Baru-baru ini sedang ramai
dengan adanya seruan untuk berjihad, tak sedikit dari umat Islam Indonesia yang
turut mendukung adanya gerakan ini. Beberapa kalangan memahami makna jihad
sebagai perjuangan dengan mengangkat senjata dengan imbalan mati syahid. Namun
perlu diingat kembali, bahwasanya konsep jihad yang ada dalam al-Qur’an itu
memiliki makna yang luas dan tidak hanya terpaku dengan perang. Karena sekarang
keadaan dunia dianggap sudah lebih damai, sehingga pemaknaan jihad lebih
diarahkan untuk tujuan membangun, menegakkan, dan menyusun dengan berupa kinerja
otak untuk memberantas kebodohan, kemiskinan, penyakit, dan sebagainya.
Terlebih di era kontemporer seperti sekarang, dengan seiring berkembangnya
IPTEK pemaknaan jihad fi sabilillah sebagai upaya menyebarluaskan agama
Islam sudah tidak bisa lagi dimaknai dengan mengangkat senjata, menyebarluaskan
agama Islam bisa dilakukan melalui pendidikan dan dakwah dengan cara yang baik.
Selain jihad, adapula tafaqquh
fiddin yang dinilai sama pentingnya untuk dilakukan dalam rangka
mempertahankan agama.
Sebagaimana firman Allah SWT:
وَمَا كَانَ الْمُؤْمِنُوْنَ لِيَنْفِرُوْا كَاۤفَّةًۗ
فَلَوْلَا نَفَرَ مِنْ كُلِّ فِرْقَةٍ مِّنْهُمْ طَاۤىِٕفَةٌ لِّيَتَفَقَّهُوْا
فِى الدِّيْنِ وَلِيُنْذِرُوْا قَوْمَهُمْ اِذَا رَجَعُوْٓا اِلَيْهِمْ
لَعَلَّهُمْ يَحْذَرُوْنَ ࣖ ١٢٢
“Dan tidak
sepatutnya orang-orang mukmin itu semuanya pergi (ke medan perang). Mengapa
sebagian dari setiap golongan di antara mereka tidak pergi untuk memperdalam
pengetahuan agama mereka dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila
mereka telah kembali, agar mereka dapat menjaga dirinya.” (QS. at-Taubah: 122)
Analisa bahasa yang digunakan
Para ulama
menyatakan bahwa redaksi (مَا كَانَ) digunakan untuk memerintahkan sesuatu dengan sungguh-sungguh, terlebih dalam
kaitannya dengan ayat ini yaitu untuk memperdalam ilmu serta penyebaran
terhadap informasi. Kalimat (فَلَوْلَا)
menunjukkan bahwa Allah Swt telah
menganjurkan adanya pembagian tugas.
Sedangkan kata (فِرْقَةٍ) bermakna sekelompok manusia yang berbeda
dengan kelompok yang lain, sehingga dalam konteks kekinian masing-masing suatu
suku atau bangsa termasuk dalam kategori فِرْقَةٍ. Kata (طَاۤىِٕفَةٌ) menurut al-Biqa’i
dapat berarti satu atau dua orang. Selain itu, ada pula
pendapat yang tidak menentukan jumlah tertentu, namun yang jelas ia lebih kecil
dari فِرْقَةٍ. Kemudian kata (لِّيَتَفَقَّهُوْا)
diambil dari kata (فقه) yang memiliki arti
pengetahuan yang mendalam menyangkut hal-hal yang sulit dan tersembunyi, dan penambahan
huruf (ت) pada kata tersebut
mengandung makna kesungguhan upaya, sehingga kaum muslim mampu menjadi
pakar-pakar dalam berbagai bidang
keilmuan.
Syaikh Sya‛rawī
dalam tafsirnya menjelaskan bahwa asalnya yang dimaksud dengan الفقه adalah الفهم, namun kemudianالفقه menjadi istilah tersendiri yang lebih spesifik
yang berarti pemahaman akan hukum-hukum Allah Swt.
Sehingga, yang dimaksud dengan tafaqquh fiddin adalah pemahaman
yang berkaitan dengan permasalahan agama (salat, puasa, pernikahan) serta
segala sesuatu yang harus diketahui oleh seorang mukallaf baik itu
ibadah, mu’amalat dan yang terkait dengan pengetahuannya akan Allah Swt dan
sifat- sifatnya.
Namun menurut M. Quraish Shihab,
pengaitan tafaqquh bukan hanya berarti pengetahuan
tentang ilmu agama saja. Karena pembagian disiplin ilmu-ilmu agama dan ilmu umum belum dikenal pada
masa turunnya al-Qur’an bahkan tidak diperkenalkan oleh Allah swt, dan yang diperkenalkan
adalah ilmu yang diperoleh dengan usaha manusia yaitu kasby (acquired
knowledge) dan ilmu yang merupakan anugerah Allah tanpa usaha manusia yaitu ladunny (perennial).
Intratekstualitas
Berkaitan dengan hal ini, Qs.
at-Taubah: 122 ini masih berkaitan erat dengan ayat sebelumnya yaitu QS.
at-Taubah: 120-121.
مَا كَانَ لِاَهْلِ الْمَدِيْنَةِ وَمَنْ حَوْلَهُمْ مِّنَ
الْاَعْرَابِ اَنْ يَّتَخَلَّفُوْا عَنْ رَّسُوْلِ اللّٰهِ وَلَا يَرْغَبُوْا بِاَنْفُسِهِمْ
عَنْ نَّفْسِهٖۗ ذٰلِكَ بِاَنَّهُمْ لَا يُصِيْبُهُمْ ظَمَاٌ وَّلَا نَصَبٌ وَّلَا
مَخْمَصَةٌ فِيْ سَبِيْلِ اللّٰهِ وَلَا يَطَـُٔوْنَ مَوْطِئًا يَّغِيْظُ
الْكُفَّارَ وَلَا يَنَالُوْنَ مِنْ عَدُوٍّ نَّيْلًا اِلَّا كُتِبَ لَهُمْ بِهٖ
عَمَلٌ صَالِحٌۗ اِنَّ اللّٰهَ لَا يُضِيْعُ اَجْرَ الْمُحْسِنِيْنَ ١٢٠ وَلَا
يُنْفِقُوْنَ نَفَقَةً صَغِيْرَةً وَّلَا كَبِيْرَةً وَّلَا يَقْطَعُوْنَ وَادِيًا
اِلَّا كُتِبَ لَهُمْ لِيَجْزِيَهُمُ اللّٰهُ اَحْسَنَ مَا كَانُوْا يَعْمَلُوْنَ
١٢١
“Tidak pantas bagi penduduk Madinah dan orang-orang Arab Badui
yang berdiam di sekitar mereka, tidak turut menyertai Rasulullah (pergi
berperang) dan tidak pantas (pula) bagi mereka lebih mencintai diri mereka
daripada (mencintai) diri Rasul. Yang demikian itu karena mereka tidak ditimpa
kehausan, kepayahan dan kelaparan di jalan Allah, dan tidak (pula) menginjak
suatu tempat yang membangkitkan amarah orang-orang kafir, dan tidak menimpakan
suatu bencana kepada musuh, kecuali (semua) itu akan dituliskan bagi mereka
sebagai suatu amal kebajikan. Sungguh, Allah tidak menyia-nyiakan pahala
orang-orang yang berbuat baik. Dan tidaklah mereka memberikan infak, baik yang
kecil maupun yang besar dan tidak (pula) melintasi suatu lembah (berjihad),
kecuali akan dituliskan bagi mereka (sebagai amal kebajikan), untuk diberi
balasan oleh Allah (dengan) yang lebih baik daripada apa yang telah mereka
kerjakan.”
Kedua ayat tersebut merupakan penjelasan atas anjuran
yang gencar serta balasan pahala yang besar bagi yang berjihad, dan penjelasan
yang berisi kecaman bagi yang enggan berjihad. Sehingga menjadikan banyak dari
mereka yang berduyun-duyun maju ke medan peperangan, namun lupa bahwa ada
perjuangan lain yang harus dilakukan, yaitu tafaqquh fiddin. Padahal sebagaimana yang dijelaskan oleh al-Qurthubi, bahwasanya tafaqquh fiddin juga memiliki keutamaan besar dan tingkatan yang
mulia yang tidak menyamai amal apapun.
Intertekstualitas
Rasulullah Saw bersabda:
مَنْ سَلَكَ
طَرِيقًا يَبْتَغِي فِيهِ عِلْمًا سَلَكَ اللَّهُ لَهُ طَرِيقًا إِلَى الْجَنَّةِ
وَإِنَّ الْمَلَائِكَةَ لَتَضَعُ أَجْنِحَتَهَا رِضَاءً لِطَالِبِ الْعِلْمِ
وَإِنَّ الْعَالِمَ لَيَسْتَغْفِرُ لَهُ مَنْ فِي السَّمَوَاتِ وَمَنْ فِي
الْأَرْضِ حَتَّى الْحِيتَانُ فِي الْمَاءِ وَفَضْلُ الْعَالِمِ عَلَى الْعَابِدِ
كَفَضْلِ الْقَمَرِ عَلَى سَائِرِ الْكَوَاكِبِ إِنَّ الْعُلَمَاءَ وَرَثَةُ
الْأَنْبِيَاءِ إِنَّ الْأَنْبِيَاءَ لَمْ يُوَرِّثُوا دِينَارًا وَلَا دِرْهَمًا
إِنَّمَا وَرَّثُوا الْعِلْمَ فَمَنْ أَخَذَ بِهِ أَخَذَ بِحَظٍّ وَافِرٍ (رواه الترمذى)
“Barangsiapa
menempuh jalan untuk mencari ilmu, maka Allah akan menuntunnya menuju surga dan
para malaikat akan meletakkan sayap-sayapnya karena senang kepada pencari ilmu,
sesungguhnya orang berilmu itu akan dimintakan ampunan oleh (makhluk) yang
berada di langit dan di bumi hingga ikan di air, keutamaan orang yang berilmu
atas ahli ibadah laksana keutamaan rembulan atas seluruh bintang, sesungguhnya
ulama adalah ahli waris para nabi dan sesungguhnya para nabi tidak mewariskan
dinar dan dirham, mereka hanya mewariskan ilmu, maka siapa yang mengambilnya
berarti ia telah mengambil bagian yang banyak.”
Berkaitan dengan tafaqquh fiddin, lebih spesifik Rasulullah
Saw bersabda:
من يرد الله به خيرا
يفقهه في الدين (رواه البخاري)
“Apabila Allah
ingin memberikan kebaikan kepada seseorang, maka ia akan diberi pemahaman
(secara mendalam) akan agamanya.” (HR. al-Bukhari)
Hadis pertama, menjelaskan mengenai ganjaran bagi orang
yang mencari ilmu dan keutamaan bagi orang yang berilmu. Sedangkan pada hadis
yang kedua, telas dijelaskan dengan gamblang bahwasanya jika Allah ingin
memberikan kebaikan kepada seseorang, maka ia akan diberikan pemahaman yang
mendalam tentang agama.
Analisa konteks
Berkaitan dengan QS. at-Taubah: 122 ini, para ulama menyebutkan riwayat
yang menyatakan bahwasanya ketika Rasulullah Saw tiba ke Madinah, beliau
mengutus pasukan yang terdiri dari beberapa orang ke beberapa daerah. Banyak
sekali yang ingin terlibat dalam pasukan kecil itu. Sehingga apabila semuanya
diikutsertakan, maka hanya akan ada segelintir orang saja yang tinggal bersama
Rasulullah Saw di Madinah. Selain itu, dikarenakan ayat ini juga masih
berkaitan dengan ayat sebelumnya, yaitu QS. at-Taubah: 120-121 dimana ayat ini
mengandung anjuran yang gencar serta balasan pahala yang besar bagi
yang berjihad dan berisi kecaman bagi yang enggan berjihad, sehingga menjadikan
banyak dari mereka yang berduyun-duyun untuk maju ke medan peperangan. Dengan
demikian, konteks QS. at-Taubah: 122
ini adalah tentang mengingatkan umat muslim bahwa bentuk penjagaan terhadap
agama Islam, tidak hanya terpaku pada persoalan jihad yang kala itu diartikan
sebagai mengangkat senjata saja, karena ada juga amalan lain yang sama pentingnya
yaitu dengan ber-tafaqquh fiddin.
Namun perlu diingat pula,
bahwasanya kita tidak dapat berkata
bahwa karena ayat ini hanya menyatakan bahwa cukup طَاۤىِٕفَةٌ yang
dapat berarti satu dua orang yang menuntut dan memperdalam ilmu, maka
selebihnya harus menjadi anggota pasukan yang bertugas berperang. Memang boleh
jadi kondisi ketika turunnya ayat ini demikian halnya, tetapi ini bukan berarti
bahwa setiap saat hingga kini harus demikian.
Maqashid al-ayat
Tidak sedikit umat
Islam yang seringkali mengutip QS. at-Taubah: 120-121 namun lupa dengan ayat
selanjutnya yaitu QS. at-Taubah: 122. Maka tidak heran, banyak pula yang
terjebak pada pemikiran bahwasanya hanya dengan berjihad yang mengangkat
senjata saja yang dianggap sebagai satu-satunya bentuk tindakan untuk
mempertahankan agama Islam, padahal ada juga bentuk lainnya yaitu dengan ber-tafaqquh fiddin.
Dalam QS. at-Taubah: 122 setidaknya
ada beberapa pesan yang terkandung di dalamnya, yaitu:
- Allah Swt menuntun kaum
muslimin untuk melakukan pembagian tugas dengan menegaskan bahwa tidak
sepatutnya bagi orang-orang mukmin yang mendapat anjuran untuk berjihad lantas
semuanya ikut berjihad, sehingga tidak ada yang melakukan tugas-tugas yang
lain.
- Tujuan ber-tafaqquh fiddin
bagi yang tidak ikut berperang adalah untuk memperoleh manfaat bagi diri mereka
sendiri dan untuk memberi peringatan, nasehat, dan petunjuk kepada kaum mereka
yang menjadi anggota pasukan yang ditugaskan Rasul Saw berupa perintah dan
larangan Allah, dengan harapan kaumnya dapat menjaga diri dari perbuatan yang
dapat merugikan.
- Ayat ini menggarisbawahi pentingnya memperdalam
ilmu dan menyebarluaskan informasi yang benar. Ia tidak kurang penting dari
upaya mempertahankan wilayah, bahkan pertahanan wilayah pun berkaitan erat dengan kemampuan informasi serta kehandalan ilmu
pengetahuan
atau sumber daya manusia.
QS. at-Taubah: 122 memiliki
tujuan utama untuk menggambarkan bagaimana seharusnya pembagian tugas, sehingga tidak semua
mengerjakan satu jenis pekerjaan saja. Selain itu, kita
juga tidak
dapat berkata bahwa masyarakat Islam saat ini atau bahkan pada zaman Nabi Saw hanya melakukan dua tugas pokok, yaitu
berperang dan menuntut ilmu agama. Karena
tentunya ada banyak tugas lain yang harus dikerjakan, dan
setiap masyarakat berkewajiban membagi diri guna memenuhi semua kebutuhannya.
Kementerian Agama RI, Jihad;
Makna dan Implementasinya (Tafsir Tematik) seri 1, (Jakarta: Lajnah
Pentashihan Mushaf Al-Qur’an, 2012), hlm. 4-10.
Kementerian Agama RI, Pembangunan
Generasi Muda seri 4, (Jakarta: Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur’an, 2011),
hlm. 107.
M. Quraish Shihab, Tafsir
al-Mishbah volume 5, (Jakarta: Lentera Hati, 2002), hlm. 751.
Hamka, Tafsir al-Azhar
jilid 4, (Singapura: Pustaka Nasional PTE LTD, t.th), hlm. 3167.
M. Quraish Shihab,
Tafsir al-Mishbah volume 5, (Jakarta: Lentera Hati, 2002), hlm. 750.
M. Quraish Shihab,
Tafsir al-Mishbah volume 5, (Jakarta: Lentera Hati, 2002), hlm. 750.
Asy-Sya‘rawi, Tafsir asy Sya‘rawi, (Cairo:
Akhbarul Yaum), 9/5579.
Kementerian Agama RI, Pembangunan
Generasi Muda seri 4, (Jakarta: Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur’an, 2011),
hlm. 108.
M. Quraish Shihab,
Tafsir al-Mishbah volume 5, (Jakarta: Lentera Hati, 2002), hlm. 750.
M. Quraish Shihab,
Tafsir al-Mishbah volume 5, (Jakarta: Lentera Hati, 2002), hlm. 749.
Machfudz, Tafsir Tematis Al-Qur’an dan Hadits terhadap ayat “Tafaqquh Fiddin”
(Relasi Epistimologis Ayat dan Pendidikan Islam), (IAIN Jember: Jurnal Qolamuna, 2020) hlm. 213.
At-Tirmidzi, Sunan
Tirmidzi, No. hadis 2682, (Riyadh: Maktabah al-Ma’arif, t.th), hlm 48.
Ibn Katsir, Tafsir Ibn Katsir jilid 5, cet. II, (Beirut: Dar Tayyibah
lin-Nasyr wat-Tauzi’, 1999), hlm. 345.
M. Quraish Shihab,
Tafsir al-Mishbah volume 5, (Jakarta: Lentera Hati, 2002), hlm. 749.
M. Quraish Shihab,
Tafsir al-Mishbah volume 5, (Jakarta: Lentera Hati, 2002), hlm. 750.
M. Quraish Shihab,
Tafsir al-Mishbah volume 5, (Jakarta: Lentera Hati, 2002), hlm. 749-750.
M. Quraish Shihab,
Tafsir al-Mishbah volume 5, (Jakarta: Lentera Hati, 2002), hlm. 751.
M. Quraish Shihab,
Tafsir al-Mishbah volume 5, (Jakarta: Lentera Hati, 2002), hlm. 750-751.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar