Jumat, 12 Februari 2021

ANALISIS MA’NA CUM MAGHZA “JIHAD DAN TAFAQQUH FIDDIN”

  Baru-baru ini sedang ramai dengan adanya seruan untuk berjihad, tak sedikit dari umat Islam Indonesia yang turut mendukung adanya gerakan ini. Beberapa kalangan memahami makna jihad sebagai perjuangan dengan mengangkat senjata dengan imbalan mati syahid. Namun perlu diingat kembali, bahwasanya konsep jihad yang ada dalam al-Qur’an itu memiliki makna yang luas dan tidak hanya terpaku dengan perang. Karena sekarang keadaan dunia dianggap sudah lebih damai, sehingga pemaknaan jihad lebih diarahkan untuk tujuan membangun, menegakkan, dan menyusun dengan berupa kinerja otak untuk memberantas kebodohan, kemiskinan, penyakit, dan sebagainya. Terlebih di era kontemporer seperti sekarang, dengan seiring berkembangnya IPTEK pemaknaan jihad fi sabilillah sebagai upaya menyebarluaskan agama Islam sudah tidak bisa lagi dimaknai dengan mengangkat senjata, menyebarluaskan agama Islam bisa dilakukan melalui pendidikan dan dakwah dengan cara yang baik.[1]
Selain jihad, adapula tafaqquh fiddin yang dinilai sama pentingnya untuk dilakukan dalam rangka mempertahankan agama.[2] Sebagaimana firman Allah SWT:

وَمَا كَانَ الْمُؤْمِنُوْنَ لِيَنْفِرُوْا كَاۤفَّةًۗ فَلَوْلَا نَفَرَ مِنْ كُلِّ فِرْقَةٍ مِّنْهُمْ طَاۤىِٕفَةٌ لِّيَتَفَقَّهُوْا فِى الدِّيْنِ وَلِيُنْذِرُوْا قَوْمَهُمْ اِذَا رَجَعُوْٓا اِلَيْهِمْ لَعَلَّهُمْ يَحْذَرُوْنَ ࣖ ١٢٢

“Dan tidak sepatutnya orang-orang mukmin itu semuanya pergi (ke medan perang). Mengapa sebagian dari setiap golongan di antara mereka tidak pergi untuk memperdalam pengetahuan agama mereka dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali, agar mereka dapat menjaga dirinya.” (QS. at-Taubah: 122)

Analisa bahasa yang digunakan

Para ulama menyatakan bahwa redaksi (مَا كَانَ) digunakan untuk memerintahkan sesuatu dengan sungguh-sungguh, terlebih dalam kaitannya dengan ayat ini yaitu untuk memperdalam ilmu serta penyebaran terhadap informasi.[3] Kalimat (فَلَوْلَا) menunjukkan bahwa Allah Swt telah menganjurkan adanya pembagian tugas.[4] Sedangkan kata (فِرْقَةٍ) bermakna sekelompok manusia yang berbeda dengan kelompok yang lain, sehingga dalam konteks kekinian masing-masing suatu suku atau bangsa termasuk dalam kategori فِرْقَةٍ. Kata (طَاۤىِٕفَةٌ) menurut al-Biqa’i dapat berarti satu atau dua orang. Selain itu, ada pula pendapat yang tidak menentukan jumlah tertentu, namun yang jelas ia lebih kecil dari فِرْقَةٍ.[5] Kemudian kata (لِّيَتَفَقَّهُوْا) diambil dari kata (فقه) yang memiliki arti pengetahuan yang mendalam menyangkut hal-hal yang sulit dan tersembunyi, dan penambahan huruf (ت) pada kata tersebut mengandung makna kesungguhan upaya, sehingga kaum muslim mampu menjadi pakar-pakar dalam berbagai bidang keilmuan.[6]
Syaikh Sya‛rawī dalam tafsirnya menjelaskan bahwa asalnya yang dimaksud dengan الفقه adalah الفهم, namun kemudianالفقه  menjadi istilah tersendiri yang lebih spesifik yang berarti pemahaman akan hukum-hukum Allah Swt.[7] Sehingga, yang dimaksud dengan tafaqquh fiddin adalah pemahaman yang berkaitan dengan permasalahan agama (salat, puasa, pernikahan) serta segala sesuatu yang harus diketahui oleh seorang mukallaf baik itu ibadah, mu’amalat dan yang terkait dengan pengetahuannya akan Allah Swt dan sifat- sifatnya.[8]
Namun menurut M. Quraish Shihab, pengaitan tafaqquh bukan hanya berarti pengetahuan tentang ilmu agama saja. Karena pembagian disiplin ilmu-ilmu agama dan ilmu umum belum dikenal pada masa turunnya al-Qur’an bahkan tidak diperkenalkan oleh Allah swt, dan yang diperkenalkan adalah ilmu yang diperoleh dengan usaha manusia yaitu kasby (acquired knowledge) dan ilmu yang merupakan anugerah Allah tanpa usaha manusia yaitu ladunny (perennial).[9]

Intratekstualitas

Berkaitan dengan hal ini, Qs. at-Taubah: 122 ini masih berkaitan erat dengan ayat sebelumnya yaitu QS. at-Taubah: 120-121.

مَا كَانَ لِاَهْلِ الْمَدِيْنَةِ وَمَنْ حَوْلَهُمْ مِّنَ الْاَعْرَابِ اَنْ يَّتَخَلَّفُوْا عَنْ رَّسُوْلِ اللّٰهِ وَلَا يَرْغَبُوْا بِاَنْفُسِهِمْ عَنْ نَّفْسِهٖۗ ذٰلِكَ بِاَنَّهُمْ لَا يُصِيْبُهُمْ ظَمَاٌ وَّلَا نَصَبٌ وَّلَا مَخْمَصَةٌ فِيْ سَبِيْلِ اللّٰهِ وَلَا يَطَـُٔوْنَ مَوْطِئًا يَّغِيْظُ الْكُفَّارَ وَلَا يَنَالُوْنَ مِنْ عَدُوٍّ نَّيْلًا اِلَّا كُتِبَ لَهُمْ بِهٖ عَمَلٌ صَالِحٌۗ اِنَّ اللّٰهَ لَا يُضِيْعُ اَجْرَ الْمُحْسِنِيْنَ ١٢٠ وَلَا يُنْفِقُوْنَ نَفَقَةً صَغِيْرَةً وَّلَا كَبِيْرَةً وَّلَا يَقْطَعُوْنَ وَادِيًا اِلَّا كُتِبَ لَهُمْ لِيَجْزِيَهُمُ اللّٰهُ اَحْسَنَ مَا كَانُوْا يَعْمَلُوْنَ ١٢١


“Tidak pantas bagi penduduk Madinah dan orang-orang Arab Badui yang berdiam di sekitar mereka, tidak turut menyertai Rasulullah (pergi berperang) dan tidak pantas (pula) bagi mereka lebih mencintai diri mereka daripada (mencintai) diri Rasul. Yang demikian itu karena mereka tidak ditimpa kehausan, kepayahan dan kelaparan di jalan Allah, dan tidak (pula) menginjak suatu tempat yang membangkitkan amarah orang-orang kafir, dan tidak menimpakan suatu bencana kepada musuh, kecuali (semua) itu akan dituliskan bagi mereka sebagai suatu amal kebajikan. Sungguh, Allah tidak menyia-nyiakan pahala orang-orang yang berbuat baik. Dan tidaklah mereka memberikan infak, baik yang kecil maupun yang besar dan tidak (pula) melintasi suatu lembah (berjihad), kecuali akan dituliskan bagi mereka (sebagai amal kebajikan), untuk diberi balasan oleh Allah (dengan) yang lebih baik daripada apa yang telah mereka kerjakan.”

 

Kedua ayat tersebut merupakan penjelasan atas anjuran yang gencar serta balasan pahala yang besar bagi yang berjihad, dan penjelasan yang berisi kecaman bagi yang enggan berjihad. Sehingga menjadikan banyak dari mereka yang berduyun-duyun maju ke medan peperangan, namun lupa bahwa ada perjuangan lain yang harus dilakukan, yaitu tafaqquh fiddin.[10] Padahal sebagaimana yang dijelaskan oleh al-Qurthubi, bahwasanya tafaqquh fiddin juga memiliki keutamaan besar dan tingkatan yang mulia yang tidak menyamai amal apapun.[11]

Intertekstualitas

Rasulullah Saw bersabda:

مَنْ سَلَكَ طَرِيقًا يَبْتَغِي فِيهِ عِلْمًا سَلَكَ اللَّهُ لَهُ طَرِيقًا إِلَى الْجَنَّةِ وَإِنَّ الْمَلَائِكَةَ لَتَضَعُ أَجْنِحَتَهَا رِضَاءً لِطَالِبِ الْعِلْمِ وَإِنَّ الْعَالِمَ لَيَسْتَغْفِرُ لَهُ مَنْ فِي السَّمَوَاتِ وَمَنْ فِي الْأَرْضِ حَتَّى الْحِيتَانُ فِي الْمَاءِ وَفَضْلُ الْعَالِمِ عَلَى الْعَابِدِ كَفَضْلِ الْقَمَرِ عَلَى سَائِرِ الْكَوَاكِبِ إِنَّ الْعُلَمَاءَ وَرَثَةُ الْأَنْبِيَاءِ إِنَّ الْأَنْبِيَاءَ لَمْ يُوَرِّثُوا دِينَارًا وَلَا دِرْهَمًا إِنَّمَا وَرَّثُوا الْعِلْمَ فَمَنْ أَخَذَ بِهِ أَخَذَ بِحَظٍّ وَافِرٍ  (رواه الترمذى)[12]


“Barangsiapa menempuh jalan untuk mencari ilmu, maka Allah akan menuntunnya menuju surga dan para malaikat akan meletakkan sayap-sayapnya karena senang kepada pencari ilmu, sesungguhnya orang berilmu itu akan dimintakan ampunan oleh (makhluk) yang berada di langit dan di bumi hingga ikan di air, keutamaan orang yang berilmu atas ahli ibadah laksana keutamaan rembulan atas seluruh bintang, sesungguhnya ulama adalah ahli waris para nabi dan sesungguhnya para nabi tidak mewariskan dinar dan dirham, mereka hanya mewariskan ilmu, maka siapa yang mengambilnya berarti ia telah mengambil bagian yang banyak.”

Berkaitan dengan tafaqquh fiddin, lebih spesifik Rasulullah Saw bersabda:

من يرد الله به خيرا يفقهه في الدين (رواه البخاري) [13]

“Apabila Allah ingin memberikan kebaikan kepada seseorang, maka ia akan diberi pemahaman (secara mendalam) akan agamanya.” (HR. al-Bukhari)

 
Hadis pertama, menjelaskan mengenai ganjaran bagi orang yang mencari ilmu dan keutamaan bagi orang yang berilmu. Sedangkan pada hadis yang kedua, telas dijelaskan dengan gamblang bahwasanya jika Allah ingin memberikan kebaikan kepada seseorang, maka ia akan diberikan pemahaman yang mendalam tentang agama.

Analisa konteks

Berkaitan dengan QS. at-Taubah: 122 ini, para ulama menyebutkan riwayat yang menyatakan bahwasanya ketika Rasulullah Saw tiba ke Madinah, beliau mengutus pasukan yang terdiri dari beberapa orang ke beberapa daerah. Banyak sekali yang ingin terlibat dalam pasukan kecil itu. Sehingga apabila semuanya diikutsertakan, maka hanya akan ada segelintir orang saja yang tinggal bersama Rasulullah Saw di Madinah. Selain itu, dikarenakan ayat ini juga masih berkaitan dengan ayat sebelumnya, yaitu QS. at-Taubah: 120-121 dimana ayat ini mengandung anjuran yang gencar serta balasan pahala yang besar bagi yang berjihad dan berisi kecaman bagi yang enggan berjihad, sehingga menjadikan banyak dari mereka yang berduyun-duyun untuk maju ke medan peperangan.[14] Dengan demikian, konteks QS. at-Taubah: 122 ini adalah tentang mengingatkan umat muslim bahwa bentuk penjagaan terhadap agama Islam, tidak hanya terpaku pada persoalan jihad yang kala itu diartikan sebagai mengangkat senjata saja, karena ada juga amalan lain yang sama pentingnya yaitu dengan ber-tafaqquh fiddin.
Namun perlu diingat pula, bahwasanya kita tidak dapat berkata bahwa karena ayat ini hanya menyatakan bahwa cukup طَاۤىِٕفَةٌ yang dapat berarti satu dua orang yang menuntut dan memperdalam ilmu, maka selebihnya harus menjadi anggota pasukan yang bertugas berperang. Memang boleh jadi kondisi ketika turunnya ayat ini demikian halnya, tetapi ini bukan berarti bahwa setiap saat hingga kini harus demikian.[15]

Maqashid al-ayat

Tidak sedikit umat Islam yang seringkali mengutip QS. at-Taubah: 120-121 namun lupa dengan ayat selanjutnya yaitu QS. at-Taubah: 122. Maka tidak heran, banyak pula yang terjebak pada pemikiran bahwasanya hanya dengan berjihad yang mengangkat senjata saja yang dianggap sebagai satu-satunya bentuk tindakan untuk mempertahankan agama Islam, padahal ada juga bentuk lainnya yaitu dengan ber-tafaqquh fiddin.
Dalam QS. at-Taubah: 122 setidaknya ada beberapa pesan yang terkandung di dalamnya, yaitu:

  • Allah Swt menuntun kaum muslimin untuk melakukan pembagian tugas dengan menegaskan bahwa tidak sepatutnya bagi orang-orang mukmin yang mendapat anjuran untuk berjihad lantas semuanya ikut berjihad, sehingga tidak ada yang melakukan tugas-tugas yang lain.
  • Tujuan ber-tafaqquh fiddin bagi yang tidak ikut berperang adalah untuk memperoleh manfaat bagi diri mereka sendiri dan untuk memberi peringatan, nasehat, dan petunjuk kepada kaum mereka yang menjadi anggota pasukan yang ditugaskan Rasul Saw berupa perintah dan larangan Allah, dengan harapan kaumnya dapat menjaga diri dari perbuatan yang dapat merugikan.[16]
  • Ayat ini menggarisbawahi pentingnya memperdalam ilmu dan menyebarluaskan informasi yang benar. Ia tidak kurang penting dari upaya mempertahankan wilayah, bahkan pertahanan wilayah pun berkaitan erat dengan kemampuan informasi serta kehandalan ilmu pengetahuan atau sumber daya manusia.[17]

QS. at-Taubah: 122 memiliki tujuan utama untuk menggambarkan bagaimana seharusnya pembagian tugas, sehingga tidak semua mengerjakan satu jenis pekerjaan saja. Selain itu,  kita juga tidak dapat berkata bahwa masyarakat Islam saat ini atau bahkan pada zaman Nabi Saw hanya melakukan dua tugas pokok, yaitu berperang dan menuntut ilmu agama. Karena tentunya ada banyak tugas lain yang harus dikerjakan, dan setiap masyarakat berkewajiban membagi diri guna memenuhi semua kebutuhannya.[18]


[1] Kementerian Agama RI, Jihad; Makna dan Implementasinya (Tafsir Tematik) seri 1, (Jakarta: Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur’an, 2012), hlm. 4-10.
[2] Kementerian Agama RI, Pembangunan Generasi Muda seri 4, (Jakarta: Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur’an, 2011), hlm. 107.
[3] M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah volume 5, (Jakarta: Lentera Hati, 2002), hlm. 751.
[4] Hamka, Tafsir al-Azhar jilid 4, (Singapura: Pustaka Nasional PTE LTD, t.th), hlm. 3167.
[5] M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah volume 5, (Jakarta: Lentera Hati, 2002), hlm. 750.
[6] M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah volume 5, (Jakarta: Lentera Hati, 2002), hlm. 750.
[7] Asy-Sya‘rawi, Tafsir asy Sya‘rawi, (Cairo: Akhbarul Yaum), 9/5579.
[8] Kementerian Agama RI, Pembangunan Generasi Muda seri 4, (Jakarta: Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur’an, 2011), hlm. 108.
[9] M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah volume 5, (Jakarta: Lentera Hati, 2002), hlm. 750.
[10] M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah volume 5, (Jakarta: Lentera Hati, 2002), hlm. 749.
[11] Machfudz, Tafsir Tematis Al-Qur’an dan Hadits terhadap ayat “Tafaqquh Fiddin” (Relasi Epistimologis Ayat dan Pendidikan Islam), (IAIN Jember: Jurnal Qolamuna, 2020) hlm. 213.
[12] At-Tirmidzi, Sunan Tirmidzi, No. hadis 2682, (Riyadh: Maktabah al-Ma’arif, t.th), hlm 48.
[13] Ibn Katsir, Tafsir Ibn Katsir jilid 5, cet. II, (Beirut: Dar Tayyibah lin-Nasyr wat-Tauzi’, 1999),  hlm. 345.
[14] M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah volume 5, (Jakarta: Lentera Hati, 2002), hlm. 749.
[15] M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah volume 5, (Jakarta: Lentera Hati, 2002), hlm. 750.
[16] M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah volume 5, (Jakarta: Lentera Hati, 2002), hlm. 749-750.
[17] M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah volume 5, (Jakarta: Lentera Hati, 2002), hlm. 751.
[18] M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah volume 5, (Jakarta: Lentera Hati, 2002), hlm. 750-751.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar