Secara umum, kebebasan dalam beraktivitas yang dimiliki oleh
manusia tentu tidak hanya berlaku di ruang privat saja, setiap manusia juga
memiliki hak untuk bebas beraktivitas secara publik guna memperlihatkan
eksistensi dirinya di hadapan orang lain, baik itu yang dilakukan secara
langsung maupun dengan melalui bantuan media. Namun, terkadang dalam
mengekspresikan diri secara publik sering kali masing-masing dari kita
mendapatkan tanggapan yang lambat, bahkan bisa saja tidak mendapatkan tanggapan
apa pun. Sehingga terkadang demi mendapatkan perhatian publik, tidak sedikit
dari kita yang rela melakukan hal-hal yang kontras dan tidak lazim hingga
menjadikan kita lupa akan adanya etika.
Misalnya, sebagaimana kegaduhan yang terjadi di Indonesia yaitu
tentang kebohongan yang dilakukan oleh tiga orang yang mengaku sebagai petinggi
dari Sunda Empire,[1] kemudian
sebuah konten Tiktok tiga
ibu-ibu yang berjoget ria di Jembatan Suramadu,[2]
maupun pengakuan dari Joseph Paul Zhang yang telah menyatakan bahwa dirinya
adalah nabi ke-26 dan melakukan penghinaan kepada Nabi Muhammad Saw, sehingga
membuat banyak dari umat Islam geram,[3] dan
berbagai kasus pelanggaran berekspresi lain.
Padahal untuk melakukan aktivitas yang sifatnya privat saja harus
tetap menjaga etika, apalagi saat kita beraktivitas secara publik. Oleh karena
itu, kebebasan dalam berekspresi baik di ranah privat maupun publik tidaklah
absolut, terlebih yang dilakukan di ranah publik karena jika dibiarkan terlalu
bebas hingga mengganggu kenyamanan publik maka dapat menimbulkan terjadinya
kekacauan bahkan pertikaian.[4]Sehingga,
perlu adanya tatanan etika guna melindungi hak pelaku berekspresi maupun
khalayak sebagai penerima.
Adanya etika dalam berekspresi tentu saja bukan berarti merenggut
kebebasan dalam berekspresi. Apalagi jika yang dijadikan standar pedoman adalah
etika al-Qur’an, yang bersifat Humanistik
(mengantarkan manusia ke
hakikat kemanusiaan tertinggi), Rasionalistik (seluruh ajaran yang ada
di dalam al-Qur’an merupakan ajakan yang mengantarkan manusia kepada kebaikan,
kebenaran, keadilan, dan sebagainya), serta Ilahiyyah (mengantarkan
manusia ke hakikat kemanusiaan tertinggi tanpa bertentangan dengan fitrahnya
sebagai manusia dalam rangka untuk mengaktualisasikan diri sebagai manusia
sejati).[5]
Etika al-Qur’an sendiri sebenarnya memiliki kesamaan dengan etika
Islam, sebab sumber dari etika Islam adalah al-Qur’an dan as-Sunnah.
Sebagaimana pandangan dari Hamzah Ya’qub bahwasanya etika Islam:[6]
- Mengajarkan serta menuntun manusia pada perilaku yang
baik dan menghindarkannya dari yang buruk.
- Menetapkan atas baik buruknya perbuatan manusia dari
ajaran Allah.
- Memiliki sifat yang universal dan komprehensif.
- Tidak hanya sekedar memiliki sifat yang
konseptual-teoritis saja melainkan juga bersifat praktis.
- Mengatur, mengarahkan, dan meluruskan fitrah manusia
sehingga terhindar dari sesuatu yang salah dan menyesatkan.
Sedangkan di dalam etika al-Qur’an, terdiri atas komponen utama
sebagai berikut:[7]
- Menjadikan al-Quran sebagai sumber utama.
- Menjadikan pikiran, perkataan, serta perbuatan dari
manusia termasuk dari sikap serta pandangannya seputar hidup dan kehidupan baik
secara individu maupun sosial.
- Memiliki fungsi sebagai penilai, penentu, serta penetap
bagi perbuatan manusia.
- Memiliki sifat yang tetap serta dapat berubah sesuai
dengan kemaslahatan secara umum.
Adapun pengembangan ruang lingkup etika Al-Qur΄an ini didasarkan
pada tiga prinsip. Pertama bahwasanya gambaran kehidupan seorang muslim
yang bersumber dari al-Qur΄an itu seperti sebuah pohon yang memiliki akar yang
kuat, kokoh, dan tertanam ke dalam bumi. Sebagaimana firman Allah Swt:
اَلَمْ تَرَ كَيْفَ ضَرَبَ اللّٰهُ مَثَلًا كَلِمَةً طَيِّبَةً كَشَجَرَةٍ طَيِّبَةٍ اَصْلُهَا ثَابِتٌ وَّفَرْعُهَا فِى السَّمَاۤءِۙ ٢٤ تُؤْتِيْٓ اُكُلَهَا كُلَّ حِيْنٍ ۢبِاِذْنِ رَبِّهَاۗ وَيَضْرِبُ اللّٰهُ الْاَمْثَالَ لِلنَّاسِ لَعَلَّهُمْ يَتَذَكَّرُوْنَ ٢٥
”Tidakkah
kamu memperhatikan bagai-mana Allah telah membuat perumpamaan kalimat yang baik
seperti pohon yang baik, akarnya kuat dan cabangnya (menjulang) ke langit, (pohon) itu
menghasilkan buahnya pada setiap waktu dengan seizin Tuhannya. Dan Allah
membuat perumpamaan itu untuk manusia agar mereka selalu ingat”. (Ibrahim/14:
24-25)
Akar pohon keislaman ini
adalah keyakinan yang benar tentang Allah yang tersimpul pada dua kalimat
syahadat. Kesaksian bahwa tidak ada tuhan selain Allah dan kesaksian bahwa
Muhammad itu utusan Allah. Pohon keislaman yang bersumber pada ajaran al-Qur΄an
itu juga memiliki batang, dahan, ranting, dan dedaunan yang hijau dan menjulang
ke langit. Batang pohon keislaman ini adalah tegaknya ibadah mahdah yang
dilakukan secara istiqamah, baik yang wajib maupun yang sunat dalam kehidupan
seorang muslim. Sementara buah pohon keislaman ini adalah akhlak atau etika
yang manfaatnya bisa dirasakan oleh seluruh umat manusia, baik yang muslim
maupun yang non muslim. Pohon keislaman ini tidak mengenal musim, sehingga berbuahnya
pun setiap waktu. Buahnya indah memesona, rasanya manis, memiliki banyak faedah,
serta mendatangkan banyak manfaat bagi kemanusiaan universal. Buah pohon
keislaman ini meliputi semua aspek kehidupan yang menyeluruh, holistik, dan komprehensif.[8] Sebagaimana menurut Ahmad Amin bahwasanya “etika adalah ilmu
pengetahuan yang mengajarkan arti baik dan buruknya suatu perbuatan,
menjelaskan dan menunjukkan jalan kepada manusia untuk melakukan apa yang
seharusnya dilakukan, serta menyatakan tujuan seperti apa yang harus manusia
capai.”.[9]
Kedua bahwasanya keseimbangan merupakan
prinsip utama dalam sistem sosial di dalam Islam yang bersumber dari Al-Qur΄an,
sebagaimana firman Allah Swt:
وَابْتَغِ
فِيْمَآ اٰتٰىكَ اللّٰهُ الدَّارَ الْاٰخِرَةَ وَلَا تَنْسَ نَصِيْبَكَ مِنَ
الدُّنْيَا وَاَحْسِنْ كَمَآ اَحْسَنَ اللّٰهُ اِلَيْكَ وَلَا تَبْغِ الْفَسَادَ
فِى الْاَرْضِ ۗاِنَّ اللّٰهَ لَا يُحِبُّ الْمُفْسِدِيْنَ ٧٧
Dan carilah
(pahala) negeri akhirat dengan apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu,
tetapi janganlah kamu lupakan bagianmu di dunia dan berbuatbaiklah (kepada
orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu, dan janganlah kamu
berbuat kerusakan di bumi. Sungguh, Allah tidak menyukai orang yang berbuat
kerusakan. (al-Qasas/28: 77)
Keseimbangan ini meliputi keseimbangan orientasi di antara
kemaslahatan dunia dan akhirat; tanggung jawab individu dan tanggung jawab
sosial; kemaslahatan individu, keluarga dan masyarakat; serta keseimbangan di
antara kemaslahatan nasional dan kemaslahatan hidup antar bangsa dan negara.[10] Misalnya dalam kebebasan berekspresi yang dilakukan melalui suatu
karya, seharusnya segala bentuk pengekspresian diri tersebut senantiasa
berlandaskan ketakwaan (ussisa ‘alat-taqwa) dan bertujuan untuk
mendekatkan diri (taqarrub) kepada Allah Swt. Sebab keagungan suatu
karya akan dapat dicapai ketika ia mampu membawa kekaguman kepada Allah Swt dan
suatu karya juga tidak akan bernilai ketika ia justru melecehkan keimanan serta
nilai-nilai kemanusiaan, sehingga kedua unsur nilai yang melekat pada suatu
karya tersebut haruslah seimbang.
Ketiga, bahwa kesalehan merupakan prinsip hidup kaum muslim. Baik
kesalehan individu yang meliputi pola hidup yang baik, benar, tepat, dan akurat
dalam akidah dan ibadah (hubungan vertikal dengan Allah); maupun kesalehan
sosial, yang meliputi pola hidup yang baik, benar, tepat, dan akurat dalam
muamalah, yakni dalam interaksi sosial dengan berbagai kelompok manusia, baik muslim
maupun non muslim.[11]
Sehingga tentunya sangat tepat, jika etika
al-Qur’an ini kita jadikan pedoman untuk berekspresi terlebih yang dilakukan di
ranah publik. Sebab meskipun manusia mempunyai hak untuk mengekspresikan diri, namun hal
tersebut juga harus bermanfaat sehingga dapat menciptakan perdamaian serta kesejahteraan
bagi dirinya maupun orang lain baik di dunia maupun di akhirat kelak.
[1] Dony Indra
Ramadhan, “Jejak Kasus Petinggi Sunda Empire yang Berujung Vonis 2 Tahun Bui”,
diakses dari https://news.detik.com/berita-jawa-barat/d-5231650/jejak-kasus-petinggi-sunda-empire-yang-berujung-vonis-2-tahun-bui, pada tanggal
19 Juni 2021, pukul 15.40 WIB.
[2] Nuryanti,
“Langgar UU Lalu Lintas, Ibu-ibu yang Joget TikTok di Jembatan Suramadu Didenda
Rp 500 Ribu”, diakses dari https://www.tribunnews.com/regional/2020/07/05/langgar-uu-lalu-lintas-ibu-ibu-yang-joget-tiktok-di-jembatan-suramadu-didenda-rp-500-ribu, pada tanggal
27 Maret 2021, pukul 09.35 WIB.
[3] Hairul Anwar,
“Astagfirullah Joseph Ngaku Nabi ke-26 dan Sebut Nabi Muhammad Cabul”, diakses
dari https://banten.suara.com/read/2021/04/18/140233/astagfirullah-joseph-ngaku-nabi-ke-26-dan-sebut-nabi-muhammad-cabul, pada tanggal
19 Juni 2021, pukul 15.44 WIB.
[4] Lajnah
Pentashihan Mushaf Al-Qur’an, Tafsir Al-Qur’an Tematik: Etika Berkeluarga,
Bermasyarakat, dan Berpolitik”, (Jakarta: Lajnah Pentashihan Mushaf
Al-Qur’an, 2009), hlm. 386.
[5] Lajnah
Pentashihan Mushaf Al-Qur’an, op. cit., hlm. 9.
[6] Hamzah Ya’qub,
Etika Islam, cet. 2, (Bandung: Diponegoro, 1983), hlm. 14.
[7] Lajnah
Pentashihan Mushaf Al-Qur’an, loc. cit.
[8] Lajnah
Pentashihan Mushaf Al-Qur’an, op. cit., hlm. 18.
[9] Farid Ma’ruf, Etika:
Ilmu Akhlak, (Jakarta: Bulan Bintang, 1983), hlm. 3.
[10] Lajnah
Pentashihan Mushaf Al-Qur’an, op. cit., hlm. 19.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar