Kamis, 11 November 2021

Urgensi Etika dalam Kebebasan Berekspresi

 

Secara umum, kebebasan dalam beraktivitas yang dimiliki oleh manusia tentu tidak hanya berlaku di ruang privat saja, setiap manusia juga memiliki hak untuk bebas beraktivitas secara publik guna memperlihatkan eksistensi dirinya di hadapan orang lain, baik itu yang dilakukan secara langsung maupun dengan melalui bantuan media. Namun, terkadang dalam mengekspresikan diri secara publik sering kali masing-masing dari kita mendapatkan tanggapan yang lambat, bahkan bisa saja tidak mendapatkan tanggapan apa pun. Sehingga terkadang demi mendapatkan perhatian publik, tidak sedikit dari kita yang rela melakukan hal-hal yang kontras dan tidak lazim hingga menjadikan kita lupa akan adanya etika.

Misalnya, sebagaimana kegaduhan yang terjadi di Indonesia yaitu tentang kebohongan yang dilakukan oleh tiga orang yang mengaku sebagai petinggi dari Sunda Empire,[1] kemudian sebuah konten Tiktok tiga ibu-ibu yang berjoget ria di Jembatan Suramadu,[2] maupun pengakuan dari Joseph Paul Zhang yang telah menyatakan bahwa dirinya adalah nabi ke-26 dan melakukan penghinaan kepada Nabi Muhammad Saw, sehingga membuat banyak dari umat Islam geram,[3] dan berbagai kasus pelanggaran berekspresi lain.

Padahal untuk melakukan aktivitas yang sifatnya privat saja harus tetap menjaga etika, apalagi saat kita beraktivitas secara publik. Oleh karena itu, kebebasan dalam berekspresi baik di ranah privat maupun publik tidaklah absolut, terlebih yang dilakukan di ranah publik karena jika dibiarkan terlalu bebas hingga mengganggu kenyamanan publik maka dapat menimbulkan terjadinya kekacauan bahkan pertikaian.[4]Sehingga, perlu adanya tatanan etika guna melindungi hak pelaku berekspresi maupun khalayak sebagai penerima.

Adanya etika dalam berekspresi tentu saja bukan berarti merenggut kebebasan dalam berekspresi. Apalagi jika yang dijadikan standar pedoman adalah etika al-Qur’an, yang bersifat Humanistik (mengantarkan manusia ke hakikat kemanusiaan tertinggi), Rasionalistik (seluruh ajaran yang ada di dalam al-Qur’an merupakan ajakan yang mengantarkan manusia kepada kebaikan, kebenaran, keadilan, dan sebagainya), serta Ilahiyyah (mengantarkan manusia ke hakikat kemanusiaan tertinggi tanpa bertentangan dengan fitrahnya sebagai manusia dalam rangka untuk mengaktualisasikan diri sebagai manusia sejati).[5]

Etika al-Qur’an sendiri sebenarnya memiliki kesamaan dengan etika Islam, sebab sumber dari etika Islam adalah al-Qur’an dan as-Sunnah. Sebagaimana pandangan dari Hamzah Ya’qub bahwasanya etika Islam:[6]

-   Mengajarkan serta menuntun manusia pada perilaku yang baik dan menghindarkannya dari yang buruk.

-    Menetapkan atas baik buruknya perbuatan manusia dari ajaran Allah.

-    Memiliki sifat yang universal dan komprehensif.

-    Tidak hanya sekedar memiliki sifat yang konseptual-teoritis saja melainkan juga bersifat praktis.

-   Mengatur, mengarahkan, dan meluruskan fitrah manusia sehingga terhindar dari sesuatu yang salah dan menyesatkan.

Sedangkan di dalam etika al-Qur’an, terdiri atas komponen utama sebagai berikut:[7]

-       Menjadikan al-Quran sebagai sumber utama.

-  Menjadikan pikiran, perkataan, serta perbuatan dari manusia termasuk dari sikap serta pandangannya seputar hidup dan kehidupan baik secara individu maupun sosial.

-       Memiliki fungsi sebagai penilai, penentu, serta penetap bagi perbuatan manusia.

-       Memiliki sifat yang tetap serta dapat berubah sesuai dengan kemaslahatan secara umum.

 

Adapun pengembangan ruang lingkup etika Al-Qur΄an ini didasarkan pada tiga prinsip. Pertama bahwasanya gambaran kehidupan seorang muslim yang bersumber dari al-Qur΄an itu seperti sebuah pohon yang memiliki akar yang kuat, kokoh, dan tertanam ke dalam bumi. Sebagaimana firman Allah Swt:

اَلَمْ تَرَ كَيْفَ ضَرَبَ اللّٰهُ مَثَلًا كَلِمَةً طَيِّبَةً كَشَجَرَةٍ طَيِّبَةٍ اَصْلُهَا ثَابِتٌ وَّفَرْعُهَا فِى السَّمَاۤءِۙ ٢٤ تُؤْتِيْٓ اُكُلَهَا كُلَّ حِيْنٍ ۢبِاِذْنِ رَبِّهَاۗ وَيَضْرِبُ اللّٰهُ الْاَمْثَالَ لِلنَّاسِ لَعَلَّهُمْ يَتَذَكَّرُوْنَ ٢٥

”Tidakkah kamu memperhatikan bagai-mana Allah telah membuat perumpamaan kalimat yang baik seperti pohon yang baik, akarnya kuat dan cabangnya (menjulang) ke langit, (pohon) itu menghasilkan buahnya pada setiap waktu dengan seizin Tuhannya. Dan Allah membuat perumpamaan itu untuk manusia agar mereka selalu ingat”. (Ibrahim/14: 24-25)

 Akar pohon keislaman ini adalah keyakinan yang benar tentang Allah yang tersimpul pada dua kalimat syahadat. Kesaksian bahwa tidak ada tuhan selain Allah dan kesaksian bahwa Muhammad itu utusan Allah. Pohon keislaman yang bersumber pada ajaran al-Qur΄an itu juga memiliki batang, dahan, ranting, dan dedaunan yang hijau dan menjulang ke langit. Batang pohon keislaman ini adalah tegaknya ibadah mahdah yang dilakukan secara istiqamah, baik yang wajib maupun yang sunat dalam kehidupan seorang muslim. Sementara buah pohon keislaman ini adalah akhlak atau etika yang manfaatnya bisa dirasakan oleh seluruh umat manusia, baik yang muslim maupun yang non muslim. Pohon keislaman ini tidak mengenal musim, sehingga berbuahnya pun setiap waktu. Buahnya indah memesona, rasanya manis, memiliki banyak faedah, serta mendatangkan banyak manfaat bagi kemanusiaan universal. Buah pohon keislaman ini meliputi semua aspek kehidupan yang menyeluruh, holistik, dan komprehensif.[8] Sebagaimana menurut Ahmad Amin bahwasanya “etika adalah ilmu pengetahuan yang mengajarkan arti baik dan buruknya suatu perbuatan, menjelaskan dan menunjukkan jalan kepada manusia untuk melakukan apa yang seharusnya dilakukan, serta menyatakan tujuan seperti apa yang harus manusia capai.”.[9]

 

Kedua bahwasanya keseimbangan merupakan prinsip utama dalam sistem sosial di dalam Islam yang bersumber dari Al-Qur΄an, sebagaimana firman Allah Swt:

وَابْتَغِ فِيْمَآ اٰتٰىكَ اللّٰهُ الدَّارَ الْاٰخِرَةَ وَلَا تَنْسَ نَصِيْبَكَ مِنَ الدُّنْيَا وَاَحْسِنْ كَمَآ اَحْسَنَ اللّٰهُ اِلَيْكَ وَلَا تَبْغِ الْفَسَادَ فِى الْاَرْضِ ۗاِنَّ اللّٰهَ لَا يُحِبُّ الْمُفْسِدِيْنَ ٧٧

Dan carilah (pahala) negeri akhirat dengan apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu, tetapi janganlah kamu lupakan bagianmu di dunia dan berbuatbaiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di bumi. Sungguh, Allah tidak menyukai orang yang berbuat kerusakan. (al-Qasas/28: 77)

Keseimbangan ini meliputi keseimbangan orientasi di antara kemaslahatan dunia dan akhirat; tanggung jawab individu dan tanggung jawab sosial; kemaslahatan individu, keluarga dan masyarakat; serta keseimbangan di antara kemaslahatan nasional dan kemaslahatan hidup antar bangsa dan negara.[10] Misalnya dalam kebebasan berekspresi yang dilakukan melalui suatu karya, seharusnya segala bentuk pengekspresian diri tersebut senantiasa berlandaskan ketakwaan (ussisa ‘alat-taqwa) dan bertujuan untuk mendekatkan diri (taqarrub) kepada Allah Swt. Sebab keagungan suatu karya akan dapat dicapai ketika ia mampu membawa kekaguman kepada Allah Swt dan suatu karya juga tidak akan bernilai ketika ia justru melecehkan keimanan serta nilai-nilai kemanusiaan, sehingga kedua unsur nilai yang melekat pada suatu karya tersebut haruslah seimbang.

Ketiga, bahwa kesalehan merupakan prinsip hidup kaum muslim. Baik kesalehan individu yang meliputi pola hidup yang baik, benar, tepat, dan akurat dalam akidah dan ibadah (hubungan vertikal dengan Allah); maupun kesalehan sosial, yang meliputi pola hidup yang baik, benar, tepat, dan akurat dalam muamalah, yakni dalam interaksi sosial dengan berbagai kelompok manusia, baik muslim maupun non muslim.[11]

Sehingga tentunya sangat tepat, jika etika al-Qur’an ini kita jadikan pedoman untuk berekspresi terlebih yang dilakukan di ranah publik. Sebab meskipun manusia mempunyai hak untuk mengekspresikan diri, namun hal tersebut juga harus bermanfaat sehingga dapat menciptakan perdamaian serta kesejahteraan bagi dirinya maupun orang lain baik di dunia maupun di akhirat kelak.



[1] Dony Indra Ramadhan, “Jejak Kasus Petinggi Sunda Empire yang Berujung Vonis 2 Tahun Bui”, diakses dari https://news.detik.com/berita-jawa-barat/d-5231650/jejak-kasus-petinggi-sunda-empire-yang-berujung-vonis-2-tahun-bui, pada tanggal 19 Juni 2021, pukul 15.40 WIB.

[2] Nuryanti, “Langgar UU Lalu Lintas, Ibu-ibu yang Joget TikTok di Jembatan Suramadu Didenda Rp 500 Ribu”, diakses dari https://www.tribunnews.com/regional/2020/07/05/langgar-uu-lalu-lintas-ibu-ibu-yang-joget-tiktok-di-jembatan-suramadu-didenda-rp-500-ribu, pada tanggal 27 Maret 2021, pukul 09.35 WIB.

[3] Hairul Anwar, “Astagfirullah Joseph Ngaku Nabi ke-26 dan Sebut Nabi Muhammad Cabul”, diakses dari https://banten.suara.com/read/2021/04/18/140233/astagfirullah-joseph-ngaku-nabi-ke-26-dan-sebut-nabi-muhammad-cabul, pada tanggal 19 Juni 2021, pukul 15.44 WIB.

[4] Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur’an, Tafsir Al-Qur’an Tematik: Etika Berkeluarga, Bermasyarakat, dan Berpolitik”, (Jakarta: Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur’an, 2009), hlm. 386.

[5] Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur’an, op. cit., hlm. 9.

[6] Hamzah Ya’qub, Etika Islam, cet. 2, (Bandung: Diponegoro, 1983), hlm. 14.

[7] Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur’an, loc. cit.

[8] Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur’an, op. cit., hlm. 18.

[9] Farid Ma’ruf, Etika: Ilmu Akhlak, (Jakarta: Bulan Bintang, 1983), hlm. 3.

[10] Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur’an, op. cit., hlm. 19.

[11] Ibid., hlm. 19.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar