وَالْمُطَلَّقٰتُ يَتَرَبَّصْنَ
بِاَنْفُسِهِنَّ ثَلٰثَةَ قُرُوْۤءٍۗ وَلَا يَحِلُّ لَهُنَّ اَنْ يَّكْتُمْنَ مَا
خَلَقَ اللّٰهُ فِيْٓ اَرْحَامِهِنَّ اِنْ كُنَّ يُؤْمِنَّ بِاللّٰهِ وَالْيَوْمِ
الْاٰخِرِۗ وَبُعُوْلَتُهُنَّ اَحَقُّ بِرَدِّهِنَّ فِيْ ذٰلِكَ اِنْ اَرَادُوْٓا
اِصْلَاحًا ۗوَلَهُنَّ مِثْلُ الَّذِيْ عَلَيْهِنَّ بِالْمَعْرُوْفِۖ وَلِلرِّجَالِ
عَلَيْهِنَّ دَرَجَةٌ ۗ وَاللّٰهُ عَزِيْزٌ حَكِيْمٌ ࣖ
Allah berfirman, bahwasanya perempuan itu
mempunyai hak yang seimbang dengan laki-laki dan laki-laki mempunyai kelebihan
satu tingkat dari istrinya, adalah menjadi dalil bahwa dalam amal kebajikan
mencapai kemajuan dalam segala aspek kehidupan, lebih-lebih dalam lapangan ilmu
pengetahuan, perempuan dan laki-laki sama-sama mempunyai hak dan kewajiban.
Meskipun demikian, hak dan kewajiban itu disesuaikan dengan fitrahnya baik
fisik maupun mental.
B.
PEMBAHASAN
ابن
عباس رضي الله عنهما معنى ذلك انى احب ان اتزين لامراتى كما تحب ان تتزين لى لهذه
الاية (وَلِلرِّجَالِ عَلَيْهِنَّ دَرَجَةٌ) اى فضيلة فى الحق من وجوب طاعتهن لهم
لما دفعوا اليهن من المهر ولانفقهم فى مصالحهن
“Ibnu Abbas RA berkata: makna dari hak yang seimbang yaitu: “Sesungguhnya aku (Rasulullah SAW) menyukai berhias untuk istri sebagaimana istriku menyukai berhias untuk diriku, karena ayat ini (وَلِلرِّجَالِ عَلَيْهِنَّ دَرَجَةٌ) bahwa laki-laki memiliki kedudukan yang lebih utama dari perempuan, maksudnya yaitu utama dalam perkara hak dimana perempuan harus taat dengan laki-laki disebabkan atas mas kawin yang telah diberikan kepada mereka (perempuan) dan atas pemberian nafkah untuk kemaslahatan perempuan.[4]
a) Dalam bentuk materi
وَاٰتُوا النِّسَاۤءَ صَدُقٰتِهِنَّ نِحْلَةً ۗ
فَاِنْ طِبْنَ لَكُمْ عَنْ شَيْءٍ مِّنْهُ نَفْسًا فَكُلُوْهُ هَنِيْۤـًٔا
مَّرِيْۤـًٔا
“Dan berikanlah maskawin (mahar) kepada perempuan (yang
kamu nikahi) sebagai pemberian yang penuh kerelaan. Kemudian, jika mereka
menyerahkan kepada kamu sebagian dari (maskawin) itu dengan senang hati, maka
terimalah dan nikmatilah pemberian itu dengan senang hati.” (An-Nisa'/4:4)[5]
Dari
ayat diatas kata “makanlah” atau pemberian itu merupakan mahar yang
telah disetujui besar kecilnya oleh keduanya. Hal ini dilaksanakan secara
ihklas. Pemberian mahar hukumnya wajib, oleh sebab itu pernikahan dapat
dinyatakan sah atau tidak sah apabila tidak adanya pembayaran mahar, dengan
kata lain apabila istri menerima
dinikahi dengan dengan pembayaran maskawin yang ditunda. Q.S an-Nisa’
ayat 20 Allah SWT. Berfirman:
وَاِنْ اَرَدْتُّمُ
اسْتِبْدَالَ زَوْجٍ مَّكَانَ زَوْجٍۙ وَّاٰتَيْتُمْ اِحْدٰىهُنَّ قِنْطَارًا
فَلَا تَأْخُذُوْا مِنْهُ شَيْـًٔا ۗ اَتَأْخُذُوْنَهٗ بُهْتَانًا وَّاِثْمًا
مُّبِيْنًا
“Dan jika kamu ingin mengganti istrimu dengan istri
yang lain, sedang kamu telah memberikan kepada seorang di antara mereka harta
yang banyak, maka janganlah kamu mengambil kembali sedikit pun darinya. Apakah
kamu akan mengambilnya kembali dengan jalan tuduhan yang dusta dan dengan
(menanggung) dosa yang nyata?”
(An-Nisa'/4:20)[6]
Pada ayat diatas maksud dari
pemberian, bukan sekedar mahar saja, melainkan segala sesuatu yang sudah
diterima oleh istri. Artinya, sekalipun suami menceraikan istri bukan tujuan
untuk perkawinan, maka suami tidak diperbolehkan untuk meminta kembali apa yang
sudah diberikan kepada istri.[7]
· Nafkah
۞ وَالْوٰلِدٰتُ يُرْضِعْنَ اَوْلَادَهُنَّ
حَوْلَيْنِ كَامِلَيْنِ لِمَنْ اَرَادَ اَنْ يُّتِمَّ الرَّضَاعَةَ ۗ وَعَلَى
الْمَوْلُوْدِ لَهٗ رِزْقُهُنَّ وَكِسْوَتُهُنَّ بِالْمَعْرُوْفِۗ لَا تُكَلَّفُ
نَفْسٌ اِلَّا وُسْعَهَا ۚ لَا تُضَاۤرَّ وَالِدَةٌ ۢبِوَلَدِهَا وَلَا مَوْلُوْدٌ
لَّهٗ بِوَلَدِهٖ وَعَلَى الْوَارِثِ مِثْلُ ذٰلِكَ ۚ فَاِنْ اَرَادَا فِصَالًا
عَنْ تَرَاضٍ مِّنْهُمَا وَتَشَاوُرٍ فَلَا جُنَاحَ عَلَيْهِمَا ۗوَاِنْ
اَرَدْتُّمْ اَنْ تَسْتَرْضِعُوْٓا اَوْلَادَكُمْ فَلَا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ اِذَا
سَلَّمْتُمْ مَّآ اٰتَيْتُمْ بِالْمَعْرُوْفِۗ وَاتَّقُوا اللّٰهَ وَاعْلَمُوْٓا
اَنَّ اللّٰهَ بِمَا تَعْمَلُوْنَ بَصِيْرٌ
“Dan ibu-ibu hendaklah menyusui anak-anaknya selama dua
tahun penuh, bagi yang ingin menyusui secara sempurna. Dan kewajiban ayah
menanggung nafkah dan pakaian mereka dengan cara yang patut. Seseorang tidak
dibebani lebih dari kesanggupannya. Janganlah seorang ibu menderita karena
anaknya dan jangan pula seorang ayah (menderita) karena anaknya. Ahli waris pun
(berkewajiban) seperti itu pula. Apabila keduanya ingin menyapih dengan
persetujuan dan permusyawaratan antara keduanya, maka tidak ada dosa atas
keduanya. Dan jika kamu ingin menyusukan anakmu kepada orang lain, maka tidak
ada dosa bagimu memberikan pembayaran dengan cara yang patut. Bertakwalah
kepada Allah dan ketahuilah bahwa Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan”. (Al-Baqarah/2:233)[8]
Tercukupinya
tiga hal seorang suami diwajibkan utuk menafkahi istri. Tiga hal tersebut
ialah:
·
Mendapatkan warisan, apabila suami meninggal
۞ وَلَكُمْ نِصْفُ مَا تَرَكَ اَزْوَاجُكُمْ
اِنْ لَّمْ يَكُنْ لَّهُنَّ وَلَدٌ ۚ فَاِنْ كَانَ لَهُنَّ وَلَدٌ فَلَكُمُ
الرُّبُعُ مِمَّا تَرَكْنَ مِنْۢ بَعْدِ وَصِيَّةٍ يُّوْصِيْنَ بِهَآ اَوْ دَيْنٍ
ۗ وَلَهُنَّ الرُّبُعُ مِمَّا تَرَكْتُمْ اِنْ لَّمْ يَكُنْ لَّكُمْ وَلَدٌ ۚ
فَاِنْ كَانَ لَكُمْ وَلَدٌ فَلَهُنَّ الثُّمُنُ مِمَّا تَرَكْتُمْ مِّنْۢ بَعْدِ
وَصِيَّةٍ تُوْصُوْنَ بِهَآ اَوْ دَيْنٍ ۗ وَاِنْ كَانَ رَجُلٌ يُّوْرَثُ
كَلٰلَةً اَوِ امْرَاَةٌ وَّلَهٗٓ اَخٌ اَوْ اُخْتٌ فَلِكُلِّ وَاحِدٍ مِّنْهُمَا
السُّدُسُۚ فَاِنْ كَانُوْٓا اَكْثَرَ مِنْ ذٰلِكَ فَهُمْ شُرَكَاۤءُ فِى
الثُّلُثِ مِنْۢ بَعْدِ وَصِيَّةٍ يُّوْصٰى بِهَآ اَوْ دَيْنٍۙ غَيْرَ مُضَاۤرٍّ
ۚ وَصِيَّةً مِّنَ اللّٰهِ ۗ وَاللّٰهُ عَلِيْمٌ حَلِيْمٌۗ
“Dan bagianmu (suami-suami) adalah seperdua
dari harta yang ditinggalkan oleh istri-istrimu, jika mereka tidak mempunyai
anak. Jika mereka (istri-istrimu) itu mempunyai anak, maka kamu mendapat
seperempat dari harta yang ditinggalkannya setelah (dipenuhi) wasiat yang mereka
buat atau (dan setelah dibayar) utangnya. Para istri memperoleh seperempat
harta yang kamu tinggalkan jika kamu tidak mempunyai anak. Jika kamu mempunyai
anak, maka para istri memperoleh seperdelapan dari harta yang kamu tinggalkan
(setelah dipenuhi) wasiat yang kamu buat atau (dan setelah dibayar)
utang-utangmu. Jika seseorang meninggal, baik laki-laki maupun perempuan yang
tidak meninggalkan ayah dan tidak meninggalkan anak, tetapi mempunyai seorang
saudara laki-laki (seibu) atau seorang saudara perempuan (seibu), maka bagi
masing-masing dari kedua jenis saudara itu seperenam harta. Tetapi
jika saudara-saudara seibu itu
lebih dari seorang, maka mereka bersama-sama dalam bagian yang sepertiga itu,
setelah (dipenuhi wasiat) yang dibuatnya atau (dan setelah dibayar) utangnya
dengan tidak menyusahkan (kepada ahli waris). Demikianlah ketentuan Allah.
Allah Maha Mengetahui, Maha Penyantun”.
(An-Nisa'/4:12)[10]
b) Dalam bentuk non-materi,
yaitu:
·
Mempergauli istri dengan baik
يٰٓاَيُّهَا
الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا لَا يَحِلُّ لَكُمْ اَنْ تَرِثُوا النِّسَاۤءَ كَرْهًا ۗ
وَلَا تَعْضُلُوْهُنَّ لِتَذْهَبُوْا بِبَعْضِ مَآ اٰتَيْتُمُوْهُنَّ اِلَّآ
اَنْ يَّأْتِيْنَ بِفَاحِشَةٍ مُّبَيِّنَةٍ ۚ وَعَاشِرُوْهُنَّ بِالْمَعْرُوْفِ
ۚ فَاِنْ كَرِهْتُمُوْهُنَّ فَعَسٰٓى اَنْ تَكْرَهُوْا شَيْـًٔا وَّيَجْعَلَ
اللّٰهُ فِيْهِ خَيْرًا كَثِيْرًا
“Wahai orang-orang beriman! Tidak halal bagi kamu mewarisi
perempuan dengan jalan paksa dan janganlah kamu menyusahkan mereka karena
hendak mengambil kembali sebagian dari apa yang telah kamu berikan kepadanya,
kecuali apabila mereka melakukan perbuatan keji yang nyata. Dan bergaullah
dengan mereka menurut cara yang patut. Jika kamu tidak menyukai mereka, (maka
bersabarlah) karena boleh jadi kamu tidak menyukai sesuatu, padahal Allah
menjadikan kebaikan yang banyak padanya”. (QS. An-Nisaa’: 19)
Kalimat وَعَاشِرُوْهُنَّ بِالْمَعْرُوْفِ yakni memiliki makna bersikap adil dalam masalah pergiliran bergaul apabila suami berpoligami, memberi nafkah, dan berbicara dengan kalimat yang
baik.[11]
·
Menjaga istri dari perbuatan yang dapat mendatangkan kemurkaan Allah
SWT
يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا قُوْٓا اَنْفُسَكُمْ
وَاَهْلِيْكُمْ نَارًا وَّقُوْدُهَا النَّاسُ وَالْحِجَارَةُ عَلَيْهَا مَلٰۤىِٕكَةٌ
غِلَاظٌ شِدَادٌ لَّا يَعْصُوْنَ اللّٰهَ مَآ اَمَرَهُمْ وَيَفْعَلُوْنَ مَا
يُؤْمَرُوْنَ
“Wahai
orang-orang yang beriman! Peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka
yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang
kasar, dan keras, yang tidak durhaka kepada Allah terhadap apa yang Dia
perintahkan kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan”.
(At-Tahrim/66:6)
Diriwayatkan bahwa ketika ayat ke-6 ini turun,
Sayyidina Umar RA berkata, “Wahai Rasulullah, kami sudah menjaga diri kami,
dan bagaimana menjaga keluarga kami?” Rasulullah saw menjawab, “Larang
mereka mengerjakan apa yang kamu dilarang mengerjakannya dan perintahkan mereka
melakukan apa yang diperintahkan Allah kepadamu. Begitulah caranya menyelamatkan
mereka dari api neraka. Neraka itu dijaga oleh malaikat yang kasar dan keras
yang pemimpinnya berjumlah sembilan belas malaikat. Mereka diberi kewenangan
mengadakan penyiksaan di dalam neraka. Mereka adalah para malaikat yang tidak
mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya dan selalu mengerjakan
apa yang diperintahkan-Nya”.[14]
“Laki-laki (suami) itu pelindung bagi perempuan (istri), karena
Allah telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain
(perempuan), dan karena mereka (laki-laki) telah memberikan nafkah dari
hartanya. Maka perempuan-perempuan yang saleh adalah mereka yang taat (kepada
Allah) dan menjaga diri ketika (suaminya) tidak ada, karena Allah telah menjaga
(mereka). Perempuan-perempuan yang kamu khawatirkan akan nusyuz, hendaklah kamu
beri nasihat kepada mereka, tinggalkanlah mereka di tempat tidur (pisah
ranjang), dan (kalau perlu) pukullah mereka. Tetapi jika mereka menaatimu, maka
janganlah kamu mencari-cari alasan untuk menyusahkannya. Sungguh, Allah
Mahatinggi, Mahabesar”. (An-Nisa'/4:34)[15]
Kaum laki-laki adalah pemimpin, pemelihara, pembela dan
pemberi nafkah, bertanggung jawab penuh terhadap kaum perempuan yang menjadi
istri dan yang menjadi keluarganya. Oleh karena itu, wajib bagi setiap istri
menaati suaminya selama suami tidak durhaka kepada Allah. Apabila suami tidak
memenuhi kewajiban dan tanggung jawabnya, maka istri berhak mengadukannya
kepada hakim yang berwenang menyelesaikan masalahnya.
خَيْرُ النِّسَاءِ الَّتِي
اِذَا نَظَرْتَ اِلَيْهَا سَرَّتْكَ وَاِذَا اَمَرْتَهَا اَطَاعَتْكَ وَاِنْ
غِبْتَ عَنْهَا حَفِظَتْكَ فِي مَالِكَ وَنَفْسِهاَ (رواه ابن جرير والبيهقي عن
أبيهريرة(
“Sebaik-baik perempuan ialah perempuan yang apabila
engkau melihatnya ia menyenangkan hatimu, dan apabila engkau menyuruhnya ia
mengikuti perintahmu, dan apabila engkau tidak berada di sampingnya ia
memelihara hartamu dan menjaga dirinya”
(Riwayat Ibnu Jarir dan al-Baihaqi dari Abu Hurairah).[16]
Apabila istri bersikap tidak taat (nusyuz), maka
suami harus terlebih dahulu menasihatinya dengan baik. Apabila nasihat itu
tidak berhasil, maka suami boleh untuk mencoba berpisah tempat tidur dengan istrinya,
dan apabila tetap tidak berubah barulah apabila dengan memukul mampu memberikan
dampak baik, maka pukullah dengan pukulan ringan yang tidak mengenai wajah dan
anggota badan yang dapat merusak tubuhnya serta tidak meninggalkan bekas. Namun
apabila tidak mampu memberikan dampak yang baik, maka tidak perlu memukul.
Karena yang lebih utama adalah memaafkannya.[17]
·
Melayani ajakan suami untuk bergaul
اِذَا دَعَا
الرَّجُلُ اِمْرَاَتَهُ اِلَى فِرَاشِهِ فَاَبَتْ غَضْبَانَ عَلَيْهَا لَعَنَتْهَا
الْمَلآئِكَةُ حَتَّى تُصْبِحَ
“Apabila suami mengajak istrinya ke tempat
tidur lalu istrinya enggan sehingga suami itu marah pada malam harinya maka
malaikat akan melaknat sang istri hingga waktu shubuh”. (HR. Bukhari)
وقال ابن
عباس رضي الله عنهما سمعت رسول الله صلى الله عليه وسلم يقول لو ان امراة جعلت
ليلها قياما ونهارها صياما ودعاها زوجها الى فراشه وتاخرت عنه ساعة واحدة جاءت يوم
القيمة تسحب بالسلاسل والاغلال مع الشياطين الى اسفل سافلين
“Ibnu Abbas RA berkata: Aku mendengar Rasulullah SAW
bersabda:Misalkan ada perempuan yang menjadikan malam untuk sholat, dan siang
untuk berpuasa serta dipanggil suaminya ke tempat tidur dan perempuan tersebut
menjanjikan untuk melayani suaminya satu jam saja, perempuan tersebut kelak
pada hari kiamat akan diseret dengan rantai yang membelunggu dan dikumpulkan
bersama syaitan-syaitan sampai ke tempat yang paling bawah”.
Namun, bukan berarti bahwa suami bisa melakukannya dengan
semena-mena. Seperti bolehnya tidak melayani ajakan suami sebelum ia bersuci
dari haid maupun nifaswalaupun sudah berhenti, dan bergaul di depan laki-laki
maupun wanita lain, maupun sebab udzur yang lain.[19]
·
Menjaga kehormatan diri
·
Menjaga harta yang dimiliki suami
قال رسول
الله صلى الله عليه وسلم لايحل لها ان تطعم من بيته الا باذنه الا الرطب من الطعام
الذي مخاف فساده فان اطعمت عن رضاه كان لها مثل اجره وان اطعمت بغير اذنه كان له
الاجر وعليهما الوزر
Rasulullah saw bersabda: Tidak halal bagi perempuan
memberi makan orang lain dari rumah suaminya apabila tanpa izin suaminya,
kecuali makanan basah yang dikhawatirkan rusak. Apabila
memberi makan dengan izin suaminya, perempuan itu mendapatkan pahala yang sama
dengan suaminya. Namun, apabila memberikan makanan tanpa izin dari suaminya,
maka yang mendapatkan pahala yaitu suaminya, dan istrinya justru mendapat dosa.[23]
·
Memuliakan suami
3.
Hak
dan Kewajiban Bersama
وَمِنْ
كُلِّ شَيْءٍ خَلَقْنَا زَوْجَيْنِ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُوْنَ
“Dan segala sesuatu Kami ciptakan berpasang-pasangan
agar kamu mengingat (kebesaran Allah)”. (Az-Zariyat/51:49)
Dengan
demikian keduanya mempunyai kewajiban bersama antara suami dan istri, kewajiban
tersebut ialah:
Sebagaimana Firman Allah:
وَمِنْ
اٰيٰتِهٖٓ اَنْ خَلَقَ لَكُمْ مِّنْ اَنْفُسِكُمْ اَزْوَاجًا لِّتَسْكُنُوْٓا
اِلَيْهَا وَجَعَلَ بَيْنَكُمْ مَّوَدَّةً وَّرَحْمَةً ۗاِنَّ فِيْ ذٰلِكَ لَاٰيٰتٍ
لِّقَوْمٍ يَّتَفَكَّرُوْنَ
“Dan di antara tanda-tanda (kebesaran)-Nya ialah Dia
menciptakan pasangan-pasangan untukmu dari jenismu sendiri, agar kamu cenderung
dan merasa tenteram kepadanya, dan Dia menjadikan di antaramu rasa kasih dan sayang.
Sungguh, pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda (kebesaran
Allah) bagi kaum yang berpikir”. (Ar-Rum/30:21)
C. Penutup
Tidak ada komentar:
Posting Komentar