ILMU MUHKAM MUTASYABIH
Alma Amelia
Ilmu Al-Quran dan Tafsir IAIN Pekalongan
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Allah menyampaikan pesan dalam al-qur`an
dengan berbagai cara dan bentuk dalalah baik yang jelas ataupun dengan cara
yang samar (mubham). Di antara bentuk keduanya terdapat bentuk muhkam dan
mutasyabih. Itu semua merupakan kerunia Allah subhanahu wa ta`ala kepada ummat
manusia agar dapat memahami dengan elastis, syamil, dan komprehensif.
Di antara gaya penyampaian al-qur`an terkadang
menggunakan lafadz dan uslub yang berbeda-beda tetapi maknanya tetap satu,
yaitu sebagian lafadz serupa dengan sebagian yang lain tetapi maknanya serasi
dan cocok, tidak ada yang bersifat umum dan samar (mutasyabih) dan dapat
memberikan peluang bagi para mujtahid dan cendekiawan untuk dapat
mengembalikannya kepada yang tegas maksudnya dan disebut muhkam, mengembalikan
yang samar kepada yang jelas maknanya, mengembalikan masalah cabang kepada
masalah pokok, yang bersifat parsial kepada yang kulli.
Ayat yang menjadi dasar adanya Muhkam dan Mutasyabih
adalah ayat ke-7 dari surat Ali-`Imran :
هُوَ ٱلَّذِىٓ أَنزَلَ عَلَيْكَ ٱلْكِتَٰبَ مِنْهُ ءَايَٰتٌۭ مُّحْكَمَٰتٌ
هُنَّ أُمُّ ٱلْكِتَٰبِ وَأُخَرُ مُتَشَٰبِهَٰتٌۭ ۖ فَأَمَّا ٱلَّذِينَ فِى
قُلُوبِهِمْ
زَيْغٌۭ فَيَتَّبِعُونَ مَا تَشَٰبَهَ مِنْهُ ٱبْتِغَآءَ ٱلْفِتْنَةِ وَٱبْتِغَآءَ
تَأْوِيلِهِۦ ۗ وَمَا يَعْلَمُ تَأْوِيلَهُۥٓ إِلَّا ٱللَّهُ ۗ وَٱلرَّٰسِخُونَ
فِى
ٱلْعِلْمِ يَقُولُونَ ءَامَنَّا بِهِۦ كُلٌّۭ مِّنْ عِندِ رَبِّنَا ۗ وَمَا
يَذَّكَّرُ إِلَّآ أُو۟لُوا۟ ٱلْأَلْبَٰبِ
“Dia-lah yang menurunkan al-Kitab (al-qur`an) kepada kamu. Di antara (isi)
nya ada ayat-ayat yang muhkamat, itulah pokok-pokok isi al-qur`an dan yang lain
(ayat-ayat) mutasyabihaat. Adapun orang-orang yang hatinya condong kepada
kesesatan, maka mereka mengikuti sebagian ayat-ayat yang mutasyabihat
daripadanya untuk menimbulkan fitnah untuk mencari-cari ta`wilnya, padahal
tidak ada yang mengetahuinya melainkan Allah, dan orang-orang yang mendalam
ilmunya berkata : “kami beriman kepada ayat-ayat yang mutasyabihaat, semuanya
itu dari sisi Tuhan kami.” Dan tidak mengambil pelajaran (daripadanya)
melainkan orang-orang yang berakal.”
B. Rumusan Masalah
1. Jelaskan yang dimaksud Muhkam dan Mutasyabih!
2. Apa saja Jenis-jenis Muhkam dan Mutasyabih?
3. Apa saja Sebab-sebab terjadinya Tasyabuh dalam al-Qur`an?
4. Bagaimana Pandangan dan Sikap Ulama` dalam menghadapi Ayat Mutasyabih?
5. Apa saja Hikmah Ilmu Muhkam dan Mutasyabih?
C. Tujuan
Untuk mengetahui
makna dari Muhkam dan Mutasyabih, Jenis-jenis Muhkam dan Mutasyabih, sebab-sebab terjadinya tasyabuh dalam al-Qur`an, pandangan dan sikap ulama` dalam menghadapi ayat
Mutasyabih, serta hikmah adanya ayat-ayat Muhkam dan
Mutasyabih.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Muhkam dan Mutasyabih
Kata “muhkam” dan “mutasyabih” adalah bentuk mudzakar, digunakan untuk
mensifati kata-kata yang mudzakkar, seperti ungkapan al-qur`an yang muhkam atau
yang mutasyabih. Sedangkan kata “muhkamat” atau “mutasyabihat” adalah bentuk
muannats untuk mensifati kata yang juga muannats, seperti surah dan ayat
muhkamat atau mutasyabihat. Al-qur`an menampilkan kata “muhkam” yang terkait
dengannya sebanyak tiga kali dalam bentuknya yang berbeda-beda, yaitu “muhkamat
(QS. Ali-`imran[3]:7), uhkimat (QS. Hud[11]: 1), dan muhakkamah (QS. Muhammad
[47]: 20). Sementara kata “mutasyabih” dalam berbagai ragam dan bentuknya
dikemukakan sebanyak dua belas kali yang terpencar dalam beberapa surah dan
ayat di dalam Al-Qur`an. Kedua kata tersebut memiliki beragam arti baik menurut
etimologi maupun terminologi.[1]
Muhkam secara etimologis adalah sesuatu yang tidak ada perselisihan dan
kekacauan di dalamnya, dan ada yang mengatakan bahwa Muhkam ialah sesuatu yang
belum menjadi mutasyabih karena keterangannya sudah tegas dan tidak membutuhkan
kepada yang lain. Muhkam merupakan derivasi dari kata ahkama yaitu atqana.
Ahkama al-kalam berarti mengokohkan perkataan dengan memisahkan berita
yang benar dari yang salah.[2] Dengan
demikian Muhkam dapat berarti sesuatu yang dikukuhkan, jelas, fasih, dan
bermaksud membedakan antara informasi yang hak dan yang bathil, serta
memisahkan urusan yang lurus dari yang sesat.[3] Al-qur`an
seluruhnya muhkamah, jika yang dimaksud dengan kemuhkamahannya ialah susunan
lafadz al-qur`an dan keindahan nazhamnya, sungguh sangat sempurna, tidak ada
sedikitpun terdapat kelemahan padanya, baik dari segi lafadz maupun maknanya.[4]
Sebagaimana dijelaskan dalam firman Allah yakni:
الٓر ۚ كِتَٰبٌ
أُحْكِمَتْ ءَايَٰتُهُۥ ثُمَّ فُصِّلَتْ مِن لَّدُنْ حَكِيمٍ خَبِير
“Alif laam raa,
(inilah) suatu kitab yang ayat-ayatnya disusun dengan rapi serta dijelaskan
secara terperinci, yang diturunkan dari sisi (Allah) yang Maha Bijaksana lagi
Maha Tahu.” (QS. Hud [11] : 1).
Adapun mutasyabih secara etimologis berarti tasyabuh, yakni apabila
salah satu dari dua hal serupa dengan yang lain. Syuhbah ialah keadaan
dimana salah satu dari dua hal itu tidak dapat dibedakan dari yang lain karena
kemiripan di antara keduanya. Mutasyabih secara bahasa berarti sesuatu yang
menyerupai dari segala segi antara satu dengan yang lain.[5] Mutasyabih
juga terkadang dipadankan dengan mutamatsil dalam perkataan dan keindahan.
Dengan ungkapan tasyabuh al-kalam dapat diartikan “kesamaan dan kesesuaian
dalam perkataan, karena sebagiannya membenarkan sebagian yang lain dalam
kesempurnaannya dan sesuai pula dengan makna yang dimaksudkannya.[6] Dapat
dikatakan bahwa seluruh Al-Qur`an adalah mutasyabihah, bahwa masing-masing
kemutamatsilan (keserupaan atau sebanding) ayat-ayatnya, baik dalam bidang
balaghah maupun dalam bidang i`jaz dan kesulitan kita memperlihatkan kelebihan
sebagian sukunya atau yang lain.[7]
Dengan pengertian inilah yang dapat kita ambil berdasarkan firman Allah:
ٱللَّهُ نَزَّلَ أَحْسَنَ ٱلْحَدِيثِ كِتَٰبًۭا مُّتَشَٰبِهًۭا مَّثَانِىَ
تَقْشَعِرُّ مِنْهُ جُلُودُ ٱلَّذِينَ يَخْشَوْنَ رَبَّهُمْ ثُمَّ تَلِينُ
جُلُودُهُمْ
وَقُلُوبُهُمْ إِلَىٰ ذِكْرِ ٱللَّهِ ۚ ذَٰلِكَ هُدَى ٱللَّهِ يَهْدِى بِهِۦ مَن يَشَآءُ ۚ
وَمَن يُضْلِلِ ٱللَّهُ فَمَا لَهُۥ مِنْ هَادٍ
“Allah telah
menurunkan perkataan yang paling baik (yaitu) al-Qur`an yang serupa (mutu
ayat-ayatnya) lagi berulang-ulang, gemetar karenanya kulit orang-orang yang
takut kepada Tuhannya, kemudian menjadi tenang kulit dan hati mereka di waktu
mengingat Allah. Itulah petunjuk Allah, dengan Kitab itu dia menunjuki siapa
yang dikehendaki-Nya, dan barangsiapa yang disesatkan Allah, niscaya tak ada
baginya seorang pemimpinpun.” (QS. Az-Zumar [39] : 23)
Secara epistemologi, para ulama berbeda pendapat dalam istilah muhkam dan
mutasyabih. Muhkam yaitu lafadz yang artinya menunjukkan dalalah yang jelas dan
pasti yang tidak memungkinkan untuk menta`wilkannya, ditakhsisikan, ataupun
dinasakh.
Pendapat lain sebagaimana dikutip oleh
al-Suyuthi bahwa:
1. Muhkam adalah yang dapat diketahui maksudnya dengan nyata dan jelas maupun
dengan cara ta`wil. Sedangkan mutasyabih adalah sesuatu yang hanya diketahui
oleh Allah seperti kedatangan hari kiamat dan maksud dari huruf-huruf terpisah
yang terdapat pada beberapa awal surah.
2. Muhkam adalah yang tidak dapat dita`wilkan kecuali hanya dengan satu
penta`wilan saja, sedangkan mutasyabih adalah yang mungkin dapat dita`wilkan
dengan banyak penta`wilan.
3. Muhkam adalah ayat yang menerangkan tentang faraidl, ancaman, dan harapan.
Sedangkan mutasyabih adalah tentag ayat-ayat yang berhubungan dengan
kisah-kisah dan amstal.
4. Muhkam adalah lafadz yang tidak diulang-ulang. Sedangkan mutasyabih adalah
sebaliknya.
5. Muhkamat adalah ayat-ayat yang tidak dinasakh, maka mutasyabihat adalah
ayat-ayat atau ajaran-ajaran yang telah dinasakh.
6. Muhkam adalah ayat-ayat yang berkenaan dengan halal dan haram, sedangkan
mutasyabih adalah ayat-ayat selain yang
berkenaan dengan halal dan haram.[8]
Dari berbagai macam pendapat diatas, dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud
dengan muhkam adalah kekokohan lafadz ayat dan kemantapannya serta tidak akan
terjadi perselisihan dan kekurangan dalam al-qur`an. Sedangkan yang dimaksud
dengan mutasyabih adalah penyerupaan antara bagian yang satu dari al-qur`an
dengan bagian yang lain dalam hal kebenaran, ketepatan, dan i`jaznya. Lebih
jelasnya mutasyabih adalah sesuatu yang telah diketahui artinya namun mustahil untuk dikatakan sebagaimana yang
dimaklumi, seperti ayat-ayat yang berhubungan dengan sifat-sifat Allah
subhanahu wa ta`aala.[9]
B. Jenis-jenis Muhkam dan Mutasyabih
Muhkam dan Mutasyabih masing-masing dapat
dibagi ke dalam dua kategori, yaitu :
1) Muhkam
a. Muhkam li dzatihi, yaitu muhkam yang semata-mata karena arti yang
ditunjukinya itu tidak mungkin dapat dimansukhkan. Misalnya adalah keharusan
beribadah hanya kepada Allah subhanahu wa ta`ala semata dan berbuat baik kepada
kedua orang tua, sebagaimana yang diperintahkan oleh Allah dalam surat al-isra`
ayat 23 :
وَقَضَىٰ رَبُّكَ أَلَّا تَعْبُدُوٓا۟ إِلَّآ إِيَّاهُ وَبِٱلْوَٰلِدَيْنِ
إِحْسَٰنًا ۚ إِمَّا يَبْلُغَنَّ عِندَكَ ٱلْكِبَرَ أَحَدُهُمَآ أَوْ كِلَاهُمَا
فَلَا
تَقُل لَّهُمَآ أُفٍّۢ وَلَا تَنْهَرْهُمَا وَقُل لَّهُمَا قَوْلًۭا كَرِيمًۭا
“Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan
menyembah selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik kepada ibu bapakmu dengan
sebaik-baiknya....”
b. Muhkam li ghairihi, adalah ayat-ayat yang belum dinasakh pada zaman
Rasulullah, sebagaimana dikemukakan oleh al-Baazdawi dalam Kasyf al-Asrar yang
dikutip oleh al-`Aks, “ yang tidak dinasakh sehingga terputusnya wahyu dan Nabi
telah wafat, maka ini dinamakan muhkam li ghairihi, jenis ini mencakup
al-dzahir, al-nash, al-mufassar, dan al-muhkam”, karena masing-masing belum
terkena nasakh hingga muhkam yang disebabkan oleh terputusnya kemungkinan
adanya nasakh. Artinya dianggap muhkam ini karena suatu lafadz yang menunjukkan
atas keabadian berlakunya, sehingga tidak dapat dimansukhkan, atau muhkam
karena faktor luar bila tidak dapatnya lafadz itu dinasakh bukan karena nash
atau teks nya itu sendiri tetapi karena tidak ada nash yang menasakhnya.
Contohnya yakni
muhkam yang terdapat pada Q.S An-Nur [24]: 4;
وَٱلَّذِينَ يَرْمُونَ ٱلْمُحْصَنَٰتِ ثُمَّ لَمْ يَأْتُوا۟ بِأَرْبَعَةِ
شُهَدَآءَ فَٱجْلِدُوهُمْ ثَمَٰنِينَ جَلْدَةًۭ وَلَا تَقْبَلُوا۟ لَهُمْ
شَهَٰدَةً أَبَدًۭا ۚ وَأُو۟لَٰٓئِكَ هُمُ ٱلْفَٰسِقُونَ
“Dan orang-orang yang menuduh perempuan-perempuan yang
baik (berzina) dan mereka tidak mendatangkan empat orang saksi, maka deralah
mereka delapan puluh kali, dan janganlah kamu terima kesaksian mereka untuk
selama-lamanya.”
Ayat ini menjelaskan bahwa tidak dapat menerima kesaksian
orang yang berbuat jarimah qodzaf untuk selama-lamanya karena pada ayat
tersebut disertai lafadz `abadan (selama-lamanya). Ketentuan tentang lafadz
muhkam bila menyangkut hukum, yakni wajib. Juga tidak pula dipahami dari lafadz
tersebut melalui alternatif lain, serta tidak mungkin pula dinasakh oleh dalil
yang lain.
2) Mutasyabih
a. Mutasyabih ayat yang terdapat dalam lafadz huruf berupa huruf-huruf pada
permulaan beberapa surah dalam Al-Qur`an.
b. Mutasyabih yang terdapat dalam mafhum ayat seperti yang terdapat pada
ayat-ayat yang berbicara tentang sifat-sifat Allah.[10]
C.
Sebab-sebab Terjadinya Tasyabuh dalam Al-Qur’an
Sebagian ulama berpendapat bahwa
ayat-ayat mutasyabih tidak dapat diketahui takwilnya oleh siapapun kecuali
Allah sendiri. Mereka menyatakan agar orang-orang tidak mencari-cari takwilnya
dan menyerahkan persoalan itu kepada Allah Swt. Sedangkan orang yang mendalam
ilmunya mereka berkata “Kami mengimaninya,
semua datang
dari Tuhan kami”.
Sebagian yang lain ada yang beranggapan, bahwa orang-orang yang mendalam
ilmunya dapat mengetahui takwil ayat-ayat mutasyabihat. Mereka mengatakan:
pengetahuan Allah mengenai takwil ayat-ayat mutasyabihat itu dilimpahkan juga
kepada orang-orang atau para ulama yang mendalam ilmunya. Sebab firman Allah
yang diturunkan bagi mereka itu adalah pujian, kalau mereka tidak mengetahui
maknanya, berarti mereka tidak berbeda dengan orang awam yang juga sama tidak
faham betul dengan maknanya.
Dalam kaitannya dengan pandangan-pandangan
yang telah diketahui dan dikemukankan oleh para ulama diatas dapat dikatakan,
bahwa diantara sebab sebab terjadinya tasyabuh dalam al qur’an menurut hasil
pengamatan dan penelitian para ulama yaitu disebabkan oleh kebersembunyian
maksud Allah dari kalam-Nya itu. Selanjutnya dapat dikatakan bahwa
ketersembunyian itu dapat saja kembai kepada kesamaran lafal, kesamaran makna,
dan kesamaran pada lafal dan makna sekaligus. Untuk lebih jelasnya mengenai hal
ini dapat dipelajari sebagai berikut:[11]
1.
Kesamaran
pada lafal ayat
Adanya sebagian ayat ayat mutasyabihat didalam al qur’an disebabkan
oleh kesamaran pada lafal mufrod maupun murakab (yang tersusun dalam kalimat).
Yang dimaksud dengan kesamaran pada lafal mufrad adalah adnya lafal tunggal
yang maknanya tidak jelas, baik disebabkan karena gharib (asing) atau musytarak
( bermakna ganda).
2.
Kesamaran
pada makna ayat
Kesamaran atau ketersembunyian yang terjadi pada makna ayat,
umumnya adalah berupa ayat ayat mutasyabihat yang berhubungan dengan
sifat-sifat Allah.
3.
Kesamaran
pada lafal dan makna ayat sekaligus
Kesulitan memahami ayat-ayat
mutasyabihat karena kesamaran atua ketersembunyian maksud, dan juga dapat
terjadi lafal dan makna secara sekaligus, namun meski demikian kesulitan
tersebut akan dapat teratasi apabila seseorang memiliki ‘’sarana’’ yang memadai
untuk menyingkap maknanya yang tersirat dibali lafal dan maknanya yang tersurat
itu, sebagai contoh dapat dijumpai dalam firman Allah yaitu al qur’an surat Al
Baqarah : ayat 189:
وَلَيْسَ ٱلْبِرُّ بِأَن تَأْتُوا۟ ٱلْبُيُوتَ مِن ظُهُورِهَا وَلَٰكِنَّ ٱلْبِرَّ
مَنِ ٱتَّقَىٰ ۗ وَأْتُوا۟ ٱلْبُيُوتَ مِنْ أَبْوَٰبِهَا ۚ وَٱتَّقُوا۟ ٱللَّهَ
لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ
‘’Dan bukanlah kebaktian memasuki rumah-rumah
dari belakangnya, akan tetapi kebaktian itu adalah kebaktian orang yang bertakwa,
dan masuklah kerumah rumah itu dari pintu pintunya dan bertakwalah kepada allah
agar kamu beruntung’’.
Dalam
hubungannya kesamaran pada ayat-ayat tersebut,
terdapat lima aspek yang terkait dengan hal itu, yaitu:
a.
Aspek
kuantitas, baik yang berkaitan dengan masalah masalah yang umum maupun yang
khusus.
b.
Aspek
cara (Al Kaifiyah) yang termasuk dalam kategori ini adalah mengenai cara
melaksanakan kewajiban yang diperintahkan oleh agama atau kelaksanakan
kesunahan.
c.
Aspek
waktu, dalam hal ini kesamaran atau ketersembunyian
terletak pada keumuman dari petunjuk yang dibawakan oleh ayat al Qur’an itu
sendiri.
d.
Aspek
tempat hal ini terkait erat dengan ketersembunyian atau kesamaran lafal dan
makna yang terdapat pada ayat-ayat
mutasyabihat.
e.
Aspek
syarat adalah syarat dalam melaksanakan suatu kewajiban, baik mengenai ibadah
maupun mu’amalah tidak dirinci dalam ayat ayat tersebut.[12]
D.
Pandangan dan Sikap Ulama’ Dalam Menghadapi
Ayat Mutasyabihat
Banyak terjadi pro dan kontra diantara para
ulama’ mengenai ayat-ayat mutasyabihat yang berasal dari cara memahami firman
Allah SWT:
هُوَ ٱلَّذِىٓ أَنزَلَ عَلَيْكَ ٱلْكِتَٰبَ مِنْهُ ءَايَٰتٌۭ مُّحْكَمَٰتٌ
هُنَّ أُمُّ ٱلْكِتَٰبِ وَأُخَرُ مُتَشَٰبِهَٰتٌۭ ۖ فَأَمَّا ٱلَّذِينَ فِى
قُلُوبِهِمْ
زَيْغٌۭ فَيَتَّبِعُونَ مَا تَشَٰبَهَ مِنْهُ ٱبْتِغَآءَ ٱلْفِتْنَةِ وَٱبْتِغَآءَ
تَأْوِيلِهِۦ ۗ وَمَا يَعْلَمُ تَأْوِيلَهُۥٓ إِلَّا ٱللَّهُ ۗ وَٱلرَّٰسِخُونَ
فِى
ٱلْعِلْمِ يَقُولُونَ ءَامَنَّا بِهِۦ كُلٌّۭ مِّنْ عِندِ رَبِّنَا ۗ وَمَا
يَذَّكَّرُ إِلَّآ أُو۟لُوا۟ ٱلْأَلْبَٰبِ
“Dia-lah yang menurunkan al-Kitab (al-qur`an) kepada
kamu. Di antara (isi) nya ada ayat-ayat yang muhkamat, itulah pokok-pokok isi
al-qur`an dan yang lain (ayat-ayat) mutasyabihaat. Adapun orang-orang yang
hatinya condong kepada kesesatan, maka mereka mengikuti sebagian ayat-ayat yang
mutasyabihat daripadanya untuk menimbulkan fitnah untuk mencari-cari ta`wilnya,
padahal tidak ada yang mengetahuinya melainkan Allah, dan orang-orang yang
mendalam ilmunya berkata : “kami beriman kepada ayat-ayat yang mutasyabihaat,
semuanya itu dari sisi Tuhan kami.” Dan tidak mengambil pelajaran (daripadanya)
melainkan orang-orang yang berakal.” (QS. Ali Imran: 7)
Madzhab
Ulama’ Salaf mengatakan bahwa ayat mutasyabih itu tidak dapat diketahui
takwilnya oleh siapapun kecuali Allah sendiri, serta diwajibkan atas setiap
orang agar tidak mencari takwilnya dan menyerahkan sepenuhnya kepada Allah SWT.
orang-orang berilmu mendalam hanya berkata: “Kami mengimaninya, semuanya
datang dari Tuhan kami”.[13]
Menurut madzhab ini, waqaf dalam
ayat tersebut terletak pada lafal
وَمَا يَعْلَمُ
تَأْوِيلَهُۥٓ إِلَّا ٱللَّه Karena tidak ada yang dapat mengetahui makna yang tersirat. Begitupula,
pada lafal وَٱلرَّٰسِخُونَ
فِى ٱلْعِلْمِ يَقُولُونَ َامَنَّا ... adalah huruf Isti’naf (permulaan). Sehingga, orang-orang
berpengetahuan mendalam pun tidak mampu mengetahui takwil ayat-ayat
mutasyabihat itu, namun cukup dengan menyerahkan maknanya kepada Allah SWT.
Dengan dasar ini, madzhab salaf disebut juga Madzhab Mufawwidlah atau Tafwidl
yang kebanyakan merupakan golongan sahabat, tabiin, tabi al-tabiin serta
generasi setelah mereka.[14] Alasan pendapat ini
didasari oleh:
1) Riwayat al-Hakim dalam
kitab al-mustadrak yang bersumber dari Ibnu Abbas dan dinukil oleh Manna
al-Qaththan dalam al-Mabahits nya, bahwa Ibnu Abbas membaca ayat tersebut
demikian:
وما يعلم تأويله الاالله و"يقول" الراسخون فى العلم امنابه
2) Ayat tersebut mencela
orang-orang yang “mengikuti” ayat-ayat mutasyabihat dan menyatakan bahwa mereka
cenderung sesat dan mencari fitnah. Sebaliknya, dalam ayat yang sama justru
memuji orang-orang yang menyerahkan pengetahuan tersebut kepada Allah.[15] Menurut Ibnu al-Shalih,
sebagaimana dikutip oleh al-Suyuthy didalam al-Itqan, para pendahulu, pemuka
umat, imam ahli fiqih dan imam ahli hadits juga menggunakan cara ini, dan tidak
ada seorang pun dari mereka yang mengelak dari kenyataan yang terdapat pada
ayat tersebut.
3) Riwayat Zubair Ibn Abi Abdir
Rahman, mengenai maksud ayat:
ٱلرَّحْمَٰنُ عَلَى ٱلْعَرْشِ ٱسْتَوَىٰ
“(yaitu) Yang Maha Pengasih, yang bersemayam
di atas ‘Arsy”. (QS. Thaha: 5)
Kemudian ia berkata:
الايمان غير مجهول والكيف غير معقول وهو من
الرسالة وعلى الرسول البلاغ البين وعلينا
التصدق
“Mengimani hal itu tidak
diragukan lagi, tetapi cara (bersemayam-Nya) itu tidak dapat dinalar dan hal
itu termasuk tugas risalah rasul, dan kewajiban seorang rasul untuk
menyampaikannya sedangkan kita wajib mempercayainya”
4) Pendapat Imam Malik
mengenai makna istiwa’ yang terdapat pada surah thaha: 5, ia menjawab:
الاستواء معلوم والكيف مجهول والسؤال عنه بدعة
واظنك رجل سوءاخرجوه عنى
“Makna lafal istiwa’ dapat dimengerti,
mengenai caranya tidak dapat diketahui, mempertanyakan masalah itu adalah
bid’ah (mengada-ada), saya duga engkau ini bermaksud buruk. Singkirkanlah orang
ini dari majelisku”[16]
Maksudnya, makna tersurat
dari kata استوى dalam ayat tersebut jelas diketahui oleh orang-orang pada
umumnya. Namun, makna tersirat yang sebenarnya tidaklah diketahui. Sebab
pengertian yang dipahami orang-orang pada umumnya merupakan tasybih secara antropomorphism
(penyerupaan dengan sesuatu secara jasmaniah) yang mustahil bagi Allah, dan
mempertanyakan hal itu untuk mengetahui maksud yang sebenarnya berdasarkan
syariah adalah bid’ah.[17]
5) Atsar yang berasal dari
Umm al-Mukminin Aisyah RA:
تلا رسول الله صلى الله عليه وسلم: هو ٱلّذى أَنزل عليك ٱلكتب الى قوله –
"وما يذكر الا اولوااللأبب" قالت: قال رسول الله صلى الله عليه وسلم:
فاذا رأيت الذين يتبعون ماتشابه منه فأولئك الذين سمى الله فاخذرهم
“Rasulullah SAW pernah
membaca ayat “Dialah yang tealah menurunkan al-kitab kepada-Mu –sampai kepada-
dan tidak dapat mengambil pelajaran daripadanya melainkan “orang-orang yang
berakal”. Umm al-Mukminin Aisyah berkata: Rasulullah SAW bersabda: Jika engkau
melihat orang-orang yang mengikuti ayat-ayat mutasyabihat, maka mereka itulah
orang-orang yang dimaksud oleh Allah dalam ayat tersebut, dan berhati-hatilah
terhadap mereka”[18]
6) Bersandar kepada hadits
riwayat Ibnu Mardawaih:
عن عمروبن شعيب عن ابيه عن جده عن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال : ان
القران لم ينزل ليكذب بعضه بعضا فما عرفتم منه فاعملوابه وماتشابه منه فامنوابه
“Dari Amr Ibnu Syu’aib
dari ayahnya dari kakeknya dari Rasulullah SAW. Ia bersabda: Sesungguhnya
al-Quran tidak diturunkan agar sebagiannya mendustakan sebagian yang lain, apa
saja yang kalian ketahui daripadanya maka amalkanlah dan apa yang mutasyabih
maka hendaklah kalian meyakininya.”[19]
Jadi, dapat disimpulkan
bahwa dalam menghadapi ayat-ayat mutasyabihat, para ulama madzhab salaf
bersikap hati-hati terhadap kesalahan yang mungkin terjadi.
Berbeda dengan madzhab
ulama khalaf yang berpendapat, bahwa waqaf dalam ayat Ali Imran: 7 pada lafal وَٱلرَّٰسِخُونَ فِى ٱلْعِلْمِ . Jadi selain Allah, orang-orang yang berilmu mendalam juga dapat
mengetahui takwilnya. Adapun huruf و (wawu) pada ayat tersebut berkedudukan sebagai huruf athat, oleh karena itu
ٱلرَّٰسِخُونَ diathafkan kepada lafal الله pada kaliamat sebelumnya (Abu Hasan Al-Asy’ari). Pendapat ini diperjelas
lagi oleh Abu Ishaq Al-Shirazi yang mengatakan “Bahwa pengetahuan Allah
mengenai takwil ayat-ayat mutasyabihat itu, juga dilimpahkan-Nya kepada para ulama
yang berilmu mendalam. Karena, apabila mereka dianggap tidak mengetahui
maknanya berarti mereka dianggap tidak mengetahui maknanya berarti mereka sama
dengan orang awam”.[20]
Mujahid dan
sahabat-sahabatnya cenderung kepada pendapat ini, termasuk al-Nawawi yang
berpendapat bahwa “pendapat ini lebih layak diterima, sebab tidak mungkin Allah
akan mengkhitab hamba-Nya dengan sesuatu yang tidak ada jalan untuk
mengetahuinya”. Madzhab khalaf berpendapat, bahwa hal yang seharusnya dilakukan
dalam memahami ayat mutasyabihat yakni dengan memalingkan lafal yang
menyebabkan kebingungan bagi umat manusia, sehingga tidak dibiarkan “terlantar”
tidak bermakna. Selama ayat-ayat tersebut memungkinkan untuk ditakwilkan dengan
makna yang benar dan rasional, maka bagi orang-orang berilmu mendalam tidak ada
halangan untuk menakwilkan ayat tersebut. [21] Karena tidak ada satupun
ayat di dalam al-Quran yang tidak mungkin tidak diketahui maksudnya. [22]
Berdasarkan QS.
Ali-Imran: 7, Ibnu Abbas berpendapat atas berdasarkan riwayat Ibn Al-Munzir
yang mengatakan:
......وَمَا يَعْلَمُ تَأْوِيلَهُۥٓ
إِلَّا ٱللَّهُ وَٱلرَّٰسِخُونَ فِى ٱلْعِلْمِ. قال: انا ممن يعلم تأويله
“Dan
tidak ada yang mengetahui takwilnya kecuali Allah dan orang-orang yang mendalam
ilmunya, kemudian ia (Ibnu Abbas) berkata: Saya adalah diantara orang yang
mengetahui takwilnya”.[23]
Madzhab khalaf ini mentakwilkan ayat-ayat mutasyabihat
itu dalam rangka memudahkan pemahaman secara baik dan benar, khususnya bagi
masyarakat awam. Berkaitan dengan ayat-ayat tentang sifat-sifat Allah, madzhab
ini tidak mengartikan secara harfiah apaadanya. Namun, berusaha agar memaknai
atau mentakwilkan kata-kata dalam ayat tersebut sesuai dengan kelayakan bagi
Allah”.
Misalnya seperti kata فوق عبده (di atas hamba-Nya) diartikan sebagai Maha Tinggi, bukan berada di suatu
tempat. وجه ربك (wajah Tuhanmu) diartikan
sebagai dzat Allah, dan sebagainya.
Sehubung dengan itu
mereka mengatakan:
كل صفة يستحيل حقيقتها
على الله تفسير لازمها
“Setiap sifat yang makna hakikatnya mustahil
bagi Allah ditafsirkan (ditakwilkan) dengan kelazimann-Nya”.[24]
Dengan demikian, dapat disimpulkan
bahwa apa yang dikemukakan Allah berkaitan dengan sifat-sifat-Nya yang tampak
secara lahiriah menggunakan sifat-sifat yang ada pada manusia, dengan tujuan
untuk memudahkan manusia dalam memahami makna yang terkandung di dalamnya.
Selain itu, ada pula
madzhab yang menengahi keduanya, yakni madzhab yang dipelopori oleh al-Raghib
al-Ashfahaniy. Ia membagi ayat-ayat mutasyabihat menjadi tiga, yakni:
a) Ayat-ayat yang sama
sekali tidak diketahui hakikat maknanya
kecuali oleh Allah.
Misal: Saat
tibanya hari kiamat, makna dari kata دابة من الارض , dan sebagainya.
b) Ayat-ayat mutasyabih yang
dapat diketahui maknanya oleh manusia melalui berbagai sarana.
Misal:
Lafal-lafal asing dan hukum-hukum yang tertutup.
c) Ayat-ayat mutasyabihat
yang hanya dapat diketahui maknanya oleh orang-orang yang memiliki ilmu
mendalam, seperti yang diisyaratkan oleh Rasulullah, yakni Ibnu Abbas.
“Yaa Allah
berikanlah ilmu yang mendalam mengenai ilmu agama, dan limpahkanlah pengetahuan
tentang takwil kepadanya”.[25]
Madzhab ini menegaskan
bahwa dzat Allah dan hakikat sifat-sifat-Nya hanya Allah yang mengetahuinya.
E. Hikmah Ayat-ayat Muhkamat dan Mutasyabihat
Hikmah ayat-ayat muhkamat, yaitu :
· Menjadikan kemudahan bagi manusia untuk mengetahui arti dan
maksudnya pada ayat-ayat muhkamat
· Mendorong umat Islam untuk segera
mengamalkan isi kandungan al-Qur’an, karena
lafadz ayat-ayat-Nya telah mudah diktahui dan dipahami.
· Menjadi rahmat bagi manusia khususnya orang yang lemah dalam
berbahasa arab.[26]
Hikmah ayat-ayat mutasyabihat, yaitu:
· Menunjukan kemukjizatan al-Qur’an dan
ketinggian satra serta balaghagnya, agar manusia menyadari sepenuhnya bahwa al-Qur’an
merupakan wahyu ilahi.
· Ujian pada umat manusia, apakah dengan adanya ayat-ayat
mutasyabihat manusia masih tetap beriman atau tidak.
· Menambah pahala bagi yang benar benar mengkajinya, sebab semakin
sulit pekerjaan, semakin pula besar pahalanya.
· Memperlihatkan kelemahan akal manusia agar manusia tidak sombong.
BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN
Muhkam dapat berarti sesuatu yang dikukuhkan, jelas,
fasih, dan bermaksud membedakan antara informasi yang hak dan yang bathil,
serta memisahkan urusan yang lurus dari yang sesat. Adapun mutasyabih secara
etimologis berarti tasyabuh, yakni apabila salah satu dari dua hal
serupa dengan yang lain.
Muhkam terdiri dari Muhkam li dzatihi dan Muhkam li
ghairihi. Sedangkan Mutasyabih, terdiri dari Mutasyabih ayat yang terdapat
dalam lafadz huruf dan Mutasyabih yang terdapat dalam mafhum ayat.
Sebab sebab terjadinya tasyabuh dalam al-qur’an menurut
hasil pengamatan dan penelitian para ulama yaitu disebabkan oleh
kebersembunyian maksud Allah dari kalam-Nya itu. Selanjutnya
dapat dikatakan bahwa ketersembunyian itu dapat saja kembai kepada kesamaran
lafal, kesamaran makna, dan kesamaran pada lafal dan makna sekaligus.
Banyak terjadi pro dan kontra diantara para ulama’
mengenai ayat-ayat mutasyabihat yang berasal dari cara memahami firman Allah SWT,
sehingga terbagi menjadi tiga golongan pendapat, yakni:
1. Madzhab Ulama’ Salaf mengatakan bahwa ayat mutasyabih itu tidak dapat
diketahui takwilnya oleh siapapun kecuali Allah sendiri, serta diwajibkan atas
setiap orang agar tidak mencari takwilnya dan menyerahkan sepenuhnya kepada
Allah SWT. orang-orang berilmu mendalam hanya berkata: “Kami mengimaninya,
semuanya datang dari Tuhan kami”.
2.
Madzhab ulama khalaf yang berpendapat, bahwa
pengetahuan Allah mengenai takwil ayat-ayat mutasyabihat itu, juga dilimpahkan-Nya
kepada para ulama yang berilmu mendalam. Karena, apabila mereka dianggap tidak
mengetahui maknanya berarti mereka dianggap tidak mengetahui maknanya berarti
mereka sama dengan orang awam”.
3.
madzhab yang dipelopori oleh al-Raghib al-Ashfahaniy yang membagi ayat-ayat
mutasyabihat menjadi tiga, yakni:
a) Ayat-ayat yang sama
sekali tidak diketahui hakikat maknanya
kecuali oleh Allah.
b) Ayat-ayat mutasyabih yang
dapat diketahui maknanya oleh manusia melalui berbagai sarana.
c)
Ayat-ayat mutasyabihat yang hanya dapat diketahui maknanya oleh orang-orang
yang memiliki ilmu mendalam
Adapun hikmah ayat-ayat
muhkamat, yaitu :
· Menjadikan kemudahan bagi manusia untuk mengetahui arti dan
maksudnya pada ayat-ayat muhkamat
· Mendorong umat Islam untuk
segera mengamalkan isi kandungan al-Qur’an, karena
lafadz ayat-ayat-Nya telah mudah diktahui dan dipahami.
· Menjadi rahmat bagi manusia khususnya orang yang lemah dalam
berbahasa arab.[28]
Hikmah ayat-ayat mutasyabihat, yaitu:
· Menunjukan kemukjizatan al-Qur’an dan ketinggian
satra serta balaghagnya, agar manusia menyadari sepenuhnya bahwa al-Qur’an
merupakan wahyu ilahi.
· Ujian pada umat manusia, apakah dengan adanya ayat-ayat
mutasyabihat manusia masih tetap beriman atau tidak.
· Menambah pahala bagi yang benar benar mengkajinya, sebab semakin
sulit pekerjaan, semakin pula besar pahalanya.
· Memperlihatkan kelemahan akal manusia agar manusia tidak sombong.
DAFTAR PUSTAKA
Usman. 2009. ULUMUL
QUR`AN. Yogyakarta: TERAS.
Abdullah, Mawardi. ULUMUL QUR`AN. Yogyakarta:
PUSTAKA PELAJAR.
ash-Shiddieqy,
Muhammad Hasbi. 2010. ILMU-ILMU
AL-QUR`AN (Ulum al-Qur`an). Semarang: PT. PUSTAKA RIZKI PUTRA.
[1] Usman, ULUMUL QUR`AN, (Yogyakarta: TERAS, 2009), hlm. 219-220.
[2] Mawardi Abdullah, ULUMUL QUR`AN, (Yogyakarta: PUSTAKA PELAJAR,
2014), hlm. 93.
[3] Usman, ULUMUL QUR`AN................, hlm. 220.
[4] Muhammad Hasbi ash-Shiddieqy, ILMU-ILMU AL-QUR`AN (Ulum al-Qur`an),
(Semarang: PT. PUSTAKA RIZKI PUTRA, 2010), hlm. 158.
[5] Mawardi Abdullah, ULUMUL QUR`AN........................, hlm. 93.
[6] Usman, ULUMUL QUR`AN......................., hlm. 221.
[7] Muhammad Hasbi ash-Shiddieqy, ILMU-ILMU
AL-QUR`AN (Ulum al-Qur`an)..........., hlm. 158.
[8] Mawardi Abdullah, ULUMUL QUR`AN..............., hlm. 95.
[9] Mawardi Abdullah, ULUMUL QUR`AN............., hlm. 96.
[10] Mawardi Abdullah, ULUMUL QUR`AN........................, hlm. 96-97.
[11] Usman, ULUMUL QUR`AN......................................, hlm.
237.
[12] Usman, ULUMUL QUR`AN................, hlm. 238.
[13] Shubhi al-Shalih, Mabahits fi Ulum
al-Quran, (Beirut: Dar al-ilmi li al-Milayin, 1972), hlm. 283.
[14]
Shubhi al-Shalih, Mabahits fi
Ulum al-Quran........................., hlm. 284.
[15] Jalaludin al-Suyuthy, al-Itqan fi Ulum
al-Quran, (Beirut: Syirkah Maktabah al-Babi al-Halabi, 1951), hlm 2-3.
[16] Shubhi al-Shalih, Mabahits fi Ulum
al-Quran........................., hlm. 284, lihat juga Jalaludin
al-Suyuthy, al-Itqan fi Ulum al-Quran........., hlm 6.
[17] Ramli Abdul Wahid, Ulum
al-Quran.........., hlm 192.
[18] Shubhi al-Shalih, Mabahits fi Ulum
al-Quran........................., hlm. 6.
[19] Jalaluddin al-Suyuthi, al-Durr al-Mantsur,
j. 11(Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1990), hlm. 9.
[20] Shubhi al-Shalih, Mabahits fi Ulum
al-Quran........................., hlm. 281.
[21] Shubhi al-Shalih, Mabahits fi Ulum al-Quran.........................,
hlm. 281.
[22] Muhammad ‘Abd ‘Azhim alpZarqaniy, Manahil
al-Irfan fi Ulum al-Quran, j. 11(t.tp:al-Babi al-Halabi, t.th), hlm. 270.
[23] Muhammad Husein al-Thabathabai, Menyingkap
rahasia al-Quran, terj. A. Malik Madani & Hamim Ilyas, (Bandung: Mizan,
1992), hlm. 46-47.
[24] Ramli Abdul Wahid, Ulum
al-Quran.........., hlm 88-89.
[25]
Shubhi al-Shalih, Mabahits fi
Ulum al-Quran........................., hlm. 282-283.
[26] Muhammad Gufron, Rahmawati, ULUMUL
QURAN (Praktis dan Mudah), (Yogyakarta: Teras, 2013), hlm. 82.
[27] Muhammad Gufron, Rahmawati, ULUMUL
QURAN (Praktis dan Mudah).............., hlm. 82.
[28] Muhammad Gufron, Rahmawati, ULUMUL
QURAN (Praktis dan Mudah), (Yogyakarta: Teras, 2013), hlm. 82.
[29] Muhammad Gufron, Rahmawati, ULUMUL QURAN
(Praktis dan Mudah).............., hlm. 82.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar