Sabtu, 13 Februari 2021

PERAN KESEIMBANGAN SUAMI ISTRI MENURUT AL-QUR’AN

A.  Latar Belakang
Setelah melaksanakan pernikahan, sepasang suami istri memiliki tanggung jawab untuk membangun rumah-tangga, yakni masing-masing mempunyai peran dan fungsi kontruksi dalam aspek hak dan kewajiban yang terikat pada keduanya. Hak mempunyai pengertian suatu yang melekat dan harus diterima atau seseorang memilikinya. Sedangkan kewajiban yaitu suatu yang harus diberikan dan dipenuhi oleh seseorang kepada orang lain.[1]Dengan demikian, sepasang suami-istri harus mampu memahami hak dan kewajiban mereka masing-masing, yakni hak istri menjadi kewajiban suami dan kewajiban suami menjadi hak istri.[2]

وَالْمُطَلَّقٰتُ يَتَرَبَّصْنَ بِاَنْفُسِهِنَّ ثَلٰثَةَ قُرُوْۤءٍۗ وَلَا يَحِلُّ لَهُنَّ اَنْ يَّكْتُمْنَ مَا خَلَقَ اللّٰهُ فِيْٓ اَرْحَامِهِنَّ اِنْ كُنَّ يُؤْمِنَّ بِاللّٰهِ وَالْيَوْمِ الْاٰخِرِۗ وَبُعُوْلَتُهُنَّ اَحَقُّ بِرَدِّهِنَّ فِيْ ذٰلِكَ اِنْ اَرَادُوْٓا اِصْلَاحًا ۗوَلَهُنَّ مِثْلُ الَّذِيْ عَلَيْهِنَّ بِالْمَعْرُوْفِۖ وَلِلرِّجَالِ عَلَيْهِنَّ دَرَجَةٌ ۗ وَاللّٰهُ عَزِيْزٌ حَكِيْمٌ ࣖ


“Dan para istri yang diceraikan (wajib) menahan diri mereka (menunggu) tiga kali quru'. Tidak boleh bagi mereka menyembunyikan apa yang diciptakan Allah dalam rahim mereka, jika mereka beriman kepada Allah dan hari akhir. Dan para suami mereka lebih berhak kembali kepada mereka dalam (masa) itu, jika mereka menghendaki perbaikan. Dan mereka (para perempuan) mempunyai hak seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang patut. Tetapi para suami mempunyai kelebihan di atas mereka. Allah Mahaperkasa, Mahabijaksana. (Al-Baqarah/2:228)

Allah berfirman, bahwasanya perempuan itu mempunyai hak yang seimbang dengan laki-laki dan laki-laki mempunyai kelebihan satu tingkat dari istrinya, adalah menjadi dalil bahwa dalam amal kebajikan mencapai kemajuan dalam segala aspek kehidupan, lebih-lebih dalam lapangan ilmu pengetahuan, perempuan dan laki-laki sama-sama mempunyai hak dan kewajiban. Meskipun demikian, hak dan kewajiban itu disesuaikan dengan fitrahnya baik fisik maupun mental.

Umpamanya seorang istri mempunyai kewajiban mengurus rumah tangga, mendidik anak-anak dan memelihara kesehatannya, menjaga kebersihan dan rahasia rumah tangga dan lain-lain. Sedang suami sebagai kepala keluarga bekerja dan berusaha untuk mencari nafkah yang halal guna membelanjai istri dan anak-anak. Dalam keluarga/rumah tangga, suami dan istri adalah mitra sejajar, saling tolong menolong dan bantu membantu dalam mewujudkan rumah tangga sakinah yang diridhai Allah swt. Perbedaan yang ada adalah untuk saling melengkapi dan kerjasama, bukan sebagai sesuatu yang bertentangan dalam membina rumah tangga bahagia.[3]

B.     PEMBAHASAN

1.     Hak Istri yang Menjadi Kewajiban Suami
Perempuan memiliki hak yang seimbang dengan kewajiban yang dimiliki oleh laki-laki yakni diukur dari apa yang terlihat baik oleh masyarakat dan syara’.

ابن عباس رضي الله عنهما معنى ذلك انى احب ان اتزين لامراتى كما تحب ان تتزين لى لهذه الاية (وَلِلرِّجَالِ عَلَيْهِنَّ دَرَجَةٌ) اى فضيلة فى الحق من وجوب طاعتهن لهم لما دفعوا اليهن من المهر ولانفقهم فى مصالحهن


“Ibnu Abbas RA berkata: makna dari hak yang seimbang yaitu: “Sesungguhnya aku (Rasulullah SAW) menyukai berhias untuk istri sebagaimana istriku menyukai berhias untuk diriku, karena ayat ini (وَلِلرِّجَالِ عَلَيْهِنَّ دَرَجَةٌ) bahwa laki-laki memiliki kedudukan yang lebih utama dari perempuan, maksudnya yaitu utama dalam perkara hak dimana perempuan harus taat dengan laki-laki disebabkan atas mas kawin yang telah diberikan kepada mereka (perempuan) dan atas pemberian nafkah untuk kemaslahatan perempuan.[4]

a)    Dalam bentuk materi

·      Mahar (maskawin)
Mahar apabila diposisikan dalam sudut pandang salah satu kewajiban suami. Maka mahar merupakan suatu kewajiban seorang suami atau salah satu hak istri dari beberapa hak lainnya, yang diterima oleh istri ketika akan sedang dilaksanakannya akad pernikahan, baik secara simbolik ataupun langsung, secara kontan maupun tidak kontan. Allah SWT. Berfirman:

وَاٰتُوا النِّسَاۤءَ صَدُقٰتِهِنَّ نِحْلَةً ۗ فَاِنْ طِبْنَ لَكُمْ عَنْ شَيْءٍ مِّنْهُ نَفْسًا فَكُلُوْهُ هَنِيْۤـًٔا مَّرِيْۤـًٔا


Dan berikanlah maskawin (mahar) kepada perempuan (yang kamu nikahi) sebagai pemberian yang penuh kerelaan. Kemudian, jika mereka menyerahkan kepada kamu sebagian dari (maskawin) itu dengan senang hati, maka terimalah dan nikmatilah pemberian itu dengan senang hati. (An-Nisa'/4:4)[5]

 

Dari ayat diatas kata “makanlah” atau pemberian itu merupakan mahar yang telah disetujui besar kecilnya oleh keduanya. Hal ini dilaksanakan secara ihklas. Pemberian mahar hukumnya wajib, oleh sebab itu pernikahan dapat dinyatakan sah atau tidak sah apabila tidak adanya pembayaran mahar, dengan kata lain apabila istri menerima  dinikahi dengan dengan pembayaran maskawin yang ditunda. Q.S an-Nisa’ ayat 20 Allah SWT. Berfirman:


وَاِنْ اَرَدْتُّمُ اسْتِبْدَالَ زَوْجٍ مَّكَانَ زَوْجٍۙ وَّاٰتَيْتُمْ اِحْدٰىهُنَّ قِنْطَارًا فَلَا تَأْخُذُوْا مِنْهُ شَيْـًٔا ۗ اَتَأْخُذُوْنَهٗ بُهْتَانًا وَّاِثْمًا مُّبِيْنًا


Dan jika kamu ingin mengganti istrimu dengan istri yang lain, sedang kamu telah memberikan kepada seorang di antara mereka harta yang banyak, maka janganlah kamu mengambil kembali sedikit pun darinya. Apakah kamu akan mengambilnya kembali dengan jalan tuduhan yang dusta dan dengan (menanggung) dosa yang nyata? (An-Nisa'/4:20)[6]


Pada ayat diatas maksud dari pemberian, bukan sekedar mahar saja, melainkan segala sesuatu yang sudah diterima oleh istri. Artinya, sekalipun suami menceraikan istri bukan tujuan untuk perkawinan, maka suami tidak diperbolehkan untuk meminta kembali apa yang sudah diberikan kepada istri.[7]

·      Nafkah

Nafkah merupakan seluruh kebutuhan dan keperluan yang berlaku sesuai dengan kondisi dan tempat, seperti makanan, pakaian, rumah, dan sebagainya. Seorang suami mempunyai kewajiban guna memenuhi seluruh kebutuhan rumah tangga yang berhubungan dengan pangan atau kebutuhan dapur, seperti: kebutuhan pokok atau sembako, membiayai pendidikan anak, kesehatan, dan lain-lain.
Seorang istri tidak diwajibkan mencari nafkah, jadi apabila istri bekerja haruslah atas izin suami dan sifatnya membantu perekonomian rumah tangga. Jika suami melarang istri untuk bekerja, maka istri wajib menaati suami. Ketentuan suami tidak mengizinkan istrinya bekerja yaitu, apabila suami telah mencukupi seluruh kebutuhan nafkah keluarga. Suami diwajibkan memberikan nafkah terdapat pada Q.S Al-Baqarah ayat 233:

۞ وَالْوٰلِدٰتُ يُرْضِعْنَ اَوْلَادَهُنَّ حَوْلَيْنِ كَامِلَيْنِ لِمَنْ اَرَادَ اَنْ يُّتِمَّ الرَّضَاعَةَ ۗ وَعَلَى الْمَوْلُوْدِ لَهٗ رِزْقُهُنَّ وَكِسْوَتُهُنَّ بِالْمَعْرُوْفِۗ لَا تُكَلَّفُ نَفْسٌ اِلَّا وُسْعَهَا ۚ لَا تُضَاۤرَّ وَالِدَةٌ ۢبِوَلَدِهَا وَلَا مَوْلُوْدٌ لَّهٗ بِوَلَدِهٖ وَعَلَى الْوَارِثِ مِثْلُ ذٰلِكَ ۚ فَاِنْ اَرَادَا فِصَالًا عَنْ تَرَاضٍ مِّنْهُمَا وَتَشَاوُرٍ فَلَا جُنَاحَ عَلَيْهِمَا ۗوَاِنْ اَرَدْتُّمْ اَنْ تَسْتَرْضِعُوْٓا اَوْلَادَكُمْ فَلَا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ اِذَا سَلَّمْتُمْ مَّآ اٰتَيْتُمْ بِالْمَعْرُوْفِۗ وَاتَّقُوا اللّٰهَ وَاعْلَمُوْٓا اَنَّ اللّٰهَ بِمَا تَعْمَلُوْنَ بَصِيْرٌ


Dan ibu-ibu hendaklah menyusui anak-anaknya selama dua tahun penuh, bagi yang ingin menyusui secara sempurna. Dan kewajiban ayah menanggung nafkah dan pakaian mereka dengan cara yang patut. Seseorang tidak dibebani lebih dari kesanggupannya. Janganlah seorang ibu menderita karena anaknya dan jangan pula seorang ayah (menderita) karena anaknya. Ahli waris pun (berkewajiban) seperti itu pula. Apabila keduanya ingin menyapih dengan persetujuan dan permusyawaratan antara keduanya, maka tidak ada dosa atas keduanya. Dan jika kamu ingin menyusukan anakmu kepada orang lain, maka tidak ada dosa bagimu memberikan pembayaran dengan cara yang patut. Bertakwalah kepada Allah dan ketahuilah bahwa Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan. (Al-Baqarah/2:233)[8]

Tercukupinya tiga hal seorang suami diwajibkan utuk menafkahi istri. Tiga hal tersebut ialah:

-       Telah tertadinya akad nikah diantara keduanya secara sah
-       Seorang istri sudah siap untuk menjalankan kehidupan berumah tangga
-       Dari pihak istri tidak adanya hambatan untuk menghilangkan atau mengurangi hak suami untuk mendapatkan layanan sewajarnya.[9]

 

·      Mendapatkan warisan, apabila suami meninggal


۞ وَلَكُمْ نِصْفُ مَا تَرَكَ اَزْوَاجُكُمْ اِنْ لَّمْ يَكُنْ لَّهُنَّ وَلَدٌ ۚ فَاِنْ كَانَ لَهُنَّ وَلَدٌ فَلَكُمُ الرُّبُعُ مِمَّا تَرَكْنَ مِنْۢ بَعْدِ وَصِيَّةٍ يُّوْصِيْنَ بِهَآ اَوْ دَيْنٍ ۗ وَلَهُنَّ الرُّبُعُ مِمَّا تَرَكْتُمْ اِنْ لَّمْ يَكُنْ لَّكُمْ وَلَدٌ ۚ فَاِنْ كَانَ لَكُمْ وَلَدٌ فَلَهُنَّ الثُّمُنُ مِمَّا تَرَكْتُمْ مِّنْۢ بَعْدِ وَصِيَّةٍ تُوْصُوْنَ بِهَآ اَوْ دَيْنٍ ۗ وَاِنْ كَانَ رَجُلٌ يُّوْرَثُ كَلٰلَةً اَوِ امْرَاَةٌ وَّلَهٗٓ اَخٌ اَوْ اُخْتٌ فَلِكُلِّ وَاحِدٍ مِّنْهُمَا السُّدُسُۚ فَاِنْ كَانُوْٓا اَكْثَرَ مِنْ ذٰلِكَ فَهُمْ شُرَكَاۤءُ فِى الثُّلُثِ مِنْۢ بَعْدِ وَصِيَّةٍ يُّوْصٰى بِهَآ اَوْ دَيْنٍۙ غَيْرَ مُضَاۤرٍّ ۚ وَصِيَّةً مِّنَ اللّٰهِ ۗ وَاللّٰهُ عَلِيْمٌ حَلِيْمٌۗ


“Dan bagianmu (suami-suami) adalah seperdua dari harta yang ditinggalkan oleh istri-istrimu, jika mereka tidak mempunyai anak. Jika mereka (istri-istrimu) itu mempunyai anak, maka kamu mendapat seperempat dari harta yang ditinggalkannya setelah (dipenuhi) wasiat yang mereka buat atau (dan setelah dibayar) utangnya. Para istri memperoleh seperempat harta yang kamu tinggalkan jika kamu tidak mempunyai anak. Jika kamu mempunyai anak, maka para istri memperoleh seperdelapan dari harta yang kamu tinggalkan (setelah dipenuhi) wasiat yang kamu buat atau (dan setelah dibayar) utang-utangmu. Jika seseorang meninggal, baik laki-laki maupun perempuan yang tidak meninggalkan ayah dan tidak meninggalkan anak, tetapi mempunyai seorang saudara laki-laki (seibu) atau seorang saudara perempuan (seibu), maka bagi masing-masing dari kedua jenis saudara itu seperenam harta.  Tetapi  jika  saudara-saudara seibu itu lebih dari seorang, maka mereka bersama-sama dalam bagian yang sepertiga itu, setelah (dipenuhi wasiat) yang dibuatnya atau (dan setelah dibayar) utangnya dengan tidak menyusahkan (kepada ahli waris). Demikianlah ketentuan Allah. Allah Maha Mengetahui, Maha Penyantun”. (An-Nisa'/4:12)[10]

b)   Dalam bentuk non-materi, yaitu:

·      Mempergauli istri dengan baik


يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا لَا يَحِلُّ لَكُمْ اَنْ تَرِثُوا النِّسَاۤءَ كَرْهًا ۗ وَلَا تَعْضُلُوْهُنَّ لِتَذْهَبُوْا بِبَعْضِ مَآ اٰتَيْتُمُوْهُنَّ اِلَّآ اَنْ يَّأْتِيْنَ بِفَاحِشَةٍ مُّبَيِّنَةٍ ۚ وَعَاشِرُوْهُنَّ بِالْمَعْرُوْفِ ۚ فَاِنْ كَرِهْتُمُوْهُنَّ فَعَسٰٓى اَنْ تَكْرَهُوْا شَيْـًٔا وَّيَجْعَلَ اللّٰهُ فِيْهِ خَيْرًا كَثِيْرًا


“Wahai orang-orang beriman! Tidak halal bagi kamu mewarisi perempuan dengan jalan paksa dan janganlah kamu menyusahkan mereka karena hendak mengambil kembali sebagian dari apa yang telah kamu berikan kepadanya, kecuali apabila mereka melakukan perbuatan keji yang nyata. Dan bergaullah dengan mereka menurut cara yang patut. Jika kamu tidak menyukai mereka, (maka bersabarlah) karena boleh jadi kamu tidak menyukai sesuatu, padahal Allah menjadikan kebaikan yang banyak padanya”. (QS. An-Nisaa’: 19)

Kalimat وَعَاشِرُوْهُنَّ بِالْمَعْرُوْفِ yakni memiliki makna bersikap adil dalam masalah pergiliran bergaul apabila suami berpoligami, memberi nafkah, dan berbicara dengan kalimat yang baik.[11]

Ayat ini menerangkan bahwa para suami agar bergaul dengan istri dengan baik. Jangan kikir dalam memberi nafkah, jangan sampai memarahinya dengan kemarahan yang melewati batas atau memukulnya atau selalu bermuka muram terhadap mereka. Seandainya suami membenci istri dikarenakan istri itu mempunyai cacat pada tubuhnya atau terdapat sifat-sifat yang tidak disenangi atau kebencian serius kepada istrinya timbul karena hatinya telah terpaut kepada perempuan lain, maka hendaklah suami bersabar, jangan terburu-buru menceraikan mereka. Mudah-mudahan yang dibenci oleh suami itu justru yang akan mendatangkan kebaikan dan kebahagiaan kepada mereka.[12]

·      Menjaga istri dari perbuatan yang dapat mendatangkan kemurkaan Allah SWT

Yakni dengan mengajarkan istri tentang ibadah yang fardhu maupun sunnah, hal-hal yang berkaitan dengan haid dan wajibnya mematuhi suami selama bukan dalam hal maksiat.[13]

يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا قُوْٓا اَنْفُسَكُمْ وَاَهْلِيْكُمْ نَارًا وَّقُوْدُهَا النَّاسُ وَالْحِجَارَةُ عَلَيْهَا مَلٰۤىِٕكَةٌ غِلَاظٌ شِدَادٌ لَّا يَعْصُوْنَ اللّٰهَ مَآ اَمَرَهُمْ وَيَفْعَلُوْنَ مَا يُؤْمَرُوْنَ


Wahai orang-orang yang beriman! Peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, dan keras, yang tidak durhaka kepada Allah terhadap apa yang Dia perintahkan kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.  (At-Tahrim/66:6)

Diriwayatkan bahwa ketika ayat ke-6 ini turun, Sayyidina Umar RA berkata, “Wahai Rasulullah, kami sudah menjaga diri kami, dan bagaimana menjaga keluarga kami?” Rasulullah saw menjawab, “Larang mereka mengerjakan apa yang kamu dilarang mengerjakannya dan perintahkan mereka melakukan apa yang diperintahkan Allah kepadamu. Begitulah caranya menyelamatkan mereka dari api neraka. Neraka itu dijaga oleh malaikat yang kasar dan keras yang pemimpinnya berjumlah sembilan belas malaikat. Mereka diberi kewenangan mengadakan penyiksaan di dalam neraka. Mereka adalah para malaikat yang tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan-Nya”.[14]


2.    Hak Suami yang Menjadi Kewajiban Istri

اَلرِّجَالُ قَوَّامُوْنَ عَلَى النِّسَاۤءِ بِمَا فَضَّلَ اللّٰهُ بَعْضَهُمْ عَلٰى بَعْضٍ وَّبِمَآ اَنْفَقُوْا مِنْ اَمْوَالِهِمْ ۗ فَالصّٰلِحٰتُ قٰنِتٰتٌ حٰفِظٰتٌ لِّلْغَيْبِ بِمَا حَفِظَ اللّٰهُ ۗوَالّٰتِيْ تَخَافُوْنَ نُشُوْزَهُنَّ فَعِظُوْهُنَّ وَاهْجُرُوْهُنَّ فِى الْمَضَاجِعِ وَاضْرِبُوْهُنَّ ۚ فَاِنْ اَطَعْنَكُمْ فَلَا تَبْغُوْا عَلَيْهِنَّ سَبِيْلًا ۗاِنَّ اللّٰهَ كَانَ عَلِيًّا كَبِيْرًا


“Laki-laki (suami) itu pelindung bagi perempuan (istri), karena Allah telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain (perempuan), dan karena mereka (laki-laki) telah memberikan nafkah dari hartanya. Maka perempuan-perempuan yang saleh adalah mereka yang taat (kepada Allah) dan menjaga diri ketika (suaminya) tidak ada, karena Allah telah menjaga (mereka). Perempuan-perempuan yang kamu khawatirkan akan nusyuz, hendaklah kamu beri nasihat kepada mereka, tinggalkanlah mereka di tempat tidur (pisah ranjang), dan (kalau perlu) pukullah mereka. Tetapi jika mereka menaatimu, maka janganlah kamu mencari-cari alasan untuk menyusahkannya. Sungguh, Allah Mahatinggi, Mahabesar”. (An-Nisa'/4:34)[15]

Kaum laki-laki adalah pemimpin, pemelihara, pembela dan pemberi nafkah, bertanggung jawab penuh terhadap kaum perempuan yang menjadi istri dan yang menjadi keluarganya. Oleh karena itu, wajib bagi setiap istri menaati suaminya selama suami tidak durhaka kepada Allah. Apabila suami tidak memenuhi kewajiban dan tanggung jawabnya, maka istri berhak mengadukannya kepada hakim yang berwenang menyelesaikan masalahnya.

Kemudian, yang dimaksud dengan istri shalihah dalam ayat ini ialah istri yang disifatkan dalam sabda Rasulullah saw:

خَيْرُ النِّسَاءِ الَّتِي اِذَا نَظَرْتَ اِلَيْهَا سَرَّتْكَ وَاِذَا اَمَرْتَهَا اَطَاعَتْكَ وَاِنْ غِبْتَ عَنْهَا حَفِظَتْكَ فِي مَالِكَ وَنَفْسِهاَ (رواه ابن جرير والبيهقي عن أبيهريرة(


“Sebaik-baik perempuan ialah perempuan yang apabila engkau melihatnya ia menyenangkan hatimu, dan apabila engkau menyuruhnya ia mengikuti perintahmu, dan apabila engkau tidak berada di sampingnya ia memelihara hartamu dan menjaga dirinya” (Riwayat Ibnu Jarir dan al-Baihaqi dari Abu Hurairah).[16]

Apabila istri bersikap tidak taat (nusyuz), maka suami harus terlebih dahulu menasihatinya dengan baik. Apabila nasihat itu tidak berhasil, maka suami boleh untuk mencoba berpisah tempat tidur dengan istrinya, dan apabila tetap tidak berubah barulah apabila dengan memukul mampu memberikan dampak baik, maka pukullah dengan pukulan ringan yang tidak mengenai wajah dan anggota badan yang dapat merusak tubuhnya serta tidak meninggalkan bekas. Namun apabila tidak mampu memberikan dampak yang baik, maka tidak perlu memukul. Karena yang lebih utama adalah memaafkannya.[17]

Kemudian apabila istri sudah kembali taat kepadanya, jangan lagi si suami mencari-cari jalan untuk menyusahkan istrinya, seperti membongkar-bongkar kesalahan-kesalahan yang sudah lalu, tetapi bukalah lembaran hidup baru yang mesra dan melupakan hal-hal yang sudah lalu. Bertindaklah dengan baik dan bijaksana. karena Allah Maha Mengetahui dan Mahabesar.[18]

·      Melayani ajakan suami untuk bergaul

اِذَا دَعَا الرَّجُلُ اِمْرَاَتَهُ اِلَى فِرَاشِهِ فَاَبَتْ غَضْبَانَ عَلَيْهَا لَعَنَتْهَا الْمَلآئِكَةُ حَتَّى تُصْبِحَ

“Apabila suami mengajak istrinya ke tempat tidur lalu istrinya enggan sehingga suami itu marah pada malam harinya maka malaikat akan melaknat sang istri hingga waktu shubuh”. (HR. Bukhari)

وقال ابن عباس رضي الله عنهما سمعت رسول الله صلى الله عليه وسلم يقول لو ان امراة جعلت ليلها قياما ونهارها صياما ودعاها زوجها الى فراشه وتاخرت عنه ساعة واحدة جاءت يوم القيمة تسحب بالسلاسل والاغلال مع الشياطين الى اسفل سافلين

“Ibnu Abbas RA berkata: Aku mendengar Rasulullah SAW bersabda:Misalkan ada perempuan yang menjadikan malam untuk sholat, dan siang untuk berpuasa serta dipanggil suaminya ke tempat tidur dan perempuan tersebut menjanjikan untuk melayani suaminya satu jam saja, perempuan tersebut kelak pada hari kiamat akan diseret dengan rantai yang membelunggu dan dikumpulkan bersama syaitan-syaitan sampai ke tempat yang paling bawah”.

Namun, bukan berarti bahwa suami bisa melakukannya dengan semena-mena. Seperti bolehnya tidak melayani ajakan suami sebelum ia bersuci dari haid maupun nifaswalaupun sudah berhenti, dan bergaul di depan laki-laki maupun wanita lain, maupun sebab udzur yang lain.[19]


·         Menjaga kehormatan diri

Istri tidak diperbolehkan keluar, kecuali mendapat izin dari suami, apabila keluar tanpa izin suami maka perempuan tersebut akan dilaknati malaikat, yakni malaikat penduduk langit dan bumi dan malaikat rahmah dan malaikat siksa hingga mau bertaubat atau pulang ke rumah suami. Selain itu, istri juga membutuhkan izin dari suami apabila akan berpuasa sunnah, kecuali puasa sunnah asyura dan arafah. Karena apabila ia berpuasa, puasanya tidak diterima.Dari keterangan tersebut, bisa disimpulkan bahwa perempuan itu wajib menjaga ridha milik suami dan menjauhi murkanya.[21]

·      Menjaga harta yang dimiliki suami

Seharusnya, wanita itu mampu memahami bahwa dirinya itu seperti ammat yang dimiliki suami, dan seperti orang yang ditawan (tidak bisa apa-apa) oleh suami. Jadi, istri tidak boleh mengeluarkan harta dari suami kecuali atas izinnya. Sebagian ulama juga berpendapat, bahwa istri juga tidak boleh mengeluarkan hartanya tanpa izin dari suaminya.[22]

قال رسول الله صلى الله عليه وسلم لايحل لها ان تطعم من بيته الا باذنه الا الرطب من الطعام الذي مخاف فساده فان اطعمت عن رضاه كان لها مثل اجره وان اطعمت بغير اذنه كان له الاجر وعليهما الوزر


Rasulullah saw bersabda: Tidak halal bagi perempuan memberi makan orang lain dari rumah suaminya apabila tanpa izin suaminya, kecuali makanan basah yang dikhawatirkan rusak. Apabila memberi makan dengan izin suaminya, perempuan itu mendapatkan pahala yang sama dengan suaminya. Namun, apabila memberikan makanan tanpa izin dari suaminya, maka yang mendapatkan pahala yaitu suaminya, dan istrinya justru mendapat dosa.[23]

·      Memuliakan suami

 
Selain itu, kewajiban istri juga mencakup:
·   Tidak menuntut lebih untuk mencukupi kebutuhannya, walaupun suami bisa mencukupinya.
·  Tidak mempergunakan hasil haram yang diperoleh suami, seperti hasil dari mencuri, korupsi, judi, dll.
·    Tidak boleh berbohong tentang masalah haid, yakni baik saat datang maupun berakhirnya masa haid.[25]

3.    Hak dan Kewajiban Bersama

Bagi kaum laki-laki, perempuan merupakan unsur penyempurna, begitu juga sebaliknya laki-laki pun penyempurna untuk perempuan. Keduanya merupakan kontribusi yang saling menyempurnakan, bukan saingan atau musuh. Perkawinan merupakan kehendak naluriah seluruh makhluk Allah atas kehendak kepribadian dan jenisnya, demikian sebaliknya. Oleh sebab itu laki-laki dan perempuan mempunyai perbedaan gender yang menyebabkan kenikmatan bersetubuh. Seperti kaitannya cincin dengan jari atau antara gelas dengan tekonya.
Allah berfirman dalam Q.S Adz-Dzariyat, ayat 49:

وَمِنْ كُلِّ شَيْءٍ خَلَقْنَا زَوْجَيْنِ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُوْنَ


Dan segala sesuatu Kami ciptakan berpasang-pasangan agar kamu mengingat (kebesaran Allah).  (Az-Zariyat/51:49)

Dengan demikian keduanya mempunyai kewajiban bersama antara suami dan istri, kewajiban tersebut ialah:

a.    Bagi keduanya dihalalkan untuk menikmati hubungan fisik termasuk hubungan seksual.
b.  Setelah akad nikah telah terjadi. Maka hukum pewarisan di antara keduanya berlaku. Dalam artian bahwa apabila di antara keduanya meninggal dunia sesudah berlangsungnya akad, maka si istri atau suami yang ditinggalkan berhak atas harta warisannya. Meskipun di antara keduanya belum melakukan hubungan seksual[26]
c.  Antara keduanya saling menggenggam amanah serta tidak boleh berkhianat satu sama lain. Dalam hal ini apabila salah satu dari suami atau istri mengabaikan amanah maka akan terjadi kesuraman dan tidak jarang akan berakhir dengan perceraian.
d.  Suami-istri bersama mengikat kasih sayang sumpah setia sehidup mati. Rumah tangga yang didasari oleh kasih sayang maka akan terasa membahagiakan, meskipun tinggal di rumah yang sempit. Berbeda dengan rumah tangga yang tidak terdapat kasih sayang di dalamnya maka rumah tangga tidak akan ceria, walaupun tinggal di rumah yang besar. 

Sebagaimana Firman Allah:


وَمِنْ اٰيٰتِهٖٓ اَنْ خَلَقَ لَكُمْ مِّنْ اَنْفُسِكُمْ اَزْوَاجًا لِّتَسْكُنُوْٓا اِلَيْهَا وَجَعَلَ بَيْنَكُمْ مَّوَدَّةً وَّرَحْمَةً ۗاِنَّ فِيْ ذٰلِكَ لَاٰيٰتٍ لِّقَوْمٍ يَّتَفَكَّرُوْنَ


Dan di antara tanda-tanda (kebesaran)-Nya ialah Dia menciptakan pasangan-pasangan untukmu dari jenismu sendiri, agar kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan Dia menjadikan di antaramu rasa kasih dan sayang. Sungguh, pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi kaum yang berpikir. (Ar-Rum/30:21)

 

C.  Penutup



[1] Hamin Ilyas, perempuan tertindas: Kajian Hadits-Hadits “Misoginis”, (Yogyakarta: elSAQ press & PSW, 2003), hlm. 122
[2] M. ali Hasan, Pedoman hidup berumah tangga dalam Islam, (Jakarta: Siraja, 2006), hlm. 151-152
[3]Tafsir Qur’an Kemenag In Word.
[4]Asy-Syaikh Muhammad bin Umar Nawawi Al-Jawi, Qurratul ‘Ain (Syarh Uqudil al-Jain, (Semarang: Maktabah Sumber Barakah, t.th), hlm. 19-20.
[5]Qur’an Kemenag In Word, Terjemah Kemenag 2002.
[6]Qur’an Kemenag In Word, Terjemah Kemenag 2002.
[7] Beni Ahmad Saebani, Fiqh Munaqahat 2, (Bandung: CV PUSTAKA SETIA, 2010), hlm. 13
[8]Qur’an Kemenag In Word, Terjemah Kemenag 2002.
[9] Muhammad Bagir, FIQH PRAKTIS II, (Bandung: penerbit charisma, 2008), hlm. 138.
[10]Qur’an Kemenag In Word, Terjemah Kemenag 2002.
[11]Asy-Syaikh Muhammad bin Umar Nawawi Al-Jawi, Qurratul ‘Ain (Syarh Uqudil al-Jain, (Semarang: Maktabah Sumber Barakah, t.th), hlm. 18-19.
[12]Tafsir Qur’an Kemenag In Word.
[13]Asy-Syaikh Muhammad bin Umar Nawawi Al-Jawi, Qurratul ‘Ain (Syarh Uqudil al-Jain, (Semarang: Maktabah Sumber Barakah, t.th), hlm. 10-11.
[14]Tafsir Qur’an Kemenag In Word.
[15]Qur’an Kemenag In Word, Terjemah Kemenag 2002.
[16]Tafsir Qur’an Kemenag In Word.
[18]Tafsir Qur’an Kemenag In Word.
[19] Asy-Syaikh Muhammad bin Umar Nawawi Al-Jawi, Qurratul ‘Ain (Syarh Uqudil al-Jain, (Semarang: Maktabah Sumber Barakah, t.th), hlm. 82-83.
[20]Asy-Syaikh Muhammad bin Umar Nawawi Al-Jawi, Qurratul ‘Ain (Syarh Uqudil al-Jain, (Semarang: Maktabah Sumber Barakah, t.th), hlm. 11-12.
[21] Asy-Syaikh Muhammad bin Umar Nawawi Al-Jawi, Qurratul ‘Ain (Syarh Uqudil al-Jain, (Semarang: Maktabah Sumber Barakah, t.th), hlm. 85-87.
[22] Asy-Syaikh Muhammad bin Umar Nawawi Al-Jawi, Qurratul ‘Ain (Syarh Uqudil al-Jain, (Semarang: Maktabah Sumber Barakah, t.th), hlm. 77-78.
[23] Asy-Syaikh Muhammad bin Umar Nawawi Al-Jawi, Qurratul ‘Ain (Syarh Uqudil al-Jain, (Semarang: Maktabah Sumber Barakah, t.th), hlm. 80-81.
[24]Asy-Syaikh Muhammad bin Umar Nawawi Al-Jawi, Qurratul ‘Ain (Syarh Uqudil al-Jain, (Semarang: Maktabah Sumber Barakah, t.th), hlm. 78-79.
[25]Asy-Syaikh Muhammad bin Umar Nawawi Al-Jawi, Qurratul ‘Ain (Syarh Uqudil al-Jain, (Semarang: Maktabah Sumber Barakah, t.th), hlm. 12.
[26] Muhammad Bagir, FIQH PRAKTIS II, (Bandung: penerbit charisma, 2008), hlm. 128.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar