menghadapi Ayat Mutasyabihat

Banyak terjadi pro dan kontra diantara para ulama’ mengenai ayat-ayat mutasyabihat yang berasal dari cara memahami firman Allah SWT:

هُوَ ٱلَّذِىٓ أَنزَلَ عَلَيْكَ ٱلْكِتَٰبَ مِنْهُ ءَايَٰتٌۭ مُّحْكَمَٰتٌ هُنَّ أُمُّ ٱلْكِتَٰبِ وَأُخَرُ مُتَشَٰبِهَٰتٌۭ ۖ فَأَمَّا ٱلَّذِينَ فِى قُلُوبِهِمْ

زَيْغٌۭ فَيَتَّبِعُونَ مَا تَشَٰبَهَ مِنْهُ ٱبْتِغَآءَ ٱلْفِتْنَةِ وَٱبْتِغَآءَ تَأْوِيلِهِۦ ۗ وَمَا يَعْلَمُ تَأْوِيلَهُۥٓ إِلَّا ٱللَّهُ ۗ وَٱلرَّٰسِخُونَ فِى

ٱلْعِلْمِ يَقُولُونَ ءَامَنَّا بِهِۦ كُلٌّۭ مِّنْ عِندِ رَبِّنَا ۗ وَمَا يَذَّكَّرُ إِلَّآ أُو۟لُوا۟ ٱلْأَلْبَٰبِ  ۝

“Dia-lah yang menurunkan al-Kitab (al-qur`an) kepada kamu. Di antara (isi) nya ada ayat-ayat yang muhkamat, itulah pokok-pokok isi al-qur`an dan yang lain (ayat-ayat) mutasyabihaat. Adapun orang-orang yang hatinya condong kepada kesesatan, maka mereka mengikuti sebagian ayat-ayat yang mutasyabihat daripadanya untuk menimbulkan fitnah untuk mencari-cari ta`wilnya, padahal tidak ada yang mengetahuinya melainkan Allah, dan orang-orang yang mendalam ilmunya berkata : “kami beriman kepada ayat-ayat yang mutasyabihaat, semuanya itu dari sisi Tuhan kami.” Dan tidak mengambil pelajaran (daripadanya) melainkan orang-orang yang berakal.” (QS. Ali Imran: 7)

            Madzhab Ulama’ Salaf mengatakan bahwa ayat mutasyabih itu tidak dapat diketahui takwilnya oleh siapapun kecuali Allah sendiri, serta diwajibkan atas setiap orang agar tidak mencari takwilnya dan menyerahkan sepenuhnya kepada Allah SWT. orang-orang berilmu mendalam hanya berkata: “Kami mengimaninya, semuanya datang dari Tuhan kami”.[13]

     Menurut madzhab ini, waqaf dalam ayat tersebut terletak pada lafal

وَمَا يَعْلَمُ تَأْوِيلَهُۥٓ إِلَّا ٱللَّه Karena tidak ada yang dapat mengetahui makna yang tersirat. Begitupula, pada lafal وَٱلرَّٰسِخُونَ فِى ٱلْعِلْمِ يَقُولُونَ َامَنَّا ... adalah huruf Isti’naf (permulaan). Sehingga, orang-orang berpengetahuan mendalam pun tidak mampu mengetahui takwil ayat-ayat mutasyabihat itu, namun cukup dengan menyerahkan maknanya kepada Allah SWT. Dengan dasar ini, madzhab salaf disebut juga Madzhab Mufawwidlah atau Tafwidl yang kebanyakan merupakan golongan sahabat, tabiin, tabi al-tabiin serta generasi setelah mereka.[14] Alasan pendapat ini didasari oleh:

1)      Riwayat al-Hakim dalam kitab al-mustadrak yang bersumber dari Ibnu Abbas dan dinukil oleh Manna al-Qaththan dalam al-Mabahits nya, bahwa Ibnu Abbas membaca ayat tersebut demikian:

وما يعلم تأويله الاالله و"يقول" الراسخون فى العلم امنابه

2)      Ayat tersebut mencela orang-orang yang “mengikuti” ayat-ayat mutasyabihat dan menyatakan bahwa mereka cenderung sesat dan mencari fitnah. Sebaliknya, dalam ayat yang sama justru memuji orang-orang yang menyerahkan pengetahuan tersebut kepada Allah.[15] Menurut Ibnu al-Shalih, sebagaimana dikutip oleh al-Suyuthy didalam al-Itqan, para pendahulu, pemuka umat, imam ahli fiqih dan imam ahli hadits juga menggunakan cara ini, dan tidak ada seorang pun dari mereka yang mengelak dari kenyataan yang terdapat pada ayat tersebut.

3)      Riwayat Zubair Ibn Abi Abdir Rahman, mengenai maksud ayat:

ٱلرَّحْمَٰنُ عَلَى ٱلْعَرْشِ ٱسْتَوَىٰ۝

“(yaitu) Yang Maha Pengasih, yang bersemayam di atas ‘Arsy”. (QS. Thaha: 5)

Kemudian ia berkata:

الايمان غير مجهول والكيف غير معقول وهو من الرسالة وعلى الرسول البلاغ البين وعلينا

التصدق

“Mengimani hal itu tidak diragukan lagi, tetapi cara (bersemayam-Nya) itu tidak dapat dinalar dan hal itu termasuk tugas risalah rasul, dan kewajiban seorang rasul untuk menyampaikannya sedangkan kita wajib mempercayainya”

4)      Pendapat Imam Malik mengenai makna istiwa’ yang terdapat pada surah thaha: 5, ia menjawab:

الاستواء معلوم والكيف مجهول والسؤال عنه بدعة واظنك رجل سوءاخرجوه عنى

“Makna lafal istiwa’ dapat dimengerti, mengenai caranya tidak dapat diketahui, mempertanyakan masalah itu adalah bid’ah (mengada-ada), saya duga engkau ini bermaksud buruk. Singkirkanlah orang ini dari majelisku”[16]

Maksudnya, makna tersurat dari kata استوى dalam ayat tersebut jelas diketahui oleh orang-orang pada umumnya. Namun, makna tersirat yang sebenarnya tidaklah diketahui. Sebab pengertian yang dipahami orang-orang pada umumnya merupakan tasybih secara antropomorphism (penyerupaan dengan sesuatu secara jasmaniah) yang mustahil bagi Allah, dan mempertanyakan hal itu untuk mengetahui maksud yang sebenarnya berdasarkan syariah adalah bid’ah.[17] 

5)      Atsar yang berasal dari Umm al-Mukminin Aisyah RA:

تلا رسول الله صلى الله عليه وسلم: هو ٱلّذى أَنزل عليك ٱلكتب الى قوله – "وما يذكر الا اولوااللأبب" قالت: قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: فاذا رأيت الذين يتبعون ماتشابه منه فأولئك الذين سمى الله فاخذرهم

“Rasulullah SAW pernah membaca ayat “Dialah yang tealah menurunkan al-kitab kepada-Mu –sampai kepada- dan tidak dapat mengambil pelajaran daripadanya melainkan “orang-orang yang berakal”. Umm al-Mukminin Aisyah berkata: Rasulullah SAW bersabda: Jika engkau melihat orang-orang yang mengikuti ayat-ayat mutasyabihat, maka mereka itulah orang-orang yang dimaksud oleh Allah dalam ayat tersebut, dan berhati-hatilah terhadap mereka”[18]

6)      Bersandar kepada hadits riwayat Ibnu Mardawaih:

عن عمروبن شعيب عن ابيه عن جده عن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال : ان القران لم ينزل ليكذب بعضه بعضا فما عرفتم منه فاعملوابه وماتشابه منه فامنوابه

“Dari Amr Ibnu Syu’aib dari ayahnya dari kakeknya dari Rasulullah SAW. Ia bersabda: Sesungguhnya al-Quran tidak diturunkan agar sebagiannya mendustakan sebagian yang lain, apa saja yang kalian ketahui daripadanya maka amalkanlah dan apa yang mutasyabih maka hendaklah kalian meyakininya.”[19]

Jadi, dapat disimpulkan bahwa dalam menghadapi ayat-ayat mutasyabihat, para ulama madzhab salaf bersikap hati-hati terhadap kesalahan yang mungkin terjadi.

Berbeda dengan madzhab ulama khalaf yang berpendapat, bahwa waqaf dalam ayat Ali Imran: 7 pada lafal وَٱلرَّٰسِخُونَ فِى ٱلْعِلْمِ . Jadi selain Allah, orang-orang yang berilmu mendalam juga dapat mengetahui takwilnya. Adapun huruf و (wawu) pada ayat tersebut berkedudukan sebagai huruf athat, oleh karena itu ٱلرَّٰسِخُونَ diathafkan kepada lafal الله pada kaliamat sebelumnya (Abu Hasan Al-Asy’ari). Pendapat ini diperjelas lagi oleh Abu Ishaq Al-Shirazi yang mengatakan “Bahwa pengetahuan Allah mengenai takwil ayat-ayat mutasyabihat itu, juga dilimpahkan-Nya kepada para ulama yang berilmu mendalam. Karena, apabila mereka dianggap tidak mengetahui maknanya berarti mereka dianggap tidak mengetahui maknanya berarti mereka sama dengan orang awam”.[20]

Mujahid dan sahabat-sahabatnya cenderung kepada pendapat ini, termasuk al-Nawawi yang berpendapat bahwa “pendapat ini lebih layak diterima, sebab tidak mungkin Allah akan mengkhitab hamba-Nya dengan sesuatu yang tidak ada jalan untuk mengetahuinya”. Madzhab khalaf berpendapat, bahwa hal yang seharusnya dilakukan dalam memahami ayat mutasyabihat yakni dengan memalingkan lafal yang menyebabkan kebingungan bagi umat manusia, sehingga tidak dibiarkan “terlantar” tidak bermakna. Selama ayat-ayat tersebut memungkinkan untuk ditakwilkan dengan makna yang benar dan rasional, maka bagi orang-orang berilmu mendalam tidak ada halangan untuk menakwilkan ayat tersebut. [21] Karena tidak ada satupun ayat di dalam al-Quran yang tidak mungkin tidak diketahui maksudnya. [22]

Berdasarkan QS. Ali-Imran: 7, Ibnu Abbas berpendapat atas berdasarkan riwayat Ibn Al-Munzir yang mengatakan:

......وَمَا يَعْلَمُ تَأْوِيلَهُۥٓ إِلَّا ٱللَّهُ وَٱلرَّٰسِخُونَ فِى ٱلْعِلْمِ. قال: انا ممن يعلم تأويله

 “Dan tidak ada yang mengetahui takwilnya kecuali Allah dan orang-orang yang mendalam ilmunya, kemudian ia (Ibnu Abbas) berkata: Saya adalah diantara orang yang mengetahui takwilnya”.[23]

            Madzhab khalaf ini mentakwilkan ayat-ayat mutasyabihat itu dalam rangka memudahkan pemahaman secara baik dan benar, khususnya bagi masyarakat awam. Berkaitan dengan ayat-ayat tentang sifat-sifat Allah, madzhab ini tidak mengartikan secara harfiah apaadanya. Namun, berusaha agar memaknai atau mentakwilkan kata-kata dalam ayat tersebut sesuai dengan kelayakan bagi Allah”.

Misalnya seperti kata فوق عبده (di atas hamba-Nya) diartikan sebagai Maha Tinggi, bukan berada di suatu tempat. وجه ربك (wajah Tuhanmu) diartikan sebagai dzat Allah, dan sebagainya.

Sehubung dengan itu mereka mengatakan:

كل صفة يستحيل حقيقتها على الله تفسير لازمها

“Setiap sifat yang makna hakikatnya mustahil bagi Allah ditafsirkan (ditakwilkan) dengan kelazimann-Nya”.[24]

Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa apa yang dikemukakan Allah berkaitan dengan sifat-sifat-Nya yang tampak secara lahiriah menggunakan sifat-sifat yang ada pada manusia, dengan tujuan untuk memudahkan manusia dalam memahami makna yang terkandung di dalamnya.

Selain itu, ada pula madzhab yang menengahi keduanya, yakni madzhab yang dipelopori oleh al-Raghib al-Ashfahaniy. Ia membagi ayat-ayat mutasyabihat menjadi tiga, yakni:

a)    Ayat-ayat yang sama sekali  tidak diketahui hakikat maknanya kecuali oleh Allah.

Misal: Saat tibanya hari kiamat, makna dari kata دابة من الارض , dan sebagainya.

b)   Ayat-ayat mutasyabih yang dapat diketahui maknanya oleh manusia melalui berbagai sarana.

Misal: Lafal-lafal asing dan hukum-hukum yang tertutup.

c)    Ayat-ayat mutasyabihat yang hanya dapat diketahui maknanya oleh orang-orang yang memiliki ilmu mendalam, seperti yang diisyaratkan oleh Rasulullah, yakni Ibnu Abbas.

“Yaa Allah berikanlah ilmu yang mendalam mengenai ilmu agama, dan limpahkanlah pengetahuan tentang takwil kepadanya”.[25]

Madzhab ini menegaskan bahwa dzat Allah dan hakikat sifat-sifat-Nya hanya Allah yang mengetahuinya.

E.     Hikmah Ayat-ayat Muhkamat dan Mutasyabihat 

Hikmah ayat-ayat muhkamat, yaitu :      

·      Menjadikan kemudahan bagi manusia untuk mengetahui arti dan maksudnya pada ayat-ayat muhkamat

·      Mendorong umat Islam untuk segera mengamalkan isi kandungan al-Qur’an, karena lafadz ayat-ayat-Nya telah mudah diktahui dan dipahami.

·      Menjadi rahmat bagi manusia khususnya orang yang lemah dalam berbahasa arab.[26]

Hikmah ayat-ayat mutasyabihat, yaitu:

·      Menunjukan kemukjizatan al-Qur’an dan ketinggian satra serta balaghagnya, agar manusia menyadari sepenuhnya bahwa al-Qur’an merupakan wahyu ilahi.

·      Ujian pada umat manusia, apakah dengan adanya ayat-ayat mutasyabihat manusia masih tetap beriman atau tidak.

·      Menambah pahala bagi yang benar benar mengkajinya, sebab semakin sulit pekerjaan, semakin pula besar pahalanya.

·      Memperlihatkan kelemahan akal manusia agar manusia tidak sombong.

·      Mendorong umat Islam untuk giat belajar dan tekun, meneliti serta bertindak menalar.[27]



BAB III

PENUTUP



KESIMPULAN

Muhkam dapat berarti sesuatu yang dikukuhkan, jelas, fasih, dan bermaksud membedakan antara informasi yang hak dan yang bathil, serta memisahkan urusan yang lurus dari yang sesat. Adapun mutasyabih secara etimologis berarti tasyabuh, yakni apabila salah satu dari dua hal serupa dengan yang lain.

Muhkam terdiri dari Muhkam li dzatihi dan Muhkam li ghairihi. Sedangkan Mutasyabih, terdiri dari Mutasyabih ayat yang terdapat dalam lafadz huruf dan Mutasyabih yang terdapat dalam mafhum ayat.

Sebab sebab terjadinya tasyabuh dalam al-qur’an menurut hasil pengamatan dan penelitian para ulama yaitu disebabkan oleh kebersembunyian maksud Allah dari kalam-Nya itu. Selanjutnya dapat dikatakan bahwa ketersembunyian itu dapat saja kembai kepada kesamaran lafal, kesamaran makna, dan kesamaran pada lafal dan makna sekaligus.

Banyak terjadi pro dan kontra diantara para ulama’ mengenai ayat-ayat mutasyabihat yang berasal dari cara memahami firman Allah SWT, sehingga terbagi menjadi tiga golongan pendapat, yakni:

1.    Madzhab Ulama’ Salaf mengatakan bahwa ayat mutasyabih itu tidak dapat diketahui takwilnya oleh siapapun kecuali Allah sendiri, serta diwajibkan atas setiap orang agar tidak mencari takwilnya dan menyerahkan sepenuhnya kepada Allah SWT. orang-orang berilmu mendalam hanya berkata: “Kami mengimaninya, semuanya datang dari Tuhan kami”.

2.    Madzhab ulama khalaf yang berpendapat, bahwa pengetahuan Allah mengenai takwil ayat-ayat mutasyabihat itu, juga dilimpahkan-Nya kepada para ulama yang berilmu mendalam. Karena, apabila mereka dianggap tidak mengetahui maknanya berarti mereka dianggap tidak mengetahui maknanya berarti mereka sama dengan orang awam”.

3.    madzhab yang dipelopori oleh al-Raghib al-Ashfahaniy yang membagi ayat-ayat mutasyabihat menjadi tiga, yakni:

a)    Ayat-ayat yang sama sekali  tidak diketahui hakikat maknanya kecuali oleh Allah.

b)   Ayat-ayat mutasyabih yang dapat diketahui maknanya oleh manusia melalui berbagai sarana.

c)    Ayat-ayat mutasyabihat yang hanya dapat diketahui maknanya oleh orang-orang yang memiliki ilmu mendalam

Adapun hikmah ayat-ayat muhkamat, yaitu :       

·      Menjadikan kemudahan bagi manusia untuk mengetahui arti dan maksudnya pada ayat-ayat muhkamat

·      Mendorong umat Islam untuk segera mengamalkan isi kandungan al-Qur’an, karena lafadz ayat-ayat-Nya telah mudah diktahui dan dipahami.

·      Menjadi rahmat bagi manusia khususnya orang yang lemah dalam berbahasa arab.[28]

Hikmah ayat-ayat mutasyabihat, yaitu:

·      Menunjukan kemukjizatan al-Qur’an dan ketinggian satra serta balaghagnya, agar manusia menyadari sepenuhnya bahwa al-Qur’an merupakan wahyu ilahi.

·      Ujian pada umat manusia, apakah dengan adanya ayat-ayat mutasyabihat manusia masih tetap beriman atau tidak.

·      Menambah pahala bagi yang benar benar mengkajinya, sebab semakin sulit pekerjaan, semakin pula besar pahalanya.

·      Memperlihatkan kelemahan akal manusia agar manusia tidak sombong.

·      Mendorong umat Islam untuk giat belajar dan tekun, meneliti serta bertindak menalar.[29]

 

DAFTAR PUSTAKA

Usman. 2009.  ULUMUL QUR`AN. Yogyakarta: TERAS.

Abdullah, Mawardi. ULUMUL QUR`AN. Yogyakarta: PUSTAKA PELAJAR.

ash-Shiddieqy, Muhammad Hasbi. 2010.  ILMU-ILMU AL-QUR`AN (Ulum al-Qur`an). Semarang: PT. PUSTAKA RIZKI PUTRA.







[1] Usman, ULUMUL QUR`AN, (Yogyakarta: TERAS, 2009), hlm.  219-220.
[2] Mawardi Abdullah, ULUMUL QUR`AN, (Yogyakarta: PUSTAKA PELAJAR, 2014), hlm. 93.
[3] Usman, ULUMUL QUR`AN................, hlm. 220.
[4] Muhammad Hasbi ash-Shiddieqy, ILMU-ILMU AL-QUR`AN (Ulum al-Qur`an), (Semarang: PT. PUSTAKA RIZKI PUTRA, 2010), hlm. 158.
[5] Mawardi Abdullah, ULUMUL QUR`AN........................, hlm. 93.
[6] Usman, ULUMUL QUR`AN......................., hlm. 221.
[7] Muhammad Hasbi ash-Shiddieqy,  ILMU-ILMU AL-QUR`AN (Ulum al-Qur`an)..........., hlm. 158.
[8] Mawardi Abdullah, ULUMUL QUR`AN..............., hlm. 95.
[9] Mawardi Abdullah, ULUMUL QUR`AN............., hlm. 96.
[10] Mawardi Abdullah, ULUMUL QUR`AN........................, hlm. 96-97.
[11] Usman, ULUMUL QUR`AN......................................, hlm. 237.
[12] Usman, ULUMUL QUR`AN................, hlm. 238.
[13] Shubhi al-Shalih, Mabahits fi Ulum al-Quran, (Beirut: Dar al-ilmi li al-Milayin, 1972), hlm. 283.
[14] Shubhi al-Shalih, Mabahits fi Ulum al-Quran........................., hlm. 284.
[15] Jalaludin al-Suyuthy, al-Itqan fi Ulum al-Quran, (Beirut: Syirkah Maktabah al-Babi al-Halabi, 1951), hlm 2-3.
[16] Shubhi al-Shalih, Mabahits fi Ulum al-Quran........................., hlm. 284, lihat juga Jalaludin al-Suyuthy, al-Itqan fi Ulum al-Quran........., hlm 6.
[17] Ramli Abdul Wahid, Ulum al-Quran.........., hlm 192.
[18] Shubhi al-Shalih, Mabahits fi Ulum al-Quran........................., hlm. 6.
[19] Jalaluddin al-Suyuthi, al-Durr al-Mantsur, j. 11(Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1990), hlm. 9.
[20] Shubhi al-Shalih, Mabahits fi Ulum al-Quran........................., hlm. 281.
[21] Shubhi al-Shalih, Mabahits fi Ulum al-Quran........................., hlm. 281.
[22] Muhammad ‘Abd ‘Azhim alpZarqaniy, Manahil al-Irfan fi Ulum al-Quran, j. 11(t.tp:al-Babi al-Halabi, t.th), hlm. 270.
[23] Muhammad Husein al-Thabathabai, Menyingkap rahasia al-Quran, terj. A. Malik Madani & Hamim Ilyas, (Bandung: Mizan, 1992), hlm. 46-47.
[24] Ramli Abdul Wahid, Ulum al-Quran.........., hlm 88-89.
[25] Shubhi al-Shalih, Mabahits fi Ulum al-Quran........................., hlm. 282-283.
[26] Muhammad Gufron, Rahmawati, ULUMUL QURAN (Praktis dan Mudah), (Yogyakarta: Teras, 2013), hlm. 82.
[27] Muhammad Gufron, Rahmawati, ULUMUL QURAN (Praktis dan Mudah).............., hlm. 82.
[28] Muhammad Gufron, Rahmawati, ULUMUL QURAN (Praktis dan Mudah), (Yogyakarta: Teras, 2013), hlm. 82.
[29] Muhammad Gufron, Rahmawati, ULUMUL QURAN (Praktis dan Mudah).............., hlm. 82.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar