Sebagaimana yang dikatakan oleh
Abraham Maslow bahwasanya puncak hierarki kebutuhan manusia adalah kebutuhan
akan mengaktualisasikan dirinya secara publik, karena dorongan berupa untuk
mengekspresikan diri merupakan hakikat manusia sebagai makhluk sosial (zoon
politicon).[1]
Di mana keberadaan seseorang baru bisa memiliki makna apabila ada orang lain
dan posisi orang lain tersebut memiliki peran sebagai pembeda dengan dirinya.
Hal inilah yang kemudian menjadikan masing-masing dari individu akan
berekspresi sesuai dengan eksistensi diri masing-masing.[2]
Seiring perkembangan IPTEK,
kehadiran media sosial kini telah menjadi salah satu alternatif yang paling
banyak digunakan oleh manusia untuk berekspresi, baik melalui media jejaring
sosial maupun media sharing dan sebagainya. Pendapat ini tentu saja
dapat diperkuat dari hasil survei yang dilakukan oleh Hotsuite yang menyatakan
bahwasanya pada Februari 2021 pengguna media sosial di seluruh dunia mencapai
4,20 milyar yang berarti telah mengalami peningkatan sebanyak 490 juta pengguna
dari Februari 2020. Sedangkan, di Indonesia sendiri pada Februari 2021 tercatat
memiliki 160 juta pengguna media sosial dan kemudian pada Februari 2021 juga
mengalami peningkatan sebanyak 10 juta pengguna. Sehingga Indonesia tercatat
memiliki 170 juta pengguna dengan rata-rata waktu penggunaan sebanyak 3 jam 14
menit dalam seharinya.[3]
Populernya kehadiran media sosial
yang tanpa batasan ruang dan waktu ini tentu saja karena dianggap lebih efisien
dan optimal dalam penggunaannya. Di mana untuk mengekspresikan diri kita hanya
cukup melakukannya dengan bantuan fitur-fitur yang tersedia dalam media sosial
tersebut dengan mem-posting konten baik melalui teks, foto maupun video.
Sehingga dari kekuatan dan kebiasaan khalayak dalam penggunaannya di media
sosial ini juga telah memunculkan berbagai fenomena atau budaya. Adapun salah
satunya yaitu berkaitan dengan fenomena selfie yang merupakan salah satu
fenomena dalam kemajuan teknologi internet, perangkat pintar seperti telepon
genggam, dan budaya siber.[4]
Kata selfie sendiri memiliki
arti yaitu sebagai foto diri yang diambil melalui smartphone maupun webcam
dan biasanya diunggah ke akun media sosial (a photographic self-portrait;
esp. one taken with a smartphone or webcam and shared via social media).[5]
Jika dilihat dari perspektif psikologi sosial, setidaknya fenomena selfie
ini dapat ditarik kesimpulan sebagaimana berikut:
Pertama, selfie menjadi salah
satu wujud dari eksistensi diri. Mengambil foto diri dan menyebarluaskannya di
media sosial tidak sekedar terfokus pada penampilan diri si pengguna. Selfie
merupakan upaya untuk representasi diri di media sosial, sebuah upaya untuk
dianggap ada atau eksis dalam jaringan. Sebuah foto diri akan menunjukkan
aktivitas penggunanya, di mana ia bekerja atau kuliah, sedang makan apa dan di
restoran mana, apa yang dilakukan dalam mengisi liburan di akhir pekan, film
apa yang ditonton, sampai pada dengan siapa yang bepergian.
Kedua, selfie juga bisa
menandakan bahwa pengguna melakukan keterbukaan diri (self disclosure)
di media sosial. Keleluasaan dalam mengkreasikan konten media sosial juga
melibatkan pengguna sebagai pusat dari konten tersebut. Sehingga hal ini juga
mampu menjadikan interaksi dan komunikasi yang terjadi dengan pengguna lain
akan semakin erat. Bahkan dalam beberapa kasus, pengunggahan foto diri
menyebabkan bertambahnya jalinan pertemanan yang baru sehingga jaringan sosial
yang dimiliki semakin luas.
Ketiga, selfie merupakan salah satu bentuk narsisme digital.
Foto diri yang diambil menunjukkan bahwa penggunanya sedang mengonstruk dirinya
dan hasil konstruksi itu merupakan wujud dari eksistensi diri serta pertunjukan
di depan panggung untuk menarik kesan pengakses atau pengguna lain dalam
jaringan pertemanan di media sosial. Selain sebagai penanda bahwa pengguna
sedang mewujudkan eksistensi dirinya sebagai objek foto, pengunggahan foto diri
juga memiliki maksud-maksud tertentu di dalamnya. Misalnya foto diri dengan
latar belakang sebuah tempat tertentu maupun di dalam kendaraan yang menunjukkan
bahwa si pengguna sedang berada di sana.
Namun sayangnya, pada poin yang
ketiga, fenomena selfie ini telah melahirkan sebuah budaya yang “candu”
bagi para pelaku ekspresi di media sosial. Karena tindakan mengunggah foto selfie
di media sosial tentunya akan membentuk keinginan untuk mendapatkan respon yang
baik entah itu pujian maupun penilaian yang positif. Sehingga secara tidak
sadar pelaku selfie pun akan memiliki perilaku narsistik yaitu di mana
mereka senantiasa memiliki rasa bangga yang berlebihan terhadap diri sendiri, terlalu
terobsesi untuk menjadi terhormat, sehingga akan senantiasa haus akan pemujaan.
Hal ini pun menjadikan mereka rela
untuk melakukan hal-hal yang kontras bahkan tidak lazim demi mendapatkan
perhatian publik. Misal tidak adanya perasaan risih ketika melakukan selfie
dengan pakaian yang ala kadarnya, menunjukkan dirinya yang sedang berada di
tempat yang tidak baik, bahkan tidak sedikit pula orang yang tidak malu untuk
menunjukkan bahwa dirinya sedang melakukan kemaksiatan (bermabuk-mabukan maupun
berzina). Padahal rasa malu merupakan akhlak yang penting bagi muslim maupun
muslimah. Sebagaimana sabda Rasulullah Saw:
حَدَّثَنَا
يَحْيَى بْنُ سَعِيدٍ حَدَّثَنَا مَالِكٌ حَدَّثَنَا الزُّهْرِيُّ عَنْ سَالِمٍ
عَنْ أَبِيهِ أَنَّ رَجُلًا مِنْ الْأَنْصَارِ كَانَ يَعِظُ أَخَاهُ فِي
الْحَيَاءِ فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ دَعْهُ فَإِنَّ
الْحَيَاءَ مِنْ الْإِيمَانِ
Telah menceritakan kepada kami Yahya bin Sa'id telah menceritakan
kepada kami Malik telah menceritakan kepada kami Az Zuhri dari Salim dari
Ayahnya, bahwa seorang laki-laki Anshar memberi nasihat kepada saudaranya
tentang rasa malu. Maka Nabi ﷺ bersabda,
"Sesungguhnya rasa malu itu bagian dari iman."
Oleh karena itu, meskipun kita telah diberikan kebebasan untuk
bertindak namun kita juga harus sadar akan pentingnya sikap berhati-hati. Sebab
setiap perbuatan yang kita lakukan juga akan dimintai pertanggung jawabannya
kelak di akhirat. Sebagaimana firman Allah Swt:
وَلَا تَقْفُ مَا لَيْسَ لَكَ بِهٖ عِلْمٌ ۗاِنَّ السَّمْعَ
وَالْبَصَرَ وَالْفُؤَادَ كُلُّ اُولٰۤىِٕكَ كَانَ عَنْهُ مَسْـُٔوْلًا ٣٦
Dan
janganlah kamu mengikuti sesuatu yang tidak kamu ketahui. Karena pendengaran,
penglihatan dan hati nurani, semua itu akan diminta pertanggungjawabannya. (al-Isra’/17: 36)
Jika rasa
tanggung jawab tidak dihiraukan, maka akan ada banyak manusia yang bertindak
semaunya tanpa mempertimbangkan risiko seperti apa yang akan ditimbulkan dari
perbuatannya. Meskipun di dunia seseorang tersebut dapat terhindar dari hukum,
namun tidak demikian dengan yang akan terjadi kelak di akhirat. Semuanya akan
diperlihatkan dan diberikan balasannya sesuai dengan besar kecilnya perbuatan
yang dilakukan. Sebagaimana firman Allah Swt:
فَمَنْ يَّعْمَلْ مِثْقَالَ
ذَرَّةٍ خَيْرًا يَّرَهٗۚ ٧ وَمَنْ يَّعْمَلْ مِثْقَالَ ذَرَّةٍ شَرًّا يَّرَهٗ ࣖ ٨
Maka barangsiapa mengerjakan kebaikan seberat zarrah, niscaya
dia akan melihat (balasan)nya, dan barangsiapa mengerjakan kejahatan seberat
zarrah, niscaya dia akan melihat (balasan)nya. (al-Zalzalah/99: 7-8)
[1] C. Goerge
Boeroee, General Psychology, (Yogyakarta:Prismashopie, 2008), hlm. 133.
[2] Lajnah
Pentashihan Mushaf Al-Qur’an, Tafsir Al-Qur’an Tematik: Etika Berkeluarga,
Bermasyarakat, dan Berpolitik”, (Jakarta: Lajnah Pentashihan Mushaf
Al-Qur’an, 2009), hlm. 378.
[3] Hootsuite,
“Digital 2021: Indonesia”, diakses dari https://datareportal.com/reports/digital-2021-indonesia pada tanggal
25 Maret 2021, pukul 09.43 WIB.
[4] Ruli
nasrullah, Media Sosial Perspektif Komunikasi, Budaya, dan Sosioteknologi, (Jakarta:
Simbiosa Rekatama Media, 2017), hlm. 132.
[5] “Oxford Learner’s Dictionary”, diakses dari https://www.oxfordlearnersdictionaries.com/definition/english/selfie?q=selfie, pada tanggal 25 Maret 2021, pukul 10.11 WIB.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar