Kamis, 11 November 2021

Respon Al-Qur’an Terhadap Fenomena Ghibah Online Berjamaah di Era Media Sosial

 

Media sosial merupakan platform yang kini sangat digandrungi oleh banyak orang di dunia. Sebagaimana bisa dilihat dari hasil survei yang dilakukan oleh Hotsuite yang menyatakan bahwasanya pada Februari 2021 pengguna media sosial di seluruh dunia mencapai 4,20 milyar yang berarti telah mengalami peningkatan sebanyak 490 juta pengguna dari Februari 2020. Sedangkan, di Indonesia sendiri pada Februari 2021 tercatat memiliki 160 juta pengguna media sosial dan kemudian pada Februari 2021 juga mengalami peningkatan sebanyak 10 juta pengguna. Sehingga Indonesia tercatat memiliki 170 juta pengguna dengan rata-rata waktu penggunaan sebanyak 3 jam 14 menit dalam seharinya.[1]

Dikarenakan media sosial kini telah menjadi salah satu alternatif yang paling banyak digunakan oleh manusia untuk berekspresi, maka tidak heran jika kehadiran media sosial juga memberikan dampak bagi penggunanya. Ada begitu banyak dampak positif yang bisa kita rasakan dengan hadirnya media sosial, namun tentunya ada juga begitu banyak dampak negatif yang bisa kita temukan.

Salah satunya yakni fenomena ghibah online berjamaah yang di mana ada beberapa oknum yang sengaja menjadikan media sosial sebagai tempat untuk berghibah. Jadi jika dulu ghibah hanya bisa dilakukan di waktu tertentu dan dilakukan dengan seseorang yang sedang berkumpul bersama, kini ghibah bisa dilakukan di mana saja dan kapan bahkan dengan siapa saja walaupun mereka tidak mengenal satu sama lain.

Di dalam al-Qur’an sendiri telah banyak penjelasan yang menerangkan tentang ghibah. Salah satunya yaitu sebagaimana firman Allah Swt:

يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوا اجْتَنِبُوْا كَثِيْرًا مِّنَ الظَّنِّۖ اِنَّ بَعْضَ الظَّنِّ اِثْمٌ وَّلَا تَجَسَّسُوْا وَلَا يَغْتَبْ بَّعْضُكُمْ بَعْضًاۗ اَيُحِبُّ اَحَدُكُمْ اَنْ يَّأْكُلَ لَحْمَ اَخِيْهِ مَيْتًا فَكَرِهْتُمُوْهُۗ وَاتَّقُوا اللّٰهَ ۗاِنَّ اللّٰهَ تَوَّابٌ رَّحِيْمٌ  ١٢

Wahai orang-orang yang beriman! Jauhilah banyak dari prasangka, sesungguhnya sebagian prasangka itu dosa dan janganlah kamu mencari-cari kesalahan orang lain dan janganlah ada di antara kamu yang menggunjing sebagian yang lain. Apakah ada di antara kamu yang suka memakan daging saudaranya yang sudah mati? Tentu kamu merasa jijik. Dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Penerima tobat, Maha Penyayang. (al-Hujurat/49: 12)

Pada kalimat  فَكَرِهْتُمُوْهُۗ terlihat bahwasanya menggunakan kata kerja untuk masa yang telah lampau, hal ini dimaksudkan guna memperlihatkan bahwasanya perasaan jijik adalah hal yang pasti dirasakan oleh semua orang. Selain itu,  juga menjadi penekanan bahwasanya berghibah (menggunjing) merupakan tindakan yang sangat buruk.[2]

Selain itu, berkaitan dengan ini Thabathaba’i juga berpendapat bahwasanya ghibah merupakan tindakan perusakan bagian dari masyarakat. sehingga gunjingan tersebut bagaikan rayap yang menggerogoti anggota badan yang digunjing, sedikit demi sedikit hingga berakhir dengan kematian. Sebab yang diharapkan dari wujudnya masyarakat adalah hubungan harmonis antar anggota-anggotanya, di mana setiap orang dapat bergaul dengan penuh rasa aman dan damai. Selain itu, masing-masing juga mengenal anggota masyarakat lainnya sebagai seorang manusia yang disenangi, tidak dibenci atau dihindari. Sehingga apabila ada seseorang yang dikenal sebagai sosok dengan aib yang dianggap dapat mendatangkan kebencian, maka akan terputus hubungan dengannya sebesar kebencian dan aib itu dan akhirnya yang diharapkan dari wujudnya satu masyarakat menjadi gagal dan berantakan.[3]

Oleh karena itu, Allah pun sangat membenci tindakan ghibah dan pelakunya pun akan diberi hukuman dengan siksaan yang berat. Sebagaimana yang telah dijelaskan dalam al-Qur’an, yaitu:[4]

-     Azab yang pedih, sebagaimana Allah Swt berfirman:

اِنَّ الَّذِيْنَ يُحِبُّوْنَ اَنْ تَشِيْعَ الْفَاحِشَةُ فِى الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا لَهُمْ عَذَابٌ اَلِيْمٌۙ فِى الدُّنْيَا وَالْاٰخِرَةِۗ وَاللّٰهُ يَعْلَمُ وَاَنْتُمْ لَا تَعْلَمُوْنَ١٩

Sesungguhnya orang-orang yang ingin agar perbuatan yang sangat keji itu (berita bohong) tersiar di kalangan orang-orang yang beriman, mereka mendapat azab yang pedih di dunia dan di akhirat. Dan Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui. (an-Nur/24: 19)

-     Siksa Kubur, sebagaimana Allah Swt berfirman:

وَيْلٌ لِّكُلِّ هُمَزَةٍ لُّمَزَةٍۙ ١

Celakalah bagi setiap pengumpat dan pencela, (al-Humazah/104: 1)

 

-     Menyiksa diri sendiri, sebagaimana Allah Swt berfirman:

وَلَا تُطِعْ كُلَّ حَلَّافٍ مَّهِيْنٍۙ ١٠  هَمَّازٍ مَّشَّاۤءٍۢ بِنَمِيْمٍۙ  ١١

Dan janganlah engkau patuhi setiap orang yang suka bersumpah dan suka menghina, suka mencela, yang kian ke mari menyebarkan fitnah, (al-Qalam/68: 11)

 

Demikianlah telah dipaparkan secara gamblang tentang apa saja siksa yang akan diterima bagi para pelaku ghibah. Namun memang tidak dapat disangkal bahwasanya seringkali kita tidak sadar dengan jari kita saat mengetik untuk melakukan ghibah di suatu platform media sosial. Meskipun demikian semoga hal ini mampu menjadi pengingat bagi kita semua untuk lebih berhati-hati dalam menggerakkan jari kita saat bermedia sosial. Sebab istilah sekarang bukan hanya “mulutmu adalah harimaumu” melainkan juga telah berkembang menjadi “jarimu adalah harimaumu”.

 



[1] Hootsuite, “Digital 2021: Indonesia”, diakses dari https://datareportal.com/reports/digital-2021-indonesia pada tanggal 25 Maret 2021, pukul 09.43 WIB.

[2] M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah, Vol. 13, (Jakarta: Lentera Hati, 2002), hlm. 257.

[3] Ibid., hlm. 257.

[4] Ahmad bin Hajar al-Haitami, Tathir al-‘Aibah min Danas al-Ghibah (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 1988), hlm. 79.

Hiruk-Pikuk Fenomena Prank

 

Salah satu fenomena yang saat ini sedang marak terjadi khususnya di Indonesia adalah adanya fenomena prank. Prank sendiri memiliki makna sebagai senda-gurau atau bercanda[1] sedangkan menurut hemat penulis, prank bisa juga dimaknai sebagai bentuk dari perbuatan senda-gurau yang diaktualisasikan dengan cara berbohong yang memiliki tujuan tertentu. Pandangan tersebut tentu saja penulis simpulkan berdasarkan dari fakta yang terjadi di lapangan.

Prank sendiri juga terbagi menjadi dua, yaitu prank dengan tujuan positif dan prank dengan tujuan negatif. Adapun salah satu contoh dari prank yang memiliki tujuan positif yaitu prank menyamar untuk menyembunyikan identitas dengan tujuan menolong atau memberikan bantuan kepada orang lain. Jika kita berpatokan pada sabda Rasulullah Saw yang berbunyi:

عن جابر قال : قال رسول الله صلى الله عليه وسلم : المؤمن يألف ويؤلف ، ولا خير فيمن لا يألف ولا يؤلف وخير الناس أنفعهم للناس

Dari Jabir, Ia berkata: ”Rasulullah SAW bersabda: orang beriman itu bersikap ramah dan tidak ada kebaikan bagi seorang yang tidak bersikap ramah. Dan sebaik-baik manusia adalah orang yang paling bermanfaat bagi manusia”. (HR. Thabrani dan Daruquthni).

 

Maka, perbuatan untuk tujuan menolong atau memberikan bantuan kepada orang lain merupakan salah satu wujud dari perbuatan memberikan manfaat kepada orang lain. Namun meskipun fenomena prank yang dilakukan itu berkonotasi positif (guna membantu sesama), penulis mengategorikannya sebagai suatu perbuatan yang “makruh”. Karena jika memang ingin mencapai tujuan yang baik maka alangkah baiknya juga harus menggunakan cara-cara yang baik pula.

Sedangkan salah satu contoh dari prank yang memiliki tujuan negatif yaitu sebagaimana prank yang dilakukan oleh salah satu oknum warga Solo yang memberikan laporan palsu tentang terjadinya kebakaran di salah satu dapur rumah warga dekat RS DKT Solo kepada petugas pemadam kebakaran.[2] Akibat banyaknya prank yang demikian menjadikan banyak masyarakat yang menilai bahwasanya prank merupakan tindakan yang usil, tidak berfaedah, dan bahkan dianggap mengganggu ketertiban masyarakat karena terkadang dapat merugikan atau membahayakan pihak yang di prank.

Dalam Islam sebenarnya tidak melarang untuk bersenda-gurau (bercanda) selama yang dilakukannya itu tidak menjadikan orang yang diajak bersenda-gurau kaget, ketakutan, maupun marah (tidak rida). Karena jika sampai demikian, maka itu termasuk senda-gurau yang keterlaluan atau melampaui batas. Sebab tidak semua orang suka diajak untuk bersenda-gurau secara berlebihan, terlebih hingga harus dibuat malu.[3] Selain itu, di dalam Islam juga telah dijelaskan bahwasanya kita tidak boleh membuat orang lain rugi atau berada dalam bahaya. Sebagaimana kaidah fiqhiyyah:

لاَ ضَرَرَ وَلاَ ضِرَارَ

“Tidak boleh melakukan sesuatu yang dapat memberikan mudharat bagi diri sendiri maupun orang lain”.

 

Di dalam kaidah tersebut juga lebih dulu disebutkan tentang peringatan untuk “diri sendiri” agar tidak melakukan hal yang dapat memberikan mudharat. Padahal jika kita perhatikan baik-baik fenomena prank yang berkonotasi negatif juga seringkali membawa dampak negatif bagi pelakunya. Oleh karena itu berkaitan dengan ini, maka penulis juga beropini bahwasanya fenomena prank merupakan sebuah boomerang bagi pelakunya. Hal ini diperkuat dari sebagaimana yang terdapat dalam potongan QS. al-Isra ayat 7, di mana Allah Swt berfirman:

اِنْ اَحْسَنْتُمْ اَحْسَنْتُمْ لِاَنْفُسِكُمْ ۗوَاِنْ اَسَأْتُمْ فَلَهَاۗ.......

Jika kamu berbuat baik (berarti) kamu berbuat baik untuk dirimu sendiri. Dan jika kamu berbuat jahat, maka (kerugian kejahatan) itu untuk dirimu sendiri. (al-Isra/17: 7)

 

Karena tidak sedikit pula para pelaku prank ini yang akhirnya juga harus berurusan dengan hukum. Sebagaimana dari kelanjutan kasus prank yang dilakukan oleh Ferdian Paleka yang akhirnya ditetapkan sebagai tersangka dengan ancaman hukuman 12 tahun penjara serta maksimal denda 12 miliar rupiah akibat dari tindakannya yang seolah-olah memberikan bantuan berupa sembako kepada para warga Transpuan namun ternyata hanya berisi sampah.[4] Meskipun jika ada perbuatan prank yang dapat lolos dari jeratan hukum dunia, namun tidak demikian jika kita berada di akhirat. Sebagaimana firman Allah Swt:

يٰبُنَيَّ اِنَّهَآ اِنْ تَكُ مِثْقَالَ حَبَّةٍ مِّنْ خَرْدَلٍ فَتَكُنْ فِيْ صَخْرَةٍ اَوْ فِى السَّمٰوٰتِ اَوْ فِى الْاَرْضِ يَأْتِ بِهَا اللّٰهُ ۗاِنَّ اللّٰهَ لَطِيْفٌ خَبِيْرٌ - ١٦

(Lukman berkata), ”Wahai anakku! Sungguh, jika ada (sesuatu perbuatan) seberat biji sawi, dan berada dalam batu atau di langit atau di bumi, niscaya Allah akan memberinya (balasan). Sesungguhnya Allah Mahahalus, Mahateliti. (Luqman/31: 16)

 

Oleh karena itu, sebagaimana dalam firman Allah Swt tersebut menggambarkan bagaimana Allah berkuasa dalam melakukan perhitungan terhadap berbagai amal yang dimiliki oleh manusia di akhirat kelak.[5] Sekecil apapun perbuatan yang dilakukan oleh manusia pasti akan terhitung dan tidak akan ada yang terlewatkan untuk dimintai pertanggungjawabannya.



[1] Kamus Bahasa Inggris Indonesia, diakses dari https://www.kamuskbbi.id/inggris/indonesia.php?mod=view&prank&id=24987-kamus-inggris-indonesia.html, pada tanggal 10 Oktober 2021, pukul 14.34 WIB.

[3] Uum Umdah, “Fenomena Prank dalam Pandangan Islam”, UIN Sultan Maulana Hasanuddin Banten, hlm. 7.

[5]M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah, Vol. 11, (Jakarta: Lentera Hati, 2002), hlm. 136.

Say No to Hoax

Kejujuran dan kebenaran merupakan sikap yang harus selalu ada dalam setiap aktivitas yang kita lakukan. Sebab apabila kedua sikap tersebut selalu menjadi bagian dari landasan hidup seseorang, maka ia akan menikmati kehidupan yang bahagia. Sebagaimana sabda Rasulullah Saw:

 

إِنَّ الصِّدْقَ يَهْدِي إِلَى الْبِرِّ وَإِنَّ الْبِرَّ يَهْدِي إِلَى الْجَنَّةِ وَإِنَّ الرَّجُلَ لَيَصْدُقُ حَتَّى يَكْتُبَ عِنْدَااللهِ صِدِّيقًا وَإِنَّ الْكَذِبَ يَهْدِي إِلَى الْفُجُورِ وَإِنَّ الْفُجُورَ يَهْدِي إِلَى النَّارِ وَإِنَّ الرَّجُلَ لَيَكْذِبُ حَتَّى يُكْتَبَ عِنْدَ اللَّهِ كَذَّابًا. (رواه البخاري و مسلم عن عبداالله بن عمر)

 

Sungguh kebenaran (kejujuran) itu membawa kepada kebajikan, dan kebajikan itu mengantarkan ke surga. Sungguh seseorang senantiasa bersikap benar (jujur) hingga dicatat di sisi Allah sebagai orang-orang benar (jujur). Sementara kebohongan membawa kepada dosa, dan dosa mengantarkan ke neraka. Sungguh seseorang terbiasa berbohong sehingga dicatat di sisi Allah sebagai pembohong. (HR. Bukhari dan Muslim dari ‘Abdullah bin ‘Umar)

Namun sayangnya tidak sedikit dari manusia yang tidak mengindahkan hal ini. Banyak dari mereka yang lalai bahkan bersikap acuh terhadap pentingnya kejujuran serta kebenaran, dan justru lebih suka membuat kehebohan melalui bumbu-bumbu kebohongan (hoax). Adapun dalam bahasa Arab, hoax disebut افك (ifk) yang juga bisa dimaknai sebagai كذب (kadzab) yang berarti dusta.[1] Meskipun kata hoax merupakan kata yang baru muncul pada tahun 1808,[2] namun pembahasan tentang hoax telah terlebih dulu dibahas dalam al-Quran. Misalnya:

-      Larangan untuk menambahkan persepsi subjektif yang bertujuan menjadikannya sebagai berita yang menarik dan menghebohkan.

وَلَا تَقُوْلُوْا لِمَا تَصِفُ اَلْسِنَتُكُمُ الْكَذِبَ هٰذَا حَلٰلٌ وَّهٰذَا حَرَامٌ لِّتَفْتَرُوْا عَلَى اللّٰهِ الْكَذِبَۗ اِنَّ الَّذِيْنَ يَفْتَرُوْنَ عَلَى اللّٰهِ الْكَذِبَ لَا يُفْلِحُوْنَۗ ١١٦

Dan janganlah kamu mengatakan terhadap apa yang disebut-sebut oleh lidahmu secara dusta “Ini halal dan ini haram”, untuk mengada-adakan kebohongan terhadap Allah. Sesungguhnya orang yang mengada-adakan kebohongan terhadap Allah tidak akan beruntung. (An-Nahl: 16/116)

-     Larangan untuk menyampaikan berita yang diputarbalikkan dari realitanya (berita yang baik dan benar diubah menjadi buruk dan tercela).

لَوْلَآ اِذْ سَمِعْتُمُوْهُ ظَنَّ الْمُؤْمِنُوْنَ وَالْمُؤْمِنٰتُ بِاَنْفُسِهِمْ خَيْرًاۙ وَّقَالُوْا هٰذَآ اِفْكٌ مُّبِيْنٌ ١٢ لَوْلَا جَاۤءُوْ عَلَيْهِ بِاَرْبَعَةِ شُهَدَاۤءَۚ فَاِذْ لَمْ يَأْتُوْا بِالشُّهَدَاۤءِ فَاُولٰۤىِٕكَ عِنْدَ اللّٰهِ هُمُ الْكٰذِبُوْنَ ١٣ وَلَوْلَا فَضْلُ اللّٰهِ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَتُهٗ فِى الدُّنْيَا وَالْاٰخِرَةِ لَمَسَّكُمْ فِيْ مَآ اَفَضْتُمْ فِيْهِ عَذَابٌ عَظِيْمٌ ١٤ اِذْ تَلَقَّوْنَهٗ بِاَلْسِنَتِكُمْ وَتَقُوْلُوْنَ بِاَفْوَاهِكُمْ مَّا لَيْسَ لَكُمْ بِهٖ عِلْمٌ وَّتَحْسَبُوْنَهٗ هَيِّنًاۙ وَّهُوَ عِنْدَ اللّٰهِ عَظِيْمٌ ۚ ١٥ وَلَوْلَآ اِذْ سَمِعْتُمُوْهُ قُلْتُمْ مَّا يَكُوْنُ لَنَآ اَنْ نَّتَكَلَّمَ بِهٰذَاۖ سُبْحٰنَكَ هٰذَا بُهْتَانٌ عَظِيْمٌ ١٦ يَعِظُكُمُ اللّٰهُ اَنْ تَعُوْدُوْا لِمِثْلِهٖٓ اَبَدًا اِنْ كُنْتُمْ مُّؤْمِنِيْنَ ۚ ١٧ وَيُبَيِّنُ اللّٰهُ لَكُمُ الْاٰيٰتِۗ وَاللّٰهُ عَلِيْمٌ حَكِيْمٌ ١٨

 

Mengapa orang-orang mukmin dan mukminat tidak berbaik sangka terhadap diri mereka sendiri, ketika kamu mendengar berita bohong itu dan berkata, “Ini adalah (suatu berita) bohong yang nyata.” Mengapa mereka (yang menuduh itu) tidak datang membawa empat saksi? Oleh karena mereka tidak membawa saksi-saksi, maka mereka itu dalam pandangan Allah adalah orang-orang yang berdusta. Dan seandainya bukan karena karunia Allah dan rahmat-Nya kepadamu di dunia dan di akhirat, niscaya kamu ditimpa azab yang besar, disebabkan oleh pembicaraan kamu tentang hal itu (berita bohong itu). (Ingatlah) ketika kamu menerima (berita bohong) itu dari mulut ke mulut dan kamu katakan dengan mulutmu apa yang tidak kamu ketahui sedikit pun, dan kamu menganggapnya remeh, padahal dalam pandangan Allah itu soal besar. Dan mengapa kamu tidak berkata ketika mendengarnya, “Tidak pantas bagi kita membicarakan ini. Mahasuci Engkau, ini adalah kebohongan yang besar.” Allah memperingatkan kamu agar (jangan) kembali mengulangi seperti itu selama-lamanya, jika kamu orang beriman, dan Allah menjelaskan ayat-ayat(-Nya) kepada kamu. Dan Allah Maha Mengetahui, Mahabijaksana. (an-Nur/24: 12-18)

 

Selain itu, di dalam al-Qur’an juga telah dijelaskan bahwasanya hoax merupakan salah satu cara yang digunakan oleh orang-orang munafik untuk menyukseskan niat buruk mereka. Allah Swt berfirman:

لَىِٕنْ لَّمْ يَنْتَهِ الْمُنٰفِقُوْنَ وَالَّذِيْنَ فِيْ قُلُوْبِهِمْ مَّرَضٌ وَّالْمُرْجِفُوْنَ فِى الْمَدِيْنَةِ لَنُغْرِيَنَّكَ بِهِمْ ثُمَّ لَا يُجَاوِرُوْنَكَ فِيْهَآ اِلَّا قَلِيْلًا ٦٠

Sungguh, jika orang-orang munafik, orang-orang yang berpenyakit dalam hatinya dan orang-orang yang menyebarkan kabar bohong di Madinah tidak berhenti (dari menyakitimu), niscaya Kami perintahkan engkau (untuk memerangi) mereka, kemudian mereka tidak lagi menjadi tetanggamu (di Madinah) kecuali sebentar. (al-Ahzab/33: 60)

Dalam ayat tersebut terlihat bahwasanya orang-orang munafik telah menjadikan hoax sebagai cara untuk membohongi orang-orang mukmin. Namun hal tersebut justru mengakibatkan mereka (orang-orang munafik) diusir dari Madinah.[3] Sedangkan yang terjadi pada saat ini, hoax seringkali dilakukan dalam rangka hanya sekedar untuk membuat kehebohan ataupun guna merendahkan orang lain dari kekurangan yang mereka miliki.

Terlebih seiring pesatnya perkembangan IPTEK yang memudahkan manusia dalam menerima maupun mencari informasi. Kehadiran media sosial kini telah menjadi lahan empuk bagi pembuat dan penyebar hoax, sebab masyarakat lebih suka menghabiskan waktunya di media sosial seperti Facebook, Twitter, Whatsapp, Line, Instagram, Telegram dan sebagainya. Misalnya yaitu berkaitan dengan oknum yang membuat dan menyebarkan meme yang berisi hasil survei pilpres 2019 dengan mengatasnamakan Indo Barometer. Meme tersebut pun telah tersebar di berbagai platform media sosial, terutama whatsapp. Padahal Indo Barometer tidak pernah melakukan survei terhadap hasil pilpres 2019.[4]

Sehingga dengan melihat dari contoh kasus di atas, sudah sewajarnya jika masyarakat dituntut harus dapat mengkaji dan memilah kebenaran pada suatu berita yang diterimanya. Sebab sikap yang senantiasa berhati-hati dan mencari tahu akan kebenaran berita yang diterima merupakan hal yang al-Qur’an ajarkan kepada kita. Sebagaimana firman Allah Swt:

وَلَا تَقْفُ مَا لَيْسَ لَكَ بِهٖ عِلْمٌ ۗاِنَّ السَّمْعَ وَالْبَصَرَ وَالْفُؤَادَ كُلُّ اُولٰۤىِٕكَ كَانَ عَنْهُ مَسْـُٔوْلًا ٣٦

Dan janganlah kamu mengikuti sesuatu yang tidak kamu ketahui. Karena pendengaran, penglihatan dan hati nurani, semua itu akan diminta pertanggungjawabannya. (al-Isra’/17: 36)

Karena jika kita tidak mengindahkan apa yang telah al-Qur’an ajarkan ini, maka dikhawatirkan kita akan mudah terjerumus ke dalamnya. Oleh karena itu janganlah mudah untuk berkata apa yang tidak dirimu ketahui, janganlah mudah untuk mengaku mengetahui sesuatu padahal dirimu tidak mengetahuinya, dan janganlah mudah untuk mengaku bahwa dirimu mendengar sesuatu yang sebenarnya tidak dirimu dengar. Karena semuanya akan dimintai pertanggungjawabannya.[5]



[1] Ahmad Warson Munawwir, Al-Munawwir Kamus Arab-Indonesia, (Surabaya: Pustaka Progressif, 1997), hlm. 31.

[2] Lusiana Monohevita, “Stop Menyebar Hoax”, Jurnal  UI  Lib. berkala,  III, No. 1 (2017), hlm. 7.

[3] Jalaluddin  Mahalli  dan  Jalaluddin  As-Suyuti, Tafsir  Jalalain,  (Bandung: Sinar Baru Algesindo, 2016), hlm. 523-524.

[5] M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah, Vol. 7, (Jakarta: Lentera Hati, 2002), hlm. 464.