Kamis, 11 November 2021

Lahirnya Perilaku Narsistik pada Fenomena Selfie di Era Media Sosial

 

Sebagaimana yang dikatakan oleh Abraham Maslow bahwasanya puncak hierarki kebutuhan manusia adalah kebutuhan akan mengaktualisasikan dirinya secara publik, karena dorongan berupa untuk mengekspresikan diri merupakan hakikat manusia sebagai makhluk sosial (zoon politicon).[1] Di mana keberadaan seseorang baru bisa memiliki makna apabila ada orang lain dan posisi orang lain tersebut memiliki peran sebagai pembeda dengan dirinya. Hal inilah yang kemudian menjadikan masing-masing dari individu akan berekspresi sesuai dengan eksistensi diri masing-masing.[2]

Seiring perkembangan IPTEK, kehadiran media sosial kini telah menjadi salah satu alternatif yang paling banyak digunakan oleh manusia untuk berekspresi, baik melalui media jejaring sosial maupun media sharing dan sebagainya. Pendapat ini tentu saja dapat diperkuat dari hasil survei yang dilakukan oleh Hotsuite yang menyatakan bahwasanya pada Februari 2021 pengguna media sosial di seluruh dunia mencapai 4,20 milyar yang berarti telah mengalami peningkatan sebanyak 490 juta pengguna dari Februari 2020. Sedangkan, di Indonesia sendiri pada Februari 2021 tercatat memiliki 160 juta pengguna media sosial dan kemudian pada Februari 2021 juga mengalami peningkatan sebanyak 10 juta pengguna. Sehingga Indonesia tercatat memiliki 170 juta pengguna dengan rata-rata waktu penggunaan sebanyak 3 jam 14 menit dalam seharinya.[3]

Populernya kehadiran media sosial yang tanpa batasan ruang dan waktu ini tentu saja karena dianggap lebih efisien dan optimal dalam penggunaannya. Di mana untuk mengekspresikan diri kita hanya cukup melakukannya dengan bantuan fitur-fitur yang tersedia dalam media sosial tersebut dengan mem-posting konten baik melalui teks, foto maupun video. Sehingga dari kekuatan dan kebiasaan khalayak dalam penggunaannya di media sosial ini juga telah memunculkan berbagai fenomena atau budaya. Adapun salah satunya yaitu berkaitan dengan fenomena selfie yang merupakan salah satu fenomena dalam kemajuan teknologi internet, perangkat pintar seperti telepon genggam, dan budaya siber.[4]

Kata selfie sendiri memiliki arti yaitu sebagai foto diri yang diambil melalui smartphone maupun webcam dan biasanya diunggah ke akun media sosial (a photographic self-portrait; esp. one taken with a smartphone or webcam and shared via social media).[5] Jika dilihat dari perspektif psikologi sosial, setidaknya fenomena selfie ini dapat ditarik kesimpulan sebagaimana berikut:

Pertama, selfie menjadi salah satu wujud dari eksistensi diri. Mengambil foto diri dan menyebarluaskannya di media sosial tidak sekedar terfokus pada penampilan diri si pengguna. Selfie merupakan upaya untuk representasi diri di media sosial, sebuah upaya untuk dianggap ada atau eksis dalam jaringan. Sebuah foto diri akan menunjukkan aktivitas penggunanya, di mana ia bekerja atau kuliah, sedang makan apa dan di restoran mana, apa yang dilakukan dalam mengisi liburan di akhir pekan, film apa yang ditonton, sampai pada dengan siapa yang bepergian.

Kedua, selfie juga bisa menandakan bahwa pengguna melakukan keterbukaan diri (self disclosure) di media sosial. Keleluasaan dalam mengkreasikan konten media sosial juga melibatkan pengguna sebagai pusat dari konten tersebut. Sehingga hal ini juga mampu menjadikan interaksi dan komunikasi yang terjadi dengan pengguna lain akan semakin erat. Bahkan dalam beberapa kasus, pengunggahan foto diri menyebabkan bertambahnya jalinan pertemanan yang baru sehingga jaringan sosial yang dimiliki semakin luas.

Ketiga, selfie merupakan salah satu bentuk narsisme digital. Foto diri yang diambil menunjukkan bahwa penggunanya sedang mengonstruk dirinya dan hasil konstruksi itu merupakan wujud dari eksistensi diri serta pertunjukan di depan panggung untuk menarik kesan pengakses atau pengguna lain dalam jaringan pertemanan di media sosial. Selain sebagai penanda bahwa pengguna sedang mewujudkan eksistensi dirinya sebagai objek foto, pengunggahan foto diri juga memiliki maksud-maksud tertentu di dalamnya. Misalnya foto diri dengan latar belakang sebuah tempat tertentu maupun di dalam kendaraan yang menunjukkan bahwa si pengguna sedang berada di sana.

Namun sayangnya, pada poin yang ketiga, fenomena selfie ini telah melahirkan sebuah budaya yang “candu” bagi para pelaku ekspresi di media sosial. Karena tindakan mengunggah foto selfie di media sosial tentunya akan membentuk keinginan untuk mendapatkan respon yang baik entah itu pujian maupun penilaian yang positif. Sehingga secara tidak sadar pelaku selfie pun akan memiliki perilaku narsistik yaitu di mana mereka senantiasa memiliki rasa bangga yang berlebihan terhadap diri sendiri, terlalu terobsesi untuk menjadi terhormat, sehingga akan senantiasa haus akan pemujaan.

Hal ini pun menjadikan mereka rela untuk melakukan hal-hal yang kontras bahkan tidak lazim demi mendapatkan perhatian publik. Misal tidak adanya perasaan risih ketika melakukan selfie dengan pakaian yang ala kadarnya, menunjukkan dirinya yang sedang berada di tempat yang tidak baik, bahkan tidak sedikit pula orang yang tidak malu untuk menunjukkan bahwa dirinya sedang melakukan kemaksiatan (bermabuk-mabukan maupun berzina). Padahal rasa malu merupakan akhlak yang penting bagi muslim maupun muslimah. Sebagaimana sabda Rasulullah Saw:

 

حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ سَعِيدٍ حَدَّثَنَا مَالِكٌ حَدَّثَنَا الزُّهْرِيُّ عَنْ سَالِمٍ عَنْ أَبِيهِ أَنَّ رَجُلًا مِنْ الْأَنْصَارِ كَانَ يَعِظُ أَخَاهُ فِي الْحَيَاءِ فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ دَعْهُ فَإِنَّ الْحَيَاءَ مِنْ الْإِيمَانِ

Telah menceritakan kepada kami Yahya bin Sa'id telah menceritakan kepada kami Malik telah menceritakan kepada kami Az Zuhri dari Salim dari Ayahnya, bahwa seorang laki-laki Anshar memberi nasihat kepada saudaranya tentang rasa malu. Maka Nabibersabda, "Sesungguhnya rasa malu itu bagian dari iman."

Oleh karena itu, meskipun kita telah diberikan kebebasan untuk bertindak namun kita juga harus sadar akan pentingnya sikap berhati-hati. Sebab setiap perbuatan yang kita lakukan juga akan dimintai pertanggung jawabannya kelak di akhirat. Sebagaimana firman Allah Swt:

وَلَا تَقْفُ مَا لَيْسَ لَكَ بِهٖ عِلْمٌ ۗاِنَّ السَّمْعَ وَالْبَصَرَ وَالْفُؤَادَ كُلُّ اُولٰۤىِٕكَ كَانَ عَنْهُ مَسْـُٔوْلًا ٣٦

Dan janganlah kamu mengikuti sesuatu yang tidak kamu ketahui. Karena pendengaran, penglihatan dan hati nurani, semua itu akan diminta pertanggungjawabannya. (al-Isra’/17: 36)

Jika rasa tanggung jawab tidak dihiraukan, maka akan ada banyak manusia yang bertindak semaunya tanpa mempertimbangkan risiko seperti apa yang akan ditimbulkan dari perbuatannya. Meskipun di dunia seseorang tersebut dapat terhindar dari hukum, namun tidak demikian dengan yang akan terjadi kelak di akhirat. Semuanya akan diperlihatkan dan diberikan balasannya sesuai dengan besar kecilnya perbuatan yang dilakukan. Sebagaimana firman Allah Swt:

فَمَنْ يَّعْمَلْ مِثْقَالَ ذَرَّةٍ خَيْرًا يَّرَهٗۚ ٧ وَمَنْ يَّعْمَلْ مِثْقَالَ ذَرَّةٍ شَرًّا يَّرَهٗ ࣖ ٨

Maka barangsiapa mengerjakan kebaikan seberat zarrah, niscaya dia akan melihat (balasan)nya, dan barangsiapa mengerjakan kejahatan seberat zarrah, niscaya dia akan melihat (balasan)nya. (al-Zalzalah/99: 7-8)

 



[1] C. Goerge Boeroee, General Psychology, (Yogyakarta:Prismashopie, 2008), hlm. 133.

[2] Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur’an, Tafsir Al-Qur’an Tematik: Etika Berkeluarga, Bermasyarakat, dan Berpolitik”, (Jakarta: Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur’an, 2009), hlm. 378.

[3] Hootsuite, “Digital 2021: Indonesia”, diakses dari https://datareportal.com/reports/digital-2021-indonesia pada tanggal 25 Maret 2021, pukul 09.43 WIB.

[4] Ruli nasrullah, Media Sosial Perspektif Komunikasi, Budaya, dan Sosioteknologi, (Jakarta: Simbiosa Rekatama Media, 2017), hlm. 132.

[5] “Oxford Learner’s Dictionary”, diakses dari https://www.oxfordlearnersdictionaries.com/definition/english/selfie?q=selfie, pada tanggal 25 Maret 2021, pukul 10.11 WIB.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar