Kamis, 11 November 2021

Esensi Kebebasan dalam Berekspresi Menurut Al-Qur’an dan Hukum yang Berlaku di Indonesia


Setiap manusia memiliki kebebasan untuk beraktivitas secara publik guna memperlihatkan eksistensi dirinya di hadapan orang lain. Sebab, bentuk pengaktualisasian diri secara publik merupakan puncak hierarki kebutuhan manusia dan merupakan hakikat manusia sebagai makhluk sosial (zoon politicon).[1] Dalam KBBI kata “bebas” berarti terlepas, tidak terikat dengan sesuatu, dan merdeka dari sesuatu.[2] Sedangkan secara istilah makna “kebebasan” digambarkan sebagai tidak adanya paksaan atau tuntutan maupun kewajiban serta tanggung jawab yang harus dipikul, sehingga seseorang tersebut dapat menunjukkan eksistensi dirinya sebagai manusia.[3]

Sedangkan berekspresi berasal dari kata “ekspresi” yang berarti pengungkapan pendapat, gagasan, maupun perasaan.[4] Sehingga, dapat disimpulkan bahwasanya kebebasan berekspresi adalah pengutaraan terhadap ide, gagasan, maupun perasaan baik secara verbal, sikap, tingkah laku, grafis dan isyarat dengan bebas atau tanpa terikat oleh sesuatu. Adapun salah satu bentuk kebebasan berekspresi yang dapat dilakukan secara verbal yaitu dengan “dibolehkannya” seseorang untuk mengutarakan ide bahkan komentar terhadap sesuatu. Sebagaimana yang dilakukan dalam acara diskusi atau jika dilakukan secara digital maka bisa juga melalui “caption” atau “kolom komentar” pada postingan di media sosial yang dimilikinya.

Selain itu, kebebasan tersebut juga mencakup dalam hal mencari, menerima, maupun menyebarluaskan informasi melalui media apa pun.[5] Sebagaimana yang telah diatur dalam hukum HAM Indonesia yaitu yang berasal dari UUD 1945 pada Pasal 28F:

Setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala saluran yang tersedia”.

Kemudian Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 yaitu:

Setiap orang berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala sarana yang tersedia”.

Kalimat “segala saluran/sarana yang tersedia” pada kedua pasal tersebut menunjukkan bahwasanya pelaksanaan tindakan dalam kebebasan berekspresi bisa dilakukan dengan apa saja, baik itu secara langsung maupun dengan bantuan teknologi.[6]

Namun, makna “kebebasan” di sini bukan berarti “sebebas-bebasnya atau tidak terikat apapun” melainkan bermakna “kebolehan untuk melakukan suatu tindakan”. Hal ini juga sejalan dengan firman Allah Swt:

وَاَنْ لَّيْسَ لِلْاِنْسَانِ اِلَّا مَا سَعٰىۙ ٣ وَاَنَّ سَعْيَهٗ سَوْفَ يُرٰىۖ ٤٠ ثُمَّ يُجْزٰىهُ الْجَزَاۤءَ الْاَوْفٰىۙ ٤١ وَاَنَّ اِلٰى رَبِّكَ الْمُنْتَهٰىۙ ٤٢

“Dan bahwa manusia hanya memperoleh apa yang telah diusahakannya, dan sesungguhnya usahanya itu kelak akan diperlihatkan (kepadanya), kemudian akan diberi balasan kepadanya dengan balasan yang paling sempurna, dan sesungguhnya kepada Tuhanmulah kesudahannya (segala sesuatu)” (an-Najm/53: 39-42)

Di mana dalam ayat-ayat tersebut telah dijelaskan bahwasanya Allah Swt telah memberikan kebebasan kepada manusia, namun Allah Swt juga memberikan balasan terhadap apa yang telah manusia lakukan.[7] Sebab walaupun manusia memiliki potensi yang bisa membawanya ke arah yang baik maupun buruk, namun manusia juga memiliki akal yang bisa mengenali dan mengendalikan keinginannya tersebut. Sehingga, kebebasan yang diberikan kepada manusia itu tidak dapat terlepas dari tanggung jawab. [8]

Terlebih ketika telah berhubungan dengan orang lain atau masyarakat, kebebasan yang dimiliki manusia akan dihadapkan dengan yang namanya batasan. Oleh karena itu, kebebasan adalah hal yang semu.[9] Sebagaimana yang telah diatur dalam Hukum Islam Indonesia yang berasal dari Fatwa Majelis Ulama Indonesia Nomor 24 Tahun 2017 pada ketentuan 1 yang berbunyi:[10]

Dalam bermuamalah dengan sesama, baik di dalam kehidupan riil maupun media sosial, setiap muslim wajib mendasarkan pada keimanan dan ketakwaan, kebajikan (mu’asyarah bil ma’ruf), persaudaraan (ukhuwah), saling wasiat akan kebenaran (al- haqq) serta mengajak pada kebaikan (al-amr bi al-ma’ruf) dan mencegah kemungkaran (al-nahyu ‘an al-munkar)”.

Meskipun secara eksplisit “kebebasan berekspresi” tidak disebutkan, namun kebebasan berekspresi merupakan salah satu wujud dari kegiatan bermuamalah.[11] Adapun secara eksplisit, batasan-batasan terhadap kebebasan dalam berekspresi juga telah diatur oleh hukum-hukum yang berlaku di Indonesia. Sebagaimana yang terlihat dalam pandangan Hukum Islam Indonesia yang berasal dari Fatwa Majelis Ulama Indonesia Nomor 24 Tahun 2017 pada ketentuan 4-8 yaitu :[12]

“(4) Memproduksi, menyebarkan dan/atau membuat dapat diaksesnya konten/informasi yang tidak benar kepada masyarakat hukumnya haram; (5) Memproduksi, menyebarkan dan/atau membuat dapat diaksesnya konten/informasi tentang hoax, ghibah, fitnah, namimah, aib, bullying, ujaran kebencian, dan hal-hal lain sejenis terkait pribadi kepada orang lain dan/atau khalayak hukumnya haram; (6) Mencari-cari informasi tentang aib, gosip, kejelekan orang lain atau kelompok hukumnya haram kecuali untuk kepentingan yang dibenarkan secara syar’i; (7) Memproduksi dan/atau menyebarkan konten/informasi yang bertujuan untuk membenarkan yang salah atau menyalahkan yang benar, membangun opini agar seolah-olah berhasil dan sukses, dan tujuan menyembunyikan kebenaran serta menipu khalayak hukumnya haram; (8) Menyebarkan konten yang bersifat pribadi ke khalayak, padahal konten tersebut diketahui tidak patut untuk disebarkan ke publik, seperti pose yang mempertontonkan aurat, hukumnya haram.”

Sedangkan menurut Hukum HAM Indonesia yaitu berasal dari UUD 1945 pada Pasal 28J ayat 1 dan 2 yang berbunyi:

“(1) Setiap orang wajib menghormati hak asasi manusia orang lain dalam tertib kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. (2) Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan Undang-undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis.”

Selain itu ada juga yang berasal dari Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 Pasal 70 yang berbunyi:

“Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan oleh Undang-undang dengan maksud untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis.”

Meskipun secara eksplisit “kebebasan berekspresi” tidak disebutkan, namun kebebasan berekspresi adalah salah satu bentuk dari HAM.[13] Dengan demikian, berdasarkan pemaparan di atas maka dapat kita simpulkan bahwasanya esensi kebebasan dalam berekspresi di sini adalah bermakna “kebolehan” untuk berekspresi baik secara verbal, sikap, tingkah laku, grafis atau isyarat selama tidak melanggar aturan dan pembatasan yang terdapat pada hukum maupun perundang-undangan yang berlaku di Indonesia.



[1] C. Goerge Boeree, General Psychology (Yogyakarta: Prismashopie, 2008), hlm. 133.

[2] KBBI Daring, diakses dari https://kbbi.kemdikbud.go.id, pada tanggal 11 Maret 2021, pukul 14.02 WIB.

[3] Nico Syukur Dister, Filsafat Kebebasan, (Yogyakarta: Kanisius, 1988), hlm. 47-48.

[4] KBBI Daring, diakses dari https://kbbi.kemdikbud.go.id, pada tanggal 11 Maret 2021, pukul 14.07 WIB.

[5] Tim Lembaga Studi Advokasi Masyarakat (ELSAM), Buku Saku Kebebasan Berekspresi di Internet, (Jakarta: ELSAM, 2013), hlm. 17.

[6] Yusri Wahyuni, “Kebebasan Berekspresi melalui Media Sosial menurut Hukum Islam dan HAM”, Skripsi Sarjana Hukum Islam, (Jakarta: UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2018), hlm. 53.

[7] M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah: Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur’an”, Volume 13, (Jakarta: Lentera Hati, 2002), hlm. 205.

[8] Jalaluddin Rahman, Konsep Perbuatan Manusia menurut Al-Qur’an (Suatu Kajian Tafsir Tematik), (Jakarta: Bulan Bintang, 1992), hlm. 85.

[9] John Stuart Mill, On Liberty Perihal Kebebasan, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1996), hlm. 18.

[10] Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia, Fatwa Majelis Ulama Indonesia Nomor 24 Tahun 2017, tentang Hukum dan Pedoman Bermuamalah melalui Media Sosial, hlm. 12.

[11] Yusri Wahyuni, op. cit., hlm. 52.

[12] Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia, op. cit., hlm. 12-13.

[13] Yusri Wahyuni, op. cit., hlm. 65.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar