Selasa, 17 Desember 2019

SOSIOLOGI: KYAI DESA


Pendahuluan
Di dalam sistem lapisan masyarakat kedudukan dan peranan merupakan unsur penting dalam teori sosiologi.[1] Kedudukan yakni posisi yang dimiliki seseorang dalam suatu masyarakat.[2] Sedangkan yang dimaksud dengan peranan yakni apabila seseorang itu telah mampu menjalankan hak dan kewajibannya sesuai dengan kedudukan yang ia miliki.[3]
    Sosok kyai bisa juga dikatakan sebagai pemimpin informal. Namun, walaupun demikian sosok kyai desa merupakan salah satu contoh sosok yang memiliki kedudukan sangat penting di dalam suatu masyarakat. Karena, menurut Donald K. Emerson bahwa keberhasilan suatu pembangunan tidak terlepas dari dukungan dari tokoh informal suatu daerah tersebut.[4]

Pembahasan

1)   Pengertian Tokoh Agama

Tokoh agama juga dikenal luas dengan sebutan ulama, yang berasal dari kata bahasa Arab yakni ‘alima, ya’lamu, ‘alim berarti orang yang memiliki ilmu yang sangat mendalam khususnya yang berkaitan dengan keagamaan.[5] Tokoh agama merupakan sosok ilmuwan dalam bidang keagamaan yang memiliki pengaruh, selain itu juga bisa dianggap sebagai sosok pemimpin (walaupun tidak diangkat secara formal), karena memiliki kemampuan yang bagus mengenai pengetahuan spiritual dalam mempengaruhi kondisi psikis maupun perilaku masyarakat.[6] Gaya karismatik pemimpin seperti ini tentunya masih sangat diperlukan, karena mampu membawa manfaat baik dalam panutan moral maupun membantu dalam pengembangan kesejahteraan, dan kenyamanan masyarakat.[7]

Menurut Prof. Kimbal Young (sosiolog Amerika Serikat) mengemukakan bahwa tokoh agama (informal) merupakan bentuk dominasi yang didapatkan dari kemampuan dirinya yang mampu memotivasi serta mendorong masyarakat untuk melakukan sesuatu berdasarkan penerimaan oleh kelompok serta karena memiliki keahlian khusus yang tepat untuk situasi tertentu.[8] Sedangkan menurut KH. Abdurrahman Wahid, kyai dibagi menjadi beberapa macam, yakni:

·      Kyai yang memiliki pondok pesantren (majlis ta’lim) dan atau yang memiliki santri.

·    Kyai yang tidak memiliki santri dan pondok pesantren (majlis ta’lim). Namun banyak masyarakat yang sowan untuk meminta do’a maupun nasihat kepadanya.

·      Kyai yang memiliki pengetahuan serta wawasan politik, dan terjun di dalamnya.

·     Kyai yang tidak memiliki pengetahuan serta wawasan politik, dan terjun di dalamnya. Bahkan kyai yang membawa proposal untuk meminta bantuan atau sumbangan.[9]

2)   Peran dan Tanggung jawab

Mengingat karena pentingnya kedudukan sosok kyai di dalam masyarakat, maka sangat diwajibkan sosok tersebut memenuhi kriteria yang diharapkan oleh masyarakat[10] dalam membantu menguatkan ajaran agama[11], dan menjadi teladan atas perilakunya terhadap masyarakat setempat.[12] Adapun kriteria tersebut yakni antara lain:

·      Menyampaikan ajaran Allah SWT yang ada di dalam al-Qur’an dan Hadis.

·      Menjelaskan ajaran-ajaran agama dengan bahasa yang mudah dipahami oleh masyarakat.

·   Menyelesaikan permasalahan yang dihadapi masyarakat sesuai dengan yang ada di dalam al-Qur’an dan Hadis.

·      Memberikan contoh perilaku dalam pengamalan ajaran-ajaran Allah SWT.[13]

Imam Barnawi mengemukakan bahwa peran tokoh agama dalam membina akhlak itu ada 3, yakni:[14]

·   Peran kaderisasi, yakni ia dituntut untuk melakukan bentuk pengabdian kepada masyarakat dengan kemampuan yang dimilikinya, baik dalam lingkup yang dikelola sendiri maupun suatu organisasi.

·     Peran pengabdian, yakni bentuk pengabdian diri secara terjun langsung ke dalam masyarakat, dengan tujuan untuk membantu dalam membimbing ke arah yang lebih baik. Sehingga, pencerminan atas perilaku yang baik sesuai ajaran agama oleh tokoh agama sangatlah penting, karena hal tersebut dijadikan sebagai suri teladan bagi masyarakat setempat.

·   Peran dakwah, yakni proses pengajaran terhadap ajaran agama yang dilandasi dengan kemampuan yang bagus dalam hal pengetahuan agama, serta kemampuannya menarik hati para jamaah untuk ikut melakukan amar ma’ruf nahi munkar. Sehingga mampu menciptakan masyarakat yang berkeyakinan teguh.

Adapun tanggung jawab dari kyai desa sebagai tokoh agama adalah sebagai berikut:

·     Sebagai pemimpin, yakni bentuk kemampuannya dalam menjadi teladan bagi masyarakat.

·  Sebagai pejuang, yakni seberapa besar perjuangannya dalam membimbing masyarakat dalam beragama, mengabdi, mengayomi, serta menyelesaikan permasalahan yang terjadi.

·   Sebagai objek, yakni memahami bahwa apa yang ia berikan kepada orang lain merupakan bentuk pemberian untuk dirinya sendiri juga.

·     Sebagai pembawa misi, yakni harus benar-benar memahami bahwa ia memikul amanah yang besar dari Allah SWT untuk menyiarkan ajaran-Nya.

·     Sebagai pembangun, yakni mampu selalu memberikan teladan yang baik dan positif.[15]

Sedangkan peran dan tanggung jawab dari sosok kyai dalam arti sempit, yakni mengurusi kegiatan ibadah sehari-hari seperti penyuluhan agama, memimpin dalam hak yang berkaitan dengan ibadah seperti menjadi imam masjid, khatib shalat jumat, pembaca doa dan wirid, menikahkan, mengurusi peringatan hari besar Islam, mengajar mengaji dan kegiatan lain. [16]

 
Penutup
Kyai merupakan tokoh agama yang memiliki peran serta kedudukan yang sangat penting dan tidak sembarang orang yang bisa menduduki posisi ini di dalam masyarakat. Karena selain harus memiliki ilmu yang mendalam, sosok kyai juga harus memiliki sikap yang baik serta positif dalam membantu serta membina masyarakat untuk menjadi lebih baik.

[1] Selo Soemardjan dan Soelaeman Soemardi, Setangkai Bunga Sosiologi, (Jakarta: Yayasan Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, 1964), hlm. 256.
[2] Ralph Linton, The Study of Man, an Introduction, (New York: Appleton Century Crofts. 1956), hlm. 105.
[3] Soejono Soekanto dan Budi Sulistyowati, Sosiologi Suatu Pengantar, (Jakarta: Rajawali Press, 2014), hlm. 210-211.
[4] Kartini Kartono, Pemimpin dan Kepemimpinan, Apakah Pemimpin Abnormal Itu? Edisi baru, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1998), hlm. 11.
[5] Abu Luwis Ma’lub, al-Munjid (Beirut: Dar al-Masyhur, 1984), cet.27, hlm. 526-527. Lihat pula Ibn Manzur Jamaluddin Muhammad Ibn. Mukarrom al-Anshari, Lisan Arab (Kairo: Dar al-Misriyyah li Ta’lif wa Tarjamah, t.t), jilid XV, hlm. 310-316.
[6] Kartini Kartono, Pemimpin dan Kepemimpinan, Apakah Pemimpin Abnormal Itu? ……., hlm. 10.
[7] Mujamil Qomar, Pesantren dari Transformasi Metodologi Menuju Demokratisasi Institusi, (Jakarta: Penerbit Erlangga, 2008), hal. 37-39.
[8] Kartini Kartono, Pemimpin dan Kepemimpinan, Apakah Pemimpin Abnormal Itu? …………., hlm. 10.
[9] www.pesantren.or.id/ diakses pada 10 Desember 2019.
[10] Ronald, Tokoh Agama dalam Masyarakat, edisi kedua (Jakarta : Rineka Cipta, 2004), hlm. 28.
[11] Elli M Stiadi, Pengantar Sosiologi, (Jakarta: Bumi Aksara, 2001), hlm. 34.
[12] Malik Bin Nabi. Membangun Dunia Baru Islam, (Bandung: Mizan, 1994), hlm. 36.
[13] Widodo Brontowiyono, Asep Sumardi, dan Rendy Bayu Aditya, Persepsi dan Peran Tokoh Agama Islam di Kabupaten Sleman dalam Upaya Pengelolaan Lingkungan Hidup, Jurnal Sains dan teknologi Lingkungan 6, No. 1, (2014), hlm. 63-70.
[14] Imam Bawani, Cindernisasi Islam Dalam Persfektif Islam, (Surabaya: Bina Firma, 1991), hlm. 5.
[15] Nunung Marsini, Aktifitas Tokoh Agama dalam Mewujudkan Kerukunan Hidup antara Umat Beragama di Desa Bumi Ratu Kecamatan Belambangan Umpu Kabupaten Way Kanan, (Skripsi Bandar Lampung: Perpustakaan UIN Raden Intan Lampung, 2006), hlm. 24.
[16] Choirul Fuad Yusuf, Peran Agama Terhadap Masyarakat Studi Awal Proses Sekularisasi Pada Masyarakat Muslim Kelas Menengah, (Jakarta : Badan Litbang Agama dan Diklat Keagamaan, 2001), hlm. 100.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar