LAWAHIQ QIYAS
oleh: Alma Amelia
فصل في لواحق القياس
ومنه ما يدعونه مركبا لكونه من حجج قد ركبا
فركبنه ان ترد ان تعلمه واقلب نتيجة به مقدمة
يلزم من تركيبها بأخراى نتيجة الى هلم جرا
متصل النتائج الذي حوى يكون او مفصولها كل سوى
· Dari qiyas, ada yang oleh ulama mantiq disebut qiyas murakkab. Karena (qiyas ini) tersusun dari beberapa hujjah (qiyas)
· Maka sungguh susunlah qiyas tersebut, apabila kamu ingin mengetahuinya. Dan jadikanlah natijah di dalamnya, menjadi mukaddimah (sughra)
· Dimana dari penyusunan mukaddimah ini bersama mukaddimah lain dengan sendirinya akan menghasilkan natijah, begitu seterusnya.
· Natijah muttashil (maushul) adalah qiyas murakkab yang memuat (menyebutkan) beberapa natijah. Atau (kebalikannya) adalah natijah mafshul. Dan masing-masing sama-sama menghasilkan tujuan.[1]
Pengertian Lawahiq Qiyas
Lawahiq qiyas berasal dari bahasa arab yang berarti rentetan qiyas atau lanjutan qiyas. Lawahiq qiyas, dalam lafadz aslinya disebut lawahiqul qiyas. Kalau di Indonesia berarti rentetan qiyas.[2] Lawahiq qiyas tersebut terdapat empat macam, yakni sebagai berikut:
1) Qiyas Murakkab
هُوَقِيَا سُ مُرَكَّبُ مِنْ قِيَا سَيْنِ بَسِيْطِيْنِ اَوْمِنْ عِدَةِ اَقْيَسَةٍ بِحَيْثُ تَكُوْنُ نَتِيْجَةُ كُلٍّ مِنْهَا مُقَدِّمَةً لِقِيَاسٍ تَتْلُوْهُ
Qiyas murakab yaitu qiyas yang tersusun dari dua qiyas yang sederhana (mudah) atau dari beberapa qiyas yang setiap natijahnya menjadi muqaddimah bagi qiyas yang mengikutinya.
Qiyas yang natijahnya digunakan sebagai muqadimah untuk qiyas berikutnya, dinamakan qiyas sabiq. Qiyas yang mengandung natijah qiyas sabiq, sebagai muqadimah berikutnya, maka qiyas tersebut dinamakan qiyas lahiq (qiyas yang natijahnya berupa qiyas sabiq).
Contoh :
- Benda itu adalah emas, tiap-tiap emas adalah logam.
- Tiap-tiap logam dapat menghantarkan panas.
Maka, natijah-nya adalah: emas dapat menghantarkan panas.
Yang demikian bila tersusun dari satu qiyas. Terkadang dapat tersusun lebih dari satu qiyas.[3]
Contoh:
- Benda itu adalah kayu.
- Tiap-tiap kayu adalah tumbuhan.
- Tiap-tiap tumbuhan itu bertumbuh.
- Tiap-tiap yang bertumbuh memerlukan makanan.
- Tiap-tiap yang memerlukan makanan adalah makhluk.
Maka natijah-nya adalah: benda itu adalah makhluk.[4]
Dilihat dari disebutkan atau tidaknya natijah, qiyas murakab ini terbagi menjadi dua yaitu:
a. Mutsahil Nata’ij (qiyas murakkab dengan natijah yang tidak terpisah)
Secara lughawi berarti kesimpulan yang bersambunng. Tetapi secara mantiqi, ia berarti natijah dari qiyas pendahulu dijadikan secara terang menjadi muqaddimah shughra bagi qiyas penyusul dan begitu seterusnya.[5]
Contohnya :
Benda ini pohon, semua pohon itu tumbuh-tumbuhan, jadi benda ini pohon.
Semua tumbuh-tumbuhan itu berkembang, jadi benda ini berkembang.
Setiap yang tumbuh berkembang itu membutuhkan makanan, jadi benda ini membutuhkan makanan
Contoh lain:
- Tiap-tiap pepaya adalah buah-buahan
- Tiap-tiap buah-buahan adalah tumbuh
- Tiap-tiap pepaya adalah tumbuh
- Tiap-tiap yang tumbuh perlu air
- Tiap-tiap pepaya perlu pada air
Maka, tiap-tiap pepaya perlu air.
b. Munfasil Al-Nata’ij (qiyas murakab dengan natijah yang terpisah)
Secara lughawi, berarti dipisahkan kesimpulannya atau kesimpulan yang dipisahkan. Secara mantiqi, berarti: kesimpulan qiyas pendahulu tidak dicantumkan secara utuh dalam qiyas penyusul, karena dipandang sudah dimengerti.
Contoh :
Benda ini pohon, setiap pohon itu tumbuh-tumbuhan, setiap tumbuh-tumbuhan itu berkembang, setiap yang berkembang itu membutuhkan makanan, jadi benda itu membutuhkan makanan.[6]
2) Qiyas Khalf
هُوَاثْبَاتُ المَطْلُوْبِ بِا لبَا طِلِ نَقِيْضُهُ
“Menetapkan suatu objek pikir dengan membatalkan lawannya.”
Dalam proses penyusunannya terdiri dari dua qiyas. Pertama, iqtirani dan kedua istitsna’i. Jika objek pikir yang ditetapkan itu tidak terbukti, yang terbukti adalah lawannya. Sebaliknya, jika lawannya yang terbukti, objek pikir yang ditetapkan itu mustahil terbuktinya. Jadi, kesimpulannya “kemustahilannya itu sendiri”.
Contoh:
Apabila kewajiban zakat itu tidak terbukti hilang bagi kanak-kanak, zakat itu terbukti wajibnya. Dan jika zakat itu wajib bagi kanak-kanak, wajib pula baginya shalat yang terjadinya mustahil. Akan tetapi, kewajiban salat itu tidak terbukti bagi kanak-kanak. Jadi, tiadanya kewajiban zakat bagi kanak-kanak itu terbukti. Qiyas khafi ini jarang digunakan dalam istidlal.[7]
وان بجزئي على كلي استدل فذا بالاستقراء عندهم عقل
وعكسه يدعى القياس المنطقي وهو الذي قدمته فحقق
وحيث جزئي على جزء حمل لجامع فذاك تمثيل جعل
ولا يفيد القطع بالدليل قياس الاستقراء والتمثيل
· Apabila perkara juz’iy digunakan sebagai dalil atas perkara kully, maka hal ini menurut ahli mantiq dikenal dengan istiqra’.
· Dan kebalikan dari istiqra’ disebut dengan qiyas manthiqi, yakni qiyas yang sudah aku sebutkan di depan. Maka nyatakanlah perbedaannya!
· Dan seandainya perkara juz’iy disamakan hukumnya dengan perkara juz’iy yang lain karena adanya titik persamaan, maka hal itu dijadikan sebagai tamtsil.
· Qiyas istiqra’ dan tamtsil tidak berfaedah menjadikan sebuah natijah dari sebuah dalil menjadi qath’i (pasti).[8]
3) Istiqra’ (logika induktif)
Yakni mengambil dalil perkara juz’iy untuk digunakan menghukumi perkara kully. Menurut Imam As-Sa’ad, definisi istiqra’ yang benar, sebagaimana yang disampaikan Hujjatul Islam, Al-Ghazali bahwa istiqra’ adalah istilah mengenai penelitian perkara-perkara juz’iy, dimana hukum yang ada di dalamnya nantinya digunakan menghukumi persoalan yang memuat perkara juz’iy tersebut.[9] Atau bisa juga dikatakan bahwa istiqra’ merupakan suatu metode yang digunakan untuk menarik kesimpulan dengan meneliti satu persatu terlebih dahulu (atau dengan istilah sistem induktif), seperti sebelum kita menyimpulkan bahwa tiap manusia itu berpikir, harus diteliti satu persatu lebih dahulu, apa benar tidak ada yang tidak berpikir. Bila benar, maka baru sampai pada kesimpulan bahwa semua manusia berpikir.[10]
Adapun Istiqra’ ini terbagi menjadi dua macam, yakni:
a. Istiqra’ tam
Merupakan istiqra’ yang berdasar penelitian semua juz’iyyat, dan setelah hukumnya dihasilkan, kemudian hukum tersebut ditetapkan pada persoalan kully.[11] Atau bisa juga dikatakan, yakni ketika semua yang dituju penelitian itu masuk dalam kesimpulan/natijah, tidak ada yang keluar (penelitian sempurna).[12] Sehingga, istiqra’ dengan definisi semacam ini tidak termasuk lawahiq al-qiyas (hal-hal yang disamakan dengan qiyas), namun justru termasuk bagian dari qiyas manthiqi.
Contoh pernyataan hukum:
“Kalimat adalah sebuah qaul (ucapan yang berfaedah) yang mufrad (tunggal)”
Hal ini didasarkan penelitian atas semua macam pembagian kalimat dan menghukumi bahwa setiap macam kalimat adalah qaul yang mufrad.
Contoh qiyas manthiqi-nya:
- Kalimat ada kalanya isim, atau fi’il, atau huruf.
- Setiap isim, atau fi’il, atau huruf merupakan qaul yang mufrad.
Maka, natijah-nya adalah: Kalimat merupakan qaul yang mufrad. [13]
b. Istiqra’ ghairu tam/masyhur/naqish
Merupakan istiqra’ yang berdasar pemberlakuan hukum pada persoalan kully, karena hukum tersebut ditemukan pada mayorits juz’iyyat.[14] Atau bisa juga dikatakan, yakni jika dalam penelitian tersebut ternyata tidak dapat dicakup kesimpulan semua.[15]
Contoh pernyataan hukum:
“Setiap hewan menggerakkan rahang bawahnya saat mengunyah makanan”
Hal ini didasarkan penelitian yang ditemukan pada manusia, binatang ternak dan binatang buas.
Contoh pengungkapan dalam bentuk qiyas-nya:
- Setiap hewan ada kalanya manusia, binatang ternak atau binatang buas.
- Ketiganya menggerakkan rahang bawahnya saat mengunyah makanan.
Maka, natijah-nya adalah: Setiap hewan menggerakkan rahang bawahnya saat mengunyah makanan.
Qiyas istiqra’ semacam ini tidak menetapkan keyakinan (kepastian) dalam natijah-nya, karena bisa jadi ada juz’iyyat yang belum sempat diteliti, mungkin hukumnya berbeda jauh dengan hasil penelitian. Contohnya buaya merupakan hewan yang tidak menggerakkan rahang bawahnya saat mengunyah makanan.[16]
4) Tamtsil
Tamtsil dalam bahasa arab sama dengan asal kata misal, berarti mengambil contoh, mengidentikan, kemiripan, dan lain sebagainya.[17] Maka dapat dikatakan bahwa, tamtsil merupakan menyamakan hukum perkara juz’iy dengan perkara juz’iy yang lain karena adanya titik persamaan. Menurut Imam As-Sa’ad definisi tamtsil yang benar adalah menyerupakan perkara juz’iy satu dengan perkara juz’iy yang lain dalam sebuah makna yang ada pada keduanya, agar hukum dari perkara yang diserupai (musyabbah bih), menetap pada perkara yang diserupakan (musyabbah), dengan menggunakan makna tersebut sebagai illat-nya. Tamtsil disebut juga dengan qiyas fiqhiy yang sering terpakai dalam ilmu ushul fiqh.
Tamtsil terdiri dari empat rukun (hudud), yakni:
a. Musyabbah (yang diserupakan) atau had asghar.
b. Musyabbah bih (yang diserupai) atau ashl.
c. Hukum atau had akbar.
d. Jami’ (titik persamaan) atau had awsath.
Contohnya:
Menyamakan nabidz (minuman keras dari selain anggur) dengan khamr (minuman keras dari anggur), dalam hukum haramnya karena memiliki sifat memabukkan.
Bentuk qiyas-nya:
- Nabidz memabukkan seperti khamr.
- Setiap yang memabukkan hukumnya haram.
Maka, natijah-nya adalah: Nabidz hukumnya haram.
Dalam contoh ini, nabidz merupakan had asghar; khamr merupakan ashl; haram adalah had akbar; dan memabukkan merupakan had awsath. [18]
Qiyas tamtsil semacam ini tidak menetapkan keyakinan (kepastian) dalam natijah-nya, karena belum tentu keserupaan dalam satu segi menetapkan keserupaan secara keseluruhan.[19]
DAFTAR PUSTAKA
Darul Azka dan Nailul Huda. 2013. Sulam al-Munawraq Kajian dan Penjelasan Ilmu Mantiq. Kediri: Santri salaf press.
Djalil, Basiq. LOGIKA(Ilmu Mantiq). 2014. Jakarta: KENCANA.
Sambas, Syukriadi. 2012. Mantik “Kaidah Berpikir Islam”. Bandung: PT REMAJA ROSDAKARYA.
[1] Darul Azka, Nailul Huda, Sulam al-Munawraq Kajian dan Penjelasan Ilmu Mantiq, (Kediri: Santri salaf press, 2013), hlm. 110.
[3] Syukriadi Sambas, Mantik “Kaidah Berpikir Islam”, (Bandung: PT REMAJA ROSDAKARYA, 2012), hlm. 144.
[4] Basiq Djalil, LOGIKA(Ilmu Mantiq)........................., hlm. 113.
[5] Baihaqi A.K, ILMU MANTIK, (Jakarta: DARUL ULUM PRESS), hlm. 187.
[8] Darul Azka, Nailul Huda, Sulam al-Munawraq Kajian dan Penjelasan Ilmu Mantiq......., hlm. 113-114.
[10] Basiq Djalil, LOGIKA(Ilmu Mantiq)...............................hal. 113-114.
[12] Basiq Djalil, LOGIKA(Ilmu Mantiq)...............................hal. 113-114.
[15] Basiq Djalil, LOGIKA(Ilmu Mantiq)...............................hal. 113-114.
[16] Darul Azka, Nailul Huda, Sulam al-Munawraq Kajian dan Penjelasan Ilmu Mantiq...., hlm. 115-116.
[19] Ahmad Al-Malawy, Syarh as-Sulam, hlm. 146-148.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar