Setiap manusia memiliki kebebasan untuk beraktivitas secara publik guna memperlihatkan eksistensi
dirinya di hadapan orang lain. Sebab, bentuk pengaktualisasian diri secara
publik merupakan puncak hierarki kebutuhan manusia dan merupakan hakikat
manusia sebagai makhluk sosial (zoon politicon).[1] Dalam KBBI
kata “bebas” berarti terlepas, tidak terikat dengan sesuatu, dan merdeka dari
sesuatu.[2] Sedangkan
secara istilah makna “kebebasan” digambarkan sebagai tidak adanya paksaan atau
tuntutan maupun kewajiban serta tanggung jawab yang harus dipikul, sehingga
seseorang tersebut dapat menunjukkan eksistensi dirinya sebagai manusia.[3]
Sedangkan berekspresi berasal dari kata
“ekspresi” yang berarti pengungkapan pendapat, gagasan, maupun perasaan.[4] Sehingga, dapat disimpulkan bahwasanya kebebasan
berekspresi adalah pengutaraan terhadap ide, gagasan, maupun perasaan baik
secara verbal, sikap, tingkah laku, grafis dan isyarat dengan bebas atau tanpa
terikat oleh sesuatu. Adapun salah satu bentuk kebebasan berekspresi yang dapat
dilakukan secara verbal yaitu dengan “dibolehkannya” seseorang untuk mengutarakan
ide bahkan komentar terhadap sesuatu. Sebagaimana yang dilakukan dalam acara
diskusi atau jika dilakukan secara digital maka bisa juga melalui “caption”
atau “kolom komentar” pada postingan di media sosial yang dimilikinya.
Selain itu, kebebasan tersebut juga mencakup dalam hal
mencari, menerima, maupun menyebarluaskan informasi melalui media apa pun.[5] Sebagaimana yang telah diatur dalam hukum HAM Indonesia yaitu yang berasal dari UUD 1945 pada Pasal 28F:
“Setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan
memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya,
serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan
menyampaikan informasi dengan menggunakan segala saluran yang tersedia”.
Kemudian Undang-Undang
Nomor 39 Tahun 1999 yaitu:
“Setiap orang berhak untuk mencari,
memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi dengan
menggunakan segala sarana yang tersedia”.
Kalimat “segala saluran/sarana yang
tersedia” pada kedua pasal tersebut menunjukkan bahwasanya pelaksanaan
tindakan dalam kebebasan berekspresi bisa dilakukan dengan apa saja, baik itu
secara langsung maupun dengan bantuan teknologi.[6]
Namun, makna “kebebasan” di sini bukan berarti
“sebebas-bebasnya atau tidak terikat apapun” melainkan bermakna “kebolehan
untuk melakukan suatu tindakan”. Hal ini juga sejalan dengan firman Allah Swt:
وَاَنْ
لَّيْسَ لِلْاِنْسَانِ اِلَّا مَا سَعٰىۙ ٣ وَاَنَّ
سَعْيَهٗ سَوْفَ يُرٰىۖ ٤٠ ثُمَّ
يُجْزٰىهُ الْجَزَاۤءَ الْاَوْفٰىۙ ٤١ وَاَنَّ
اِلٰى رَبِّكَ الْمُنْتَهٰىۙ ٤٢
“Dan bahwa
manusia hanya memperoleh apa yang telah diusahakannya, dan sesungguhnya
usahanya itu kelak akan diperlihatkan
(kepadanya), kemudian akan diberi balasan kepadanya
dengan balasan yang paling sempurna, dan sesungguhnya kepada Tuhanmulah
kesudahannya (segala sesuatu)” (an-Najm/53: 39-42)
Di mana
dalam ayat-ayat tersebut telah dijelaskan bahwasanya Allah Swt telah memberikan
kebebasan kepada manusia, namun Allah Swt juga memberikan balasan terhadap apa yang telah manusia lakukan.[7] Sebab walaupun manusia memiliki potensi yang bisa membawanya ke arah
yang baik maupun buruk, namun manusia juga memiliki akal yang bisa mengenali
dan mengendalikan keinginannya tersebut. Sehingga, kebebasan yang diberikan
kepada manusia itu tidak dapat terlepas dari tanggung jawab. [8]
Terlebih ketika telah berhubungan dengan orang lain atau
masyarakat, kebebasan yang dimiliki manusia akan dihadapkan dengan yang namanya
batasan. Oleh karena itu, kebebasan adalah hal yang semu.[9] Sebagaimana yang telah diatur dalam Hukum
Islam Indonesia yang berasal dari Fatwa Majelis Ulama Indonesia Nomor 24
Tahun 2017 pada ketentuan 1 yang berbunyi:[10]
“Dalam
bermuamalah dengan sesama, baik di dalam kehidupan riil maupun media sosial,
setiap muslim wajib mendasarkan pada keimanan dan ketakwaan, kebajikan
(mu’asyarah bil ma’ruf), persaudaraan (ukhuwah), saling wasiat akan kebenaran (al- haqq) serta mengajak pada kebaikan
(al-amr bi al-ma’ruf) dan mencegah kemungkaran (al-nahyu ‘an al-munkar)”.
Meskipun secara eksplisit “kebebasan
berekspresi” tidak disebutkan, namun kebebasan berekspresi merupakan salah satu
wujud dari kegiatan bermuamalah.[11] Adapun secara eksplisit, batasan-batasan terhadap kebebasan dalam
berekspresi juga telah diatur oleh hukum-hukum yang berlaku di Indonesia.
Sebagaimana yang terlihat dalam pandangan Hukum Islam Indonesia yang berasal dari Fatwa Majelis Ulama Indonesia Nomor 24 Tahun 2017 pada
ketentuan 4-8 yaitu :[12]
“(4) Memproduksi, menyebarkan dan/atau membuat
dapat diaksesnya konten/informasi yang tidak benar kepada masyarakat hukumnya
haram; (5) Memproduksi, menyebarkan dan/atau membuat dapat diaksesnya
konten/informasi tentang hoax, ghibah, fitnah, namimah, aib, bullying, ujaran
kebencian, dan hal-hal lain sejenis terkait pribadi kepada orang lain dan/atau
khalayak hukumnya haram; (6) Mencari-cari informasi tentang aib, gosip,
kejelekan orang lain atau kelompok hukumnya haram kecuali untuk kepentingan
yang dibenarkan secara syar’i; (7) Memproduksi dan/atau menyebarkan
konten/informasi yang bertujuan untuk membenarkan yang salah atau menyalahkan
yang benar, membangun opini agar seolah-olah berhasil dan sukses, dan tujuan
menyembunyikan kebenaran serta menipu khalayak hukumnya haram; (8) Menyebarkan
konten yang bersifat pribadi ke khalayak, padahal konten tersebut diketahui
tidak patut untuk disebarkan ke publik, seperti pose yang mempertontonkan
aurat, hukumnya haram.”
Sedangkan menurut Hukum HAM Indonesia yaitu
berasal dari UUD 1945 pada Pasal 28J ayat 1 dan 2 yang berbunyi:
“(1) Setiap
orang wajib menghormati hak asasi manusia orang lain dalam tertib kehidupan
bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
(2) Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada
pembatasan yang ditetapkan dengan Undang-undang dengan maksud semata-mata untuk
menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak kebebasan orang lain dan untuk
memenuhi tuntutan yang adil sesuai
dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban
umum dalam suatu masyarakat demokratis.”
Selain itu ada
juga yang berasal dari Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 Pasal 70 yang berbunyi:
“Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang
ditetapkan oleh Undang-undang dengan maksud untuk menjamin pengakuan serta
penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai
dengan pertimbangan moral, keamanan, dan ketertiban umum dalam
suatu masyarakat demokratis.”
Meskipun secara eksplisit “kebebasan
berekspresi” tidak disebutkan, namun kebebasan berekspresi adalah salah satu
bentuk dari HAM.[13] Dengan demikian, berdasarkan pemaparan di atas maka dapat kita simpulkan
bahwasanya esensi kebebasan dalam berekspresi di sini adalah bermakna
“kebolehan” untuk berekspresi baik secara verbal, sikap, tingkah laku, grafis atau
isyarat selama tidak melanggar aturan dan pembatasan yang terdapat pada hukum
maupun perundang-undangan yang berlaku di Indonesia.
[1] C. Goerge
Boeree, General Psychology (Yogyakarta: Prismashopie, 2008), hlm. 133.
[2] KBBI Daring,
diakses dari https://kbbi.kemdikbud.go.id, pada tanggal
11 Maret 2021, pukul 14.02 WIB.
[3] Nico Syukur
Dister, Filsafat Kebebasan, (Yogyakarta: Kanisius, 1988), hlm. 47-48.
[4] KBBI Daring,
diakses dari https://kbbi.kemdikbud.go.id, pada tanggal
11 Maret 2021, pukul 14.07 WIB.
[5] Tim Lembaga
Studi Advokasi Masyarakat (ELSAM), Buku Saku Kebebasan Berekspresi di
Internet, (Jakarta: ELSAM, 2013), hlm. 17.
[6] Yusri Wahyuni,
“Kebebasan Berekspresi melalui Media Sosial menurut Hukum Islam dan HAM”, Skripsi
Sarjana Hukum Islam, (Jakarta: UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2018), hlm.
53.
[7] M. Quraish
Shihab, Tafsir Al-Mishbah: Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur’an”,
Volume 13, (Jakarta: Lentera Hati, 2002), hlm. 205.
[8] Jalaluddin
Rahman, Konsep Perbuatan Manusia menurut Al-Qur’an (Suatu Kajian Tafsir
Tematik), (Jakarta: Bulan Bintang, 1992), hlm. 85.
[9] John Stuart
Mill, On Liberty Perihal Kebebasan, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia,
1996), hlm. 18.
[10] Komisi Fatwa
Majelis Ulama Indonesia, Fatwa Majelis Ulama Indonesia Nomor 24 Tahun 2017,
tentang Hukum dan Pedoman Bermuamalah melalui Media Sosial, hlm. 12.
[11] Yusri Wahyuni,
op. cit., hlm. 52.
[12] Komisi Fatwa
Majelis Ulama Indonesia, op. cit., hlm. 12-13.
[13] Yusri Wahyuni, op. cit., hlm. 65.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar